c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

20 Januari 2023

13:37 WIB

CIPS: Kebijakan Makro Indonesia Mampu Cegah Resesi

Beberapa kebijakan makro yang diambil pemerintah dinilai mampu mengontrol situasi krisis ekonomi tahun ini.

Penulis: Nuzulia Nur Rahma

CIPS: Kebijakan Makro Indonesia Mampu Cegah Resesi
CIPS: Kebijakan Makro Indonesia Mampu Cegah Resesi
Foto pemandangan gedung bertingkat di Jakarta. Antara Foto/Galih Pradipta

JAKARTA – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran mengungkapkan kebijakan makro yang diambil Indonesia membuatnya relatif aman dari resesi. 

“Misalnya saja, untuk mengontrol inflasi, Indonesia tidak hanya menggunakan kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga acuan BI, tapi juga dibarengi dengan menjaga keterjangkauan harga pangan di pasar dan di tingkat petani,” jelas Hasran dalam pernyataan resminya, Jumat (20/1).

Hasran melanjutkan, dampak dari kebijakan ini dapat dilihat dari tingkat inflasi Indonesia yang berada di kisaran 5% selama tahun 2022 dengan tingkat suku bunga acuan kisaran 5.50%. 

Di sisi lain, rasio utang terhadap PDB Indonesia berada di kisaran 30,1%, jauh dari batas aman 60% yang ditetapkan dalam undang-undang. 

Dia juga menilai saat ini cadangan devisa Indonesia berada dalam kategori aman, yaitu setara dengan pembiayaan 5,9 bulan impor atau 5,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

"Walaupun begitu, sektor perdagangan sangat mungkin terdampak resesi global dan hal ini bisa menghentikan surplus neraca perdagangan yang sempat diraih Indonesia sejak awal 2020. Surplus yang disebabkan oleh naiknya harga-harga komoditas seperti batu bara, nikel, dan CPO ini akan terhenti karena adanya penurunan permintaan dan harga untuk komoditas-komoditas tadi di pasar global," imbuhnya.

Baca Juga: Sri Mulyani: Resesi Hingga Perubahan Iklim Ancam Global di 2023

Resesi, katanua, adalah memburuknya kondisi perekonomian negara selama dua kuartal berturut-turut yang ditandai dengan penurunan PDB, meningkatnya pengangguran dan penurunan produktivitas pada sektor riil. 

Penyebab utama resesi ekonomi kali ini adalah naiknya suku bunga bank sentral negara-negara kekuatan utama dunia sebagai upaya dalam menekan inflasi. 

Hasran juga melihat kondisi ini akan membuat industri membayar biaya bunga pinjaman yang lebih tinggi. 

Untuk meminimalisir ini, industri akan lebih memilih mengurangi produksinya dan mengurangi jumlah tenaga kerja. 

“Kondisi ini akan menyebabkan berkurangnya daya beli karena masyarakat akan memprioritaskan konsumsinya pada hal-hal yang dianggap penting. Hal ini akan berdampak pada pertumbuhan sektor-sektor terkait,” tambahnya.

Selain itu, dia juga melihat masyarakat kurang mampu adalah mereka yang paling terdampak dengan adanya krisis biaya hidup karena mereka tidak memiliki banyak pilihan. Naiknya inflasi akan sangat memangkas pendapatan mereka. 

Baca Juga: Mengambil Peluang di Tengah Kekhawatiran Resesi

Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, semenjak pulih dari pandemi covid-19, data kemiskinan per Maret 2022 menunjukkan adanya penurunan sebesar 0,60% dibanding Maret 2021. 

Namun, ketika inflasi menghantam perekonomian, kemiskinan kembali meningkat sebesar 0,03% pada September 2022.

Menurutnya masyarakat berpenghasilan rendah harus mengalokasikan konsumsinya pada pos-pos yang lebih penting berdasarkan skala prioritas, seperti mengurangi pengeluaran diluar konsumsi pangan. 

Pada saat yang sama, pemerintah perlu mempertimbangkan alokasi bantuan sosial yang lebih terarah dan lebih menyasar masyarakat berpenghasilan rendah.

"Berkurangnya permintaan di Eropa dan Amerika sebagai dampak dari krisis biaya hidup ini akan mempengaruhi produksi dan margin perusahaan-perusahaan multinasional atau perusahaan manufaktur di Indonesia. Dalam masa ini, perusahaan akan bisa saja melakukan PHK. Sedangkan lapangan pekerjaan baru yang dibuka akan lebih sedikit," ucapnya.

Resesi Ancam Dunia
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan Indonesia perlu waspada terhadap berbagai potensi risiko mulai dari resesi, utang, geopolitik hingga perubahan iklim atau climate change yang akan mengancam perekonomian global pada tahun ini.

“Saya ingin sampaikan beberapa alasan untuk kita waspada (pada 2023) sebelum kita optimis (pada 2023),” katanya dalam CEO Banking Forum di Jakarta, Senin (9/1).

Sri Mulyani menuturkan potensi resesi tahun ini salah satu mulai tercermin dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang memperkirakan ekonomi global 2023 hanya tumbuh 2,7%.

Perkiraan IMF terhadap ekonomi global 2023 tersebut lebih rendah dibandingkan perkiraannya untuk pertumbuhan ekonomi 2022 yang sebesar 3,2%. Angka tersebut juga jauh di bawah realisasi pertumbuhan 6% pada 2021.

Melalui perkiraan itu, IMF pun memprediksikan 30% sampai 40% dari perekonomian negara-negara di dunia akan mengalami resesi pada tahun ini.

Selain ancaman resesi, dunia turut dihadapkan dengan adanya utang negara yang sudah tidak sustainable atau berkelanjutan pada 2023.

Terdapat lebih dari 63 negara di dunia yang utangnya dalam kondisi mendekati bahkan sudah tidak berkelanjutan hingga hal ini menjadi salah satu topik utama dalam gelaran Presidensi G20 Indonesia.

“Tahun 2023 dunia harus menjinakkan inflasi dengan menaikkan suku bunga pada saat debt stock-nya tinggi pasti berdampak tidak hanya resesi tapi di berbagai negara yang utangnya sangat tinggi berpotensi mengalami debt crisis,” jelas Sri Mulyani.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar