18 Desember 2024
10:06 WIB
Transisi Energi di Indonesia Terhadang Anggaran
Transisi energi memang dibutuhkan, namun butuh anggaran besar untuk mewujudkannya.
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Leo Wisnu Susapto
Petugas melakukan perawatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang terpasang di SDN Ragunan 8, Jakarta, Selasa (26/3/2024). ValidNewsID/Darryl Ramadhan.
JAKARTA - Direktur Eksekutif Sustain, Tata Mustaya menilai, Indonesia memerlukan percepatan transisi dari energi fosil ke energi terbarukan untuk memitigasi krisis iklim, memperkuat ketahanan energi, dan menciptakan akses energi yang inklusif. Namun, untuk memenuhinya, pemerintah terganjal anggaran yang terbatas hingga lambatnya transisi energi.
“Di tahun pertama pemerintahan Prabowo, transisi energi berhadapan dengan ruang fiskal terbatas, kondisi ekonomi kelas menengah yang tertekan, inflasi iklim dan inflasi akibat bahan bakar fosil, serta fakta transisi energi berjalan lambat dalam 10 tahun terakhir,” jelas dia, dalam keterangannya, Rabu (18/12).
Tata menjelaskan, transisi energi memerlukan pembiayaan yang besar dan hal tersebut akan berhadapan dengan keterbatasan fiskal dan kompetisi alokasi belanja pemerintahan Prabowo. Maka dari itu, dia menyarankan, perlu dilakukan peningkatan pungutan produksi batu bara sebagai solusi bagi pemerintahan Prabowo.
Tujuan dari penerapan peningkatan pungutan adalah menambah penerimaan negara untuk membiayai percepatan transisi energi.
Selain itu, memberikan disinsentif bagi produksi batu bara untuk menggeser pembiayaan dan investasi dari sektor tambang batu bara ke energi bersih dan terbarukan sebagai bagian dari mitigasi krisis iklim.
Kemudian pengingatan pungutan juga untuk menerapkan aspek keadilan dengan menerapkan pungutan yang memadai bagi sektor tambang batu bara yang memiliki super normal profit.
Dalam perhitungannya, dengan berbagai skenario harga yang diambil dari harga dan jumlah produksi batu bara yang riil di 2022-2024, Pemerintahan Prabowo bisa memperoleh tambahan penerimaan negara minimum sebesar US$5,63 miliar atau Rp84,55 triliun per tahun dari peningkatan pungutan produksi batu bara.
Sementara itu, tambahan penerimaan negara maksimum yang diperoleh bisa mencapai US$23,58 miliar atau Rp353,7 triliun per tahun dari peningkatan pungutan produksi batu bara.
“Tambahan penerimaan tersebut dapat membiayai kebutuhan pendanaan untuk Just Energy Transition Partnership (JETP) sebesar 96,2 miliar Dolar AS dari tahun 2023 sampai dengan 2030 yang sejauh ini mengalami kendala untuk memiliki pembiayaan yang konkret,” papar Tata.
Pada masa Pemerintahan Prabowo dari 2024 hingga 2029, percepatan transisi energi sebagai bentuk kontribusi Indonesia terhadap mitigasi krisis iklim semakin mendesak.
Krisis iklim dengan beragam dampaknya, seperti peningkatan suhu dan cuaca ekstrem yang sangat berdampak bagi sektor pertanian, naiknya permukaan air laut yang juga memiliki implikasi besar bagi Indonesia sebagai negara kepulauan, dan bencana hidrometeorologi- semakin meningkat cakupan dan intensitasnya di Indonesia.
Target pencapaian Perjanjian Paris dan Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia juga akan dievaluasi di tahun 2030. Tidak hanya untuk mitigasi krisis iklim, transisi energi ke energi terbarukan juga akan memperkuat ketahanan energi dan akses energi yang inklusif, serta menciptakan lapangan kerja dari hulu hingga hilir di industri energi terbarukan.