c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

10 September 2025

20:32 WIB

Cegah Korupsi, Ini Cara Islam Kelola SDA Negara

INDEF mengungkapkan Islam telah mengatur tata cara mengelola sumber daya alam (SDA). Bahkan juga memperingati potensi jatuhnya sebuah negara karena korupsi.

Penulis: Erlinda Puspita

Editor: Fin Harini

<p id="isPasted">Cegah Korupsi, Ini Cara Islam Kelola SDA Negara</p>
<p id="isPasted">Cegah Korupsi, Ini Cara Islam Kelola SDA Negara</p>

Konsep green energy truk pertambangan di atas hamparan berpasir di sebelah panel surya. Shutterstock /StudioFI

JAKARTA - Penasihat Center for Sharia Economic Development Institute for Development of Economics and Finance (CSED-INDEF) A. Hakam Naja menjelaskan, dalam konsep Islam terdapat cara aturan pengelolaan sumber daya alam (SDA) oleh negara yang terbagi ke dalam tiga kelompok. Pengelolaan SDA ini harus memenuhi kebutuhan masyarakat, tanpa ada korupsi.

Hakam menuturkan, berdasarkan kitab Al-Ahkam as-Shultaniyyah wa al-Wilayah ad-Diniyyah yang ditulis oleh Al Mawardi pada tahun 974-1058 M, sumber pendapatan negara terbagi menjadi tiga. Pertama, harta milik umum seperti air, tanah, dan tambang dikuasai oleh negara bukan individu.

Kedua, harta milik negara seperti fa'i atau harta yang diperoleh dari non Muslim secara damai tanpa peperangan dan bukan harta ghanimah atau harta yang diperoleh dari musuh melalui peperangan, serta instrumen pajak.

Baca Juga: Ekonomi Syariah Jadi Sumber Pertumbuhan Ekonomi Baru Di KTI

"Ketiga adalah perolehan pajak dari kekayaan pribadi masyarakat yang bisa menjadi sumber keuangan negara yang dikelola dalam baitul mal," kata Hakam dalam diskusi publik Indef bertajuk Demo Mencerminkan Kesenjangan, Ekonomi Syariah Memberi Jawaban, Rabu (10/9).

Senada dengan Al Mawardi, Hakam juga menyampaikan penjelasan menurut Abu Ubaid pada tahun 770-838 M yang menyatakan bahwa di sisi Islam, SDA seperti minyak, gas, tambang, mineral adalah milik umum. SDA tersebut seluruhnya wajib dikelola hanya oleh negara untuk rakyat.

"Negara berkewajiban mengelola dan mendistribusikan hasil dari sumber daya tersebut demi kemaslahatan umat. Prinsip kepemilikan umum ini bertujuan untuk mencegah eksploitasi, serta menjamin distribusi keayaan yang lebih adil dan merata," kata Hakam menjelaskan.

Selain wajib mengolah SDA sendiri, negara juga dilarang mengalihkan atau melimpahkan hak pengelolannya kepada pihak manapun, baik perorangan maupun korporasi. Hal ini menurut Hakam diakui oleh ulama Imam dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Dalam madzhab-madzhab ini, pengalihan hak pengelolaan kepada pihak lain maka akan mengurangi hak bersama yang dimiliki oleh setiap orang.

"Jadi saya kira ini memang menjadi tatanan penting. Konsep Islam mengenai pengelolaan SDA. Negara kita katanya kaya, tetapi rakyatnya miskin. Kenapa? Nah, ini jawabannya," tutur dia.

Salah satu contoh kisah yang melarang pengalihan pengelolaan SDA kepada pihak swasta, kata Hakam, yaitu hadis yang disampaikan oleh sahabat Nabi, Abyadh bin Hammal meminta Rasulullah SAW untuk diberi hak pengolahan tambang garam di suatu wilayah yang ditunjukkannya. Semula Rasulullah memenuhi permintaan tersebut, tetapi setelah mengetahui bahwa lokasi penambangan tersebut memiliki deposit garam yang besar, maka dicabut kembali izin tersebut.

Tindakan Rasulullah mengambil kembali tambang garam setelah Beliau mengetahui bahwa depositnya sangat banyak laksana air yang mengalir, menunjukkan bahwa kepala negara tidak dibenarkan untuk melimpahkan pengolahannya kepada pihak swasta.

"Maka dalam Islam bahwa seluruh tambang dari batu bara, nikel, gas, minyak bumi, emas, tembaga, timah, perak, dan sebagainya termasuk garam itu juga, yang ada di laut dan sebagainya, itu adalah semestinya dikuasai oleh negara, menjadi milik masyarakat," ujar Hakam.

Baca Juga: Sri Mulyani Yakin Eksyar Jadi Solusi Kapitalisme Ekonomi Dunia

Lebih lanjut, hakam mengingatkan akan besarnya potensi kehancuran suatu negara jika terjadi korupsi terutama dalam pengelolaan SDA. Ia menyampaikan, menurut Ibnu Khaldun dalam buku Muqaddimah yang menguraikan tentang jatuhnya peradaban besar seperti Bani Umayah dan Bani Abbasiyah, faktor utamanya disebabkan oleh korupsi.

"Ibnu Khaldun mengatakan bahwa tanda-tanda sebuah pemerintahan yang korup adalah ketika pemerintah mengutamakan proyek pembangunan yang tidak ada hubungannya secara langsung dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat, seperti membangun gedung-gedung yang megah, atau jalan-jalan infrastruktur yang bagus," imbuh Hakam.

Hakam pun menyampaikan beberapa kasus korupsi besar di Indonesia yang beberapa di antaranya justru mengelola SDA Indonesia. Terbesar pertama adalah korupsi Pertamina Patra Niaga (2018-2023) senilai Rp968,5 triliun, korupsi PT Timah (2015-2202) senilai Rp300 triliun, Kasus BLBI (1997-1998) senilai Rp138,44 triliun.

Berikutnya kasus penyerobotan lahan PT Duta Palma Grup (2003-2022) senilai Rp78 triliun. Kasus PT TPPI (2009) senilai Rp37,8 triliun, kasus PT Asabri (2012-2019) senilai Rp22,78 triliun, dan masih banyak lagi di antaranya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar