20 Februari 2024
20:38 WIB
Penulis: Erlinda Puspita
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudistira mengungkapkan, saat ini hilirisasi nikel menjadi isu penting bagi Indonesia di tengah tahun politik. Tak hanya itu, seiring meningkatnya permintaan nikel global yang sejalan dengan produksi kendaraan listrik, Presiden Joko Widodo juga dinilai getol menggenjot ekspor nikel namun melarang dalam pengiriman bijih nikel sejak 2020.
Bhima menyebutkan, larangan ekspor bijih nikel tercatat telah meningkatkan nilai ekspor nikel dari semula US$4 miliar pada 2017 menjadi US$34 miliar pada 2022, atau meningkat sekitar 750%. Sayangnya, peningkatan nilai ekspor tersebut menurut Bhima sering mengabaikan dampak risiko lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Berdasarkan hasil studi terkait dampak kesehatan dan ekonomi dari upaya pengolahan nikel yang dilakukan oleh Pusat Penelitiam Energi dan Udara Bersih atau Center for Energy and Clean Air Research (CREA) bersama Pusat Studi Ekonomi dan Hukum atau Center for Economic and Legal Studies (CELIOS), ditemukan bahwa tidak ada keuntungan ekonomi yang berarti dari adanya hilirisasi mineral.
Baca Juga: Bahlil Bantah Indonesia Ketergantungan Ekspor Nikel ke China
Studi ini bertajuk "Membongkar Mitos Nilai Tambah dalam Industri Hilir Nikel" yang mengkaji dampak industri terhadap ekonomi, ekologi, dan kesehatan masyarakat, dengan fokus pada tiga lokasi teratas untuk operasi peleburan nikel, yaitu Provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.
"Secara garis besar, aktivitas ekonomi di sekitar smelter nikel hanya tumbuh pesat di awal tahun hadirnya smelter karena ada di fase konstruksi dan itu membutuhkan banyak pekera. Namun setelahnya akan merosot bahkan minus dampak ekonomi," jelas Bhima dalam konferensi pers, Selasa (20/2).
Ia menuturkan jika jalur pertumbuhan industri nikel saat ini di ketiga wilayah tersebut menyumbang US$4 miliar atau Rp62,8 triliun pada tahun kelima pembangunannya. Namun setelah itu, dampak negatif industri terhadap ekologi lokal mulai mempengaruhi total output perekonomian, dan menjadi lebih drastis setelah tahun kedelapan.
"Ekspansi yang makin masif di Indonesia bagian Timur, menyebabkan efek deforestasi dan terganggunya kehidupan dari masyarakat lokal. Selain itu, profit yang diperoleh dari industri nikel, tidak semua kembali ke ekonomi lokal," ucapnya.
Ia merinci, beberapa kerusakan lingkungan yang ia dan tim temukan sejak kunjungan ke lapangan di tahun 2018 antara lain menurunnya kualitas udara, air, dan tanah. Imbasnya, pendapatan petani dan nelayan di sekitar industri nikel pun menurun. Penurunan pendapatan tersebut diperkirakan selama 15 tahun ke depan hingga sekitar US$234,8 juta atau Rp3,64 triliun.
Bhima pun membantah adanya proyek industri nikel akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penyerapan tenaga kerja dan kenaikan upah. Faktanya, dari penelitian yang ia sampaikan, penyerapan kerja baru terjadi di tiga tahun pertama pembangunan dan kemudian berangsur turun hingga tahun kelima belas.
Hal tersebut terjadi menurutnya karena telah beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Batubara Captive yang melekat pada kawasan industri, khususnya yang bergerak dalam industri smelter nikel.
Baca Juga: PT IMIP Mulai Salurkan Santunan Korban Ledakan Smelter Nikel
Energi Batu Bara
Perlu diketahui, pengolahan bijih nikel kadar rendah memerlukan banyak energi dan Indonesia bergantung pada tenaga batu bara. Dari 10,8 GW kapasitas operasi seluruh pembangkit listrik tenaga batubara di Indonesia, lebih dari 75% (8,2 GW) didedikasikan untuk pemrosesan logam. Dari jumlah tersebut, nikel saja mengkonsumsi tiga perempatnya atau sekitar 6,1 GW.
“Ketergantungan industri terhadap tenaga batu bara akan menyebabkan setidaknya 3.800 kematian setiap tahun dalam dua tahun ke depan, dan hampir 5.000 kematian pada akhir dekade ini, sehingga menyebabkan beban ekonomi sebesar US$2,63 miliar dan US$3,42 miliar per tahun pada periode yang sama," ucap Analis CREA, Katherine Hasan.
Berdasarkan hasil studi tersebut, maka disimpulkan sejumlah rekomendasi yang sebaiknya dilakukan pemerintah, yaitu rekomendasi kebijakan untuk memberdayakan pabrik peleburan nikel dengan energi ramah lingkungan dibandingkan dengan tenaga batu bara. Kemudian memperkuat standar pengungkapan emisi dan lingkungan hidup, serta meningkatkan pembayaran royalti.
"Langkah-langkah ini akan mengurangi dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup, serta meningkatkan manfaat perekonomian nasional dari kekayaan cadangan nikel di Indonesia," pungkas Bhima.