27 Juni 2024
16:31 WIB
BPKM Klaim Mundurnya BASF Dan Eramet Tak Surutkan Minat Investasi
Dua perusahaan asal Eropa, BASF dan Eramet, memutuskan hengkang sebagai investor proyek smelter nikel Sonic Bay di Maluku Utara. Kementerian Investasi/BKPM mengklaim itu tidak menyurutkan investasi.
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Ilustrasi smelter. Smelter milik PT Gunbuster Nickel Indonesia yang terletak di Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah. (GNI.dok)
JAKARTA - Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengklaim mundurnya perusahaan asal Eropa, BASF dan Eramet selaku pemodal dalam proyek smelter nikel Sonic Bay di Maluku Utara, itu tidak menyurutkan minat investor asing di sektor hilirisasi Tanah Air.
Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Nurul Ichwan mengatakan, pemerintah sudah mengetahui keputusan bisnis BASF dan Eramet untuk membatalkan investasinya.
Menurutnya, keputusan itu telah diperoleh setelah melakukan berbagai evaluasi.
"Keputusan mundur tersebut telah diketahui oleh Pemerintah Indonesia dan tidak menurunkan minat investor asing untuk menanamkan modalnya pada sektor hilirisasi di Indonesia," ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (27/6).
Nurul menjelaskan BASF dan Eramet yang telah memiliki legalitas usaha atas nama PT Eramet Halmahera Nikel (PT EHN). Perusahaan bertujuan mengembangkan proyek Sonic Bay yang senilai US$2,6 miliar di Kawasan Industri Teluk Weda, Maluku Utara.
Baca Juga: Smelter Siap Beroperasi, Freeport Kirim Perdana Konsentrat Ke Gresik
Dia menyampaikan proyek itu berupa pembangunan pabrik pemurnian nikel dengan teknologi High Pressure Acid Leach (HPAL), yang nantinya menghasilkan Mixed Hydroxide Precipitates (MHP). Namun, kedua pemodal asing itu memutuskan untuk hengkang dari proyek tersebut.
"Kami dari awal terus mengawal rencana investasi ini. Namun pada perjalanannya, perusahaan beralih fokus, sehingga pada akhirnya mengeluarkan keputusan bisnis membatalkan rencana investasi proyek Sonic Bay ini," tutur Nurul.
Dia juga menyampaikan keputusan BASF dan Eramet untuk tidak meneruskan rencana investasi didasarkan pada pertimbangan akan perubahan kondisi pasar nikel yang signifikan.
Utamanya, karena pilihan nikel yang menjadi suplai bahan baku baterai kendaraan listrik.
Dengan pertimbangan tersebut, perusahaan kimia terbesar asal Jerman, BASF itu memutuskan tidak ada lagi kebutuhan untuk melakukan investasi suplai material baterai kendaraan listrik. Namun BKPM menilai, keputusan ini tidak mencerminkan minat investor asing keseluruhan.
Sebab, menurut Nurul, minat investor asing di sektor hilirisasi tetap tinggi. Bahkan, ada beberapa proyek investasi di sektor hilirisasi telah mencapai tahap realisasi.
Baca Juga: Proyek Smelter Freeport Di Manyar Makan Biaya US$3,6 Miliar
Dia pun mencontohkan, proyek smelter tembaga terbesar di dunia milik PT Freeport Indonesia di Gresik, Jawa Timur yang resmi beroperasi mulai 27 Juni 2024.
Selain itu, produksi massal baterai kendaraan listrik pertama di Indonesia akan dimulai oleh PT Hyundai LG Indonesia (HLI) Green Power di Karawang, Jawa Barat pada Juli 2024 dan akan diresmikan oleh RI 1.
"Kami melihat hilirisasi untuk ekosistem baterai kendaraan listrik masih sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Apalagi, baru-baru saja Indonesia mendapat peringkat 27 pada World Competitiveness Ranking (WCR) 2024. Top 3 terbaik di wilayah ASEAN," tutup Nurul.