c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

EKONOMI

24 Oktober 2025

19:59 WIB

CIPS: Demi Pangan Terjangkau, Kemendag Perlu Evaluasi Menyeluruh Kebijakan NTM 

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian per Mei 2025, terdapat sekitar 370 non-tariff measures/NTM yang diterapkan di Indonesia. CIPS menilai NTM menghalangi akses pada pangan terjangkau.

Penulis: Ahmad Farhan Faris

<p id="isPasted">CIPS: Demi Pangan Terjangkau, Kemendag Perlu Evaluasi Menyeluruh Kebijakan NTM&nbsp;</p>
<p id="isPasted">CIPS: Demi Pangan Terjangkau, Kemendag Perlu Evaluasi Menyeluruh Kebijakan NTM&nbsp;</p>

Buruh pelabuhan membongkar beras impor dari kapal kargo berbendera Vietnam di Pelabuhan Malahayati, Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Rabu (11/10/2023). Antara Foto/Ampelsa

JAKARTA - Harga bahan pangan yang tinggi masih menjadi momok bagi keluarga berpenghasilan rendah di Indonesia. Salah satu pemicunya adalah kebijakan hambatan non-tarif (non-tariff measures/NTM). Aturan yang diharapkan melindungi industri dalam negeri itu, justru bisa menjerat akses masyarakat terhadap pangan terjangkau.

Analis Kebijakan dan Peneliti Center for Indonesian Policy studies (CIPS), Hasran mengatakan pemerintah perlu menyikapi hambatan non-tarif dan mengutamakan kondisi konsumen. Menurut dia, hambatan non-tarif merujuk kepada langkah pemerintah membatasi perdagangan luar negeri, selain bea masuk atau tarif impor.

Kata dia, pemerintah dapat melakukan langkah korektif dengan menyederhanakan penerapan NTM, khususnya dalam sektor pangan. Memang, Hasran menilai penggunaan NTM lazim untuk menjaga kinerja perdagangan dalam negeri.

“Namun, penggunaan yang berlebihan dapat mempengaruhi struktur pasar dan menambah beban biaya pada dunia usaha yang akhirnya berdampak kepada konsumen,” kata Hasran melalui keterangannya pada Jumat (24/10).

Baca Juga: Zulhas: Program Pangan 10 Tahun Tuntas Setahun, Swasembada Jadi Tumpuan

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian per Mei 2025, terdapat sekitar 370 hambatan non-tarif yang diterapkan di Indonesia. Angka ini menurun dibandingkan data penelitian CIPS tahun 2020, yang mencatat 466 hambatan non-tarif pada komoditas pangan dan pertanian.

Meski demikian, Hasran menyebut penerapan yang berlebihan dan rumit tetap berpotensi merugikan konsumen. Padahal, kebijakan ini dibuat dengan tujuan melindungi industri lokal dan menjaga stabilitas harga serta pasokan pangan di pasar.

“Regulasi tentang kuota, lisensi, peraturan dan persyaratan label, kontrol harga, serta langkah-langkah anti persaingan membuat harga pangan menjadi tinggi. Keluarga berpenghasilan rendah pada akhirnya dirugikan karena sulit mendapatkan bahan pangan terjangkau,” jelas dia.

Hasran mengatakan penyederhanaan hambatan non-tarif adalah alternatif konkret untuk menekan harga pangan dan mengurangi kemiskinan. Simulasi penelitian CIPS tahun 2021, memperkirakan bahwa penghapusan seluruh hambatan non-tarif pada beras dan daging dapat menurunkan tingkat kemiskinan hingga 2,83%.

“Penurunan harga pangan akibat pelonggaran hambatan ini meningkatkan daya beli masyarakat, terutama kelompok berpendapatan rendah yang menghabiskan sebagian besar penghasilannya untuk kebutuhan pokok,” ujarnya.

Dengan kata lain, kata Hasran, ketika harga pangan lebih terjangkau, kesejahteraan meningkat dan kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin dapat menyempit. “Temuan ini tetap relevan mengingat berbagai hambatan non-tarif masih diterapkan pada komoditas pangan strategis,” imbuhnya.

Baca Juga: Pemerintah Longgarkan Impor Sapi Hidup Untuk MBG Dan Kopdes

Tiga Jenis Reformasi
Untuk itu, Hasran mengatakan CIPS merekomendasikan tiga jenis reformasi yang dapat dilakukan pemerintah untuk membantu meredam dampak penerapan hambatan non-tarif. Pertama, Kementerian Perdagangan perlu meninjau kembali hingga mengevaluasi secara menyeluruh kebijakan NTM yang masih berlaku.

“Keuntungan dan kerugian setiap kebijakan itu perlu diidentifikasi. Hambatan yang memicu kenaikan harga pangan juga perlu segera dihapus,” ungkapnya.

Kedua, Kementerian Perdagangan bersama Kementerian Pertanian perlu memperkuat infrastruktur dan sistem untuk menekan biaya kepatuhan. Ketiga, Kementerian Perdagangan sebaiknya mengganti sistem kuota impor dengan sistem perizinan impor otomatis yang dapat mendorong transparansi, kepastian, dan kemudahan perdagangan.

"Reformasi kebijakan diperlukan untuk memperkuat ketahanan pangan, mendorong daya saing sektor pertanian, dan memastikan masyarakat mendapatkan akses pangan yang terjangkau tanpa terbebani aturan NTM yang berbelit," pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar