11 Januari 2020
20:50 WIB
JAKARTA – Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batu Bara atau Tekmira, Badan Litbang Kementerian ESDM menginisiasi penelitian anoda baterai dari bahan batu bara. Tekmira mengkonversi batu bara menjadi bahan baku pitch bernilai tinggi.
Riset yang dilaksanakan Kelompok Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batu bara ini, bertujuan mendukung program hilirisasi batu bara menjadi bahan baku grafit sintetik yang bernilai tinggi. Kegiatan difokuskan pada pembuatan prekursor karbon dari residu distilasi ter batu bara sebagai material penyimpanan energi.
Koordinator KP3 Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batu bara Slamet Handoko menjelaskan, grafit merupakan bahan baku utama anoda baterai yang umum digunakan pada peralatan elektronik. Contoh saja baterai telepon genggam, laptop, dan kendaraan listrik. Material ini berkinerja tinggi dan memiliki kapasitas pengisian cepat, seta berumur panjang.
Saat ini, sekitar 83% pasokan grafit alam dunia dipasok dari China dan Brasil. Namun tidak semua grafit alam dapat digunakan sebagai anoda baterai, karena alasan kemurnian dan kualitas ukuran kristalnya.
“Grafit sintetik memiliki kemurnian dan ukuran kristal yang homogen. Sayangnya biaya proses pembuatan grafit sintetik secara konvensional dari minyak bumi masih mahal, mencapai 10 kali biaya pengolahan grafit alam,” terang Slamet secara tertulis, Senin (11/1).
Walaupun harga melangit, proporsi pemakaian grafit sintetik sebagai anoda baterai tidak berkurang. Oleh karena itu, grafit sintetik biasanya dicampur dengan grafit alam olahan atau spherical graphite, untuk menekan biaya produksi.
“Sejak 2014 proporsi grafit sintetik mencapai 33-40% dan diprediksi terus meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan baterai mobil listrik,” sambung Slamet.
Berdasarkan data yang dipublikasi oleh produsen mobil listrik Tesla, permintaan grafit alam diperkirakan meningkat setiap tahunnya sebesar 154%. Ini menempatkan grafit sebagai bahan galian paling diburu ke depannya. Oleh karena itu, Slamet menegaskan bahwa penelitian grafit sintetik perlu dilakukan untuk mengantisipasi ledakan permintaan. Apalagi, Indonesia tidak memiliki tambang grafit alam yang ekonomis.
Ia juga menjabarkan, batu bara peringkat rendah di Indonesia sangat berlimpah, dan potensinya cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai prekursor karbon dalam pembuatan anoda baterai.
Pada umumnya, batu bara menghasilkan senyawa hidrokarbon ketika dibakar dengan oksigen dan menghasilkan panas. Namun jika batu bara dipanaskan pada kondisi tanpa oksigen, akan didapatkan hidrokarbon dalam bentuk ter yang dapat diolah lebih lanjut menjadi pitch.
“Proses pembuatan ter ini dikenal sebagai pirolisis, sementara proses pengolahan ter menjadi pitch biasanya melalui distilasi. Kedua proses ini telah diteliti dan dikuasai oleh para peneliti Puslitbang Tekmira,” sambung Slamet.
Walau demikian tidak semua bagian dari pitch tersebut dapat dijadikan grafit sintetik, sehingga perlu proses modifikasi dan ekstraksi menggunakan pelarut. Hanya sekitar 30-40% dari pitch yang dapat diekstrak dan kemudian dapat dijadikan prekursor karbon untuk pembuatan grafit sintetik.
“Produk hasil ekstraksi sering juga disebut sebagai mesophase pitch, karena mengandung 100% karbon, yang dapat dikonversi menjadi grafit,” terangnya.
Baca Juga:
Ketua Tim Penelitian Phiciato menambahkan, proses pembuatan grafit sintetik secara konvensional, baik yang menggunakan minyak bumi atau batu bara, harus melalui proses pada suhu ekstrim sekitar 2.000-3.000oC. Kondisi ini sulit diterapkan secara ekonomis pada skala industri.
Dengan bantuan katalis, suhu proses dapat diturunkan hingga mendekati 1.000oC. Hasil pengamatan dengan X-Ray Diffraction menunjukkan, grafit sintetik dapat terbentuk pada suhu 1.200oC dengan bantuan katalis berbasis Ferrum (Fe).
“Kunci keberhasilan dipengaruhi dua aspek yaitu efektivitas pembuatan mesophase dan pemilihan jenis katalis. Saat ini tim peneliti masih berfokus pada pembuatan mesophase dan ke depan akan mengembangkan katalis yang cocok dan ekonomis,” tegas Phiciato.
Peneliti Muda Puslitbang Tekmira ini menguraikan, pada prinsipnya grafit sintetik dapat disintesa dari segala jenis material karbon seperti biomassa, jelaga, arang, dan limbah industri. Asalkan, memiliki media katalis yang cocok dan jaminan ketersediaan pasokan.
Jika dibandingkan dengan biomassa, kandungan karbon tetap atau fixed-carbon pada batu bara rata-rata 2-3 kali biomassa. Hal ini yang mendasari pemilihan batu bara dan turunannya sebagai prekursor karbon yang ekonomis.
“Semakin tinggi kandungan karbon tentu berdampak pada semakin baiknya keekonomian proses grafitisasi,” pungkasnya. (Zsazya Senorita)