03 Oktober 2023
13:39 WIB
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Pembentukan bursa minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) di Indonesia dinilai bukan menjadi solusi tepat untuk mengatasi permasalahan industri sawit dalam negeri.
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah Redjalam. Dia menilai upaya yang perlu digencarkan pemerintah adalah hilirisasi sawit dan menerbitkan regulasi yang memadai.
“Bursa CPO sebenarnya bukan solusi atas permasalahan di Indonesia. Permasalahan kita kan bukan terkait ada atau tidaknya bursa CPO, karena selama ini enggak jadi masalah kan,” ujarnya dalam diskusi White Paper Perkembangan Kebijakan Industri Sawit Indonesia, Senin (2/10).
Untuk diketahui, pemerintah melalui unit vertikal Kementerian Perdagangan, yakni Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) berencana meluncurkan bursa CPO.
Dengan demikian, nantinya bursa CPO Indonesia bisa bersanding dengan bursa CPO Malaysia dan Rotterdam. Namun perjalanan masih panjang, sekarang ini pun pemerintah masih maju mundur menetapkan regulasi terkait bursa CPO RI.
Baca Juga: Bea Keluar dan Pungutan Ekspor CPO 16-30 September Turun
Piter menilai rencana pembentukan bursa CPO agar Indonesia menjadi penentu harga CPO dunia merupakan langkah baik. Namun dia melihat pematangan bursa CPO RI membutuhkan waktu yang tidak singkat, dan upaya ekstra untuk membangun kredibilitas.
“Kalau kita lihat berbagai kajian pembentukan bursa, pembelajarannya pertama, membangun bursa itu butuh waktu, lalu kedua, membangun kredibilitas itu juga butuh upaya,” terang Piter.
Selain itu, menurutnya ada beberapa faktor penentu keberhasilan pembangunan bursa CPO Indonesia, seperti tata kelola, infrastruktur, dan regulasi. Namun Piter menekankan faktor paling utama adalah pemerintah tidak perlu melakukan intervensi.
Dia menilai nantinya, perdagangan bursa CPO Indonesia harus berjalan sesuai mekanisme pasar. Dia menganggap bursa CPO RI akan lebih kredibel, dan harganya pun bisa menjadi rujukan global ketika pasar minim intervensi dari pemerintah.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute menambahkan pemerintah juga perlu memberikan insentif. Itu berperan sebagai stimulus bagi pelaku industri sawit agar mau bertransaksi di bursa CPO RI tanpa paksaan.
“Tata kelola harus bagus, peserta-peserta yang berdagang di sana (bursa CPO) banyak, volume perdagangan tinggi. Oleh karena itu catat, pemerintah harus memastikan intervensi dari pemerintah untuk kepentingan pemerintah itu minim,” tegas Piter.
Hilirisasi
Lebih lanjut, Piter mengatakan industri sawit dan turunannya telah berkembang luas dan berkontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB). Itu tercermin dari terciptanya nilai tambah, kinerja ekspor dan penyerapan tenaga kerja di industri sawit Indonesia.
Untuk produksi CPO, Indonesia konsisten menyumbang porsi di atas 50% dari produksi minyak kelapa sawit global. Pada 2022 produksi CPO Indonesia mencapai 46,73 juta ton, sedangkan produksi CPO dunia sebanyak 78,9 juta ton.
Untuk porsi penyerapan tenaga kerja di industri sawit sebesar 59% adalah perusahaan, yang mencakup para pekerja pabrik kelapa sawit, termasuk petani sawit.
Sementara itu, sebesar 41% merupakan tenaga kerja pendukung di industri sawit, seperti angkatan darat dan laut.
Sejalan dengan itu, Piter menilai hilirisasi industri sawit penting untuk mensejahterakan pelaku industri, termasuk petani sawit di tiap lini produksi, dari hulu ke hilir.
“Kontribusi dari sawit di dalam perekonomian rakyat itu sudah sangat besar. Itu menurut saya yang perlu menjadi pegangan kita ketika kita bicara tentang industri sawit,” tutur Piter.
Baca Juga: El Nino Diyakini Dukung Kinerja Keuangan Emiten CPO
Kebijakan Industri Sawit Jangan Sampai Blunder
Piter juga menyoroti pentingnya menerapkan kebijakan yang pas. Jika mau membentuk bursa CPO Indonesia, pemerintah perlu terlebih dulu memperhatikan industri sawit secara holistik, termasuk penerapan kebijakannya.
Menurutnya, untuk memajukan industri sawit akan ada banyak hambatan, terutama dari pihak eksternal seperti kebijakan ketat mitra dagang Indonesia. Tak kalah penting, Piter menekankan jangan sampai ada hambatan dari internal sendiri, seperti penerbitan regulasi yang tidak pas.
Dia mencontohkan kebijakan larangan ekspor CPO pada 2022. Kondisi tahun lalu harga CPO sedang tinggi-tingginya, produksi dalam negeri juga melimpah, tetapi pemerintah malah menutup keran ekspor CPO.
Dengan demikian, lanjut Piter, negara eksportir pesaing seperti Malaysia justru menikmati kebijakan larangan tersebut. Hanya Malaysia yang tetap menjual CPO saat Indonesia sedang terdiam.
Piter menuturkan petani sawit mengalami kerugian besar. Pasalnya, harapan para petani sawit adalah meraup untung dari tingginya harga jual CPO. Namun pada 2022 yang terjadi adalah harga dunia di level tertinggi, sedangkan harga tandan buah sawit (TBS) anjlok, dan tidak bisa dijual sampai buahnya busuk.
“Pemerintah jangan sampai lucu, berupaya atasi hambatan ekspor yang dilakukan banyak negara terhadap kita, di sisi lain dalam negeri kita buat hambatan-hambatan baru,” ucap Piter.
Oleh karena itu, Piter mewanti-wanti pemerintah agar berhati-hati saat merancang ataupun menerapkan kebijakan terkait industri sawit, termasuk bursa CPO RI.
Menurutnya, regulasi memiliki momok penting karena otomatis akan memberikan dampak kepada ekosistem industri sawit.
“Jangan sampai menginisiasi kebijakan yang justru membuat petani sawit menderita. Kita ingatkan, pemerintah agar konsisten terhadap kebijakan industri sawit ini, kebijakannya kondusif, jangan blunder, agar industri sawit tidak terganggu,” tutup Piter.