23 Januari 2025
20:42 WIB
BPJS Kesehatan; Antara Peningkatan Beban Klaim Dan Penyehatan Keuangan
Pada 2024, BPJS Kesehatan diterpa isu defisit keuangan hingga pembayaran klaim yang mandek. Bagaimana kondisi BPJS Kesehatan saat ini?
Penulis: Nuzulia Nur Rahma, Aurora K MÂ Simanjuntak, Erlinda Puspita
Editor: Rikando Somba
BPJS Kesehatan memberikan informasi kepada warga mengenai Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN KIS) di Semarang, Jawa Tengah, Minggu (19/11/2017). Antara Foto/Aditya Pradana Putra
JAKARTA - Bulan Januari tahun lalu menjadi salah satu memori yang paling membekas bagi Doni (32 tahun). Saat itu, ia merasa nyeri perut di bagian bawah yang membuatnya harus dilarikan ke Instalasi Gawat darurat (IGD) di sebuah rumah sakit secepatnya.
Setelahnya, diketahui ia mengalami usus buntu dan harus dioperasi secepatnya. Dari hari itu, selama lima hari Doni harus menghabiskan waktu di rumah sakit Hermina Depok.
Doni mengungkapkan, seluruh biaya pengobatan ditanggung pemerintah melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS. Dia merasa lega, tidak perlu pusing memikirkan biaya pengobatan.
"100% di-cover, paling hanya buat administrasi, dan obat-obat yang tidak ter-cover di BPJS,” katanya kepada Validnews, Kamis (23/1).
Meski begitu, tidak semua pengalaman menggunakan BPJS Kesehatan dialami Doni dengan mulus. Dia mengalami hal yang berbeda saat mengurus pengobatan sang ibu. Doni sering kali terhalangi oleh administrasi yang rumit.
"Waktu itu pernah orang tua, pengalaman yang cukup sulit untuk administrasinya," katanya.
Pada tahun yang sama dengan sakit yang dialaminya, sang ibu harus dilarikan ke rumah sakit lantaran penyakit gula (diabetes) yang diderita kian memburuk. Sejak saat itu, sang ibu tidak terhitung harus pindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya. Sistem rujukan yang dianut BPJS Kesehatan membuat ibunda Doni harus berkali-kali pindah rumah sakit padahal kondisi kian memburuk.
Di saat kondisi tersebut, menurutnya proses administrasi sangat lambat dan rumit. Meski begitu, menurutnya sejauh ini BPJS Kesehatan mampu membantunya dari segi finansial. Dia dan seluruh keluarganya sendiri kini terproteksi asuransi sebagai peserta kelas 1 program JKN.
Isu Permasalahan Klaim
Banyak pihak yang merasakan sama. Mereka terbantu pengobatannya tanpa harus pusing memikirkan biaya yang diperlukan. Namun, menjelang akhir tahun lalu, kondisi keuangan BPJS Kesehatan menjadi perbincangan publik. Ada kabar beredar bahwa rumah sakit yang bekerja sama tidak dapat mengklaim pembayaran ke BPJS Kesehatan.
Rumah sakit mitra BPJS Kesehatan disebut mengeluh karena mengalami mandek atau pending klaim pembayaran. Pending claim adalah klaim yang ditahan sementara oleh BPJS Kesehatan. Terang ini berpengaruh kepada pelayanan pasien pengguna JKN itu.
Baca Juga: Polemik Pengecualian Perokok Dari Jaminan BPJS
Beranjak dari situ, Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) berpandangan perlu adanya evaluasi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) setelah 10 tahun dijalankan. Tujuannya, agar program tetap berjalan berkelanjutan.
“Perlu evaluasi program JKN ini, khususnya ini persepsi dari Asosiasi RS Swasta Indonesia (ARSSI), perlu adanya perbaikan-perbaikan dan dukungan pemerintah agar program JKN ini tetap bisa sustain,” kata Sekretaris Jenderal ARSSI Arida kepada Validnews, Rabu (22/1).
Arida menuturkan, evaluasi yang dimaksud ialah dukungan pemerintah untuk meningkatkan anggaran kesehatan seperti meningkat premi, dan meninjau manfaat yang dijamin.Juga, kenaikan tarif JKN yang saat ini masih dinilai di bawah nilai keekonomian.
"Dan hal yang memberatkan RS swasta sebagai pemberi pelayanan peserta JKN karena RS swasta tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah," imbuhnya.
Sebaliknya, di kesempatan terpisah, Kepala Humas BPJS Kesehatan Rizzky Anugerah membantah mandeknya klaim rumah sakit ini karena defisit keuangan BPJS Kesehatan. Dijelaskan, klaim yang berstatus pending (dispute) merupakan klaim hasil verifikasi yang memerlukan konfirmasi kepada pihak fasilitas kesehatan (faskes).
Hal itu dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, pengajuan klaim faskes yang tidak sesuai kaidah pengkodean klinis (kode ICD) seperti kualitas dokumen klaim yang rendah serta tidak sesuai ketentuan. Kemudian, bisa jadi ada ketidaktepatan pengajuan klaim, antara lain kode diagnosis/prosedur yang tidak tepat, indikasi perawatan tidak tepat, indikasi fraud, termasuk manfaat yang tidak dijamin, tidak sesuai prosedur/standar pelayanan, hingga tidak disertai bukti pendukung/dokumen klaim.
"BPJS Kesehatan tidak pernah menolak atau memperlambat pengajuan klaim yang diajukan oleh rumah sakit. Kami terus berkomitmen untuk memproses seluruh klaim sesuai dengan prosedur yang berlaku," ucap Rizzky kepada Validnews, Selasa (21/1).
Ia juga menambahkan, BPJS Kesehatan juga terus meningkatkan kualitas pengajuan klaim oleh rumah sakit dengan melakukan edukasi terkait kode ICD dan kualitas dokumen klaim yang diserahkan. Dengan adanya perbaikan kualitas klaim dari fasilitas kesehatan, diharapkan proses pengajuan klaim bisa semakin efisien.
Bagaimana Verifikasi Klaim BPJS Kesehatan?
Apa yang dibeber Rizky diamini KPK. Ada juga fraud terjadi. Pada pertengahan tahun 2024, BPJS Kesehatan juga menghadapi kasus klaim fiktif bernilai miliaran rupiah yang dilakukan tiga rumah sakit. Dalam kasus tersebut setidaknya kerugian yang didapat bisa mencapai Rp35 miliar.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan terdapat tiga rumah sakit yang melakukan phantom billing atau klaim fiktif. Rinciannya, rumah sakit di Jawa Tengah dengan klaim fiktif Rp29 miliar dan dua rumah sakit di Sumatera dengan klaim fiktif masing-masing Rp4 miliar dan Rp1 miliar.
Modusnya, oknum rumah sakit tersebut melakukan phantom billing dengan merekayasa semua dokumen mulai dari identitas warga yang seakan-akan sakit dan membutuhkan penanganan medis hingga dokter yang sebenarnya sudah tidak bekerja di rumah sakit tersebut.
Rizzky pun menjelaskan, pengembalian klaim terjadi akibat adanya kesalahan pembayaran klaim atau indikasi kecurangan yang ditemukan melalui verifikasi pasca klaim (VPK) dan audit administrasi klaim (AAK).
"Dalam proses VPK dan AAK terdapat proses yang lebih mendetail seperti melakukan konfirmasi lanjutan ke fasilitas kesehatan, konfirmasi kepada peserta, bahkan sampai melihat ke rekam medis jika diperlukan," ujarnya.
Proses ini dilakukan untuk memastikan bahwa klaim yang dibayarkan sesuai dengan standar dan ketentuan yang berlaku. Rizzky menambahkan, jika ditemukan ketidaksesuaian atas klaim pelayanan kesehatan yang telah dibayarkan sebelumnya, maka akan dilakukan penelusuran/investigasi sesuai dengan melibatkan stakeholder lain seperti Dinas Kesehatan, Asosiasi Faskes, Organisasi Profesi, dan lain-lain.
"Jika memang dari hasil penelusuran/investigasi memang terbukti ada kecurangan maka akan ditindaklanjuti sesuai dengan peraturan yang berlaku," tegasnya.
Potensi Defisit dan Beban Klaim yang Terus Naik
Soal kemungkinan kian beratnya beban keuangan BPJS Kesehatan, pernah disinggung pengawas. Dalam sebuah diskusi, Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan Abdul Kadir sudah mewanti-wanti perihal potensi defisit keuangan di tubuh BPJS Kesehatan.
“Tantangan kedua adalah tantangan aspek keuangan. Tentunya BPJS Kesehatan selalu sampai sekarang dibayang-bayangi akan adanya misalnya defisit daripada keuangan BPJS Kesehatan,” kata Abdul dalam diskusi Kaleidoskop SJSN: Refleksi Satu Dekade Penyelenggaraan Jaminan Sosial di Indonesia,” 11 Januari 2024.
“DJS (dana jaminan sosial .red) akan kita semakin terancam,” imbuhnya.
Sebaliknya, Rizzky Anugerah mengungkapkan, pada akhir 2024, kondisi aset bersih dana jaminan sosial (DJS) Kesehatan masih tercatat positif sekitar Rp52 triliun. Diyakini, BPJS Kesehatan masih mampu membayar pelayanan dalam beberapa waktu ke depan. Di sisi lain, diakui. jika kini beban klaim yang harus ditanggung oleh BPJS Kesehatan terus meningkat setiap tahunnya.
“Kondisi ini sesuai dengan peraturan pemerintah Nomor 84 Tahun 2015 Pasal 37 Ayat 1 yang mengharuskan agar aset DJS Kesehatan mencukupi estimasi pembayaran klaim untuk 1,5 hingga 6 bulan ke depan,” kata Rizzky.
Tahun 2024 saja, BPJS Kesehatan telah membayarkan total biaya pelayanan kesehatan sebesar Rp175,07 triliun naik Rp17 triliun jika dibandingkan dengan total biaya pelayanan kesehatan tahun 2023 yang sebesar Rp158 triliun. Ditahun yang sama pula, BPJS Kesehatan mencatatkan pendapatan dari iuran JKN sebesar Rp165 triliun, sementara pendapatan dari investasi mencapai Rp5,3 triliun.
“Beban jaminan kesehatan dari tahun ke tahun terus meningkat,” ujarnya.
Jumlah biaya pelayanan kesehatan tersebut mencakup berbagai layanan, seperti Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP), Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP), Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL), Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL), serta biaya promotif dan preventif. Namun, menurut Rizzky, tingginya klaim BPJS Kesehatan ini juga menunjukkan bahwa masyarakat semakin sadar akan pentingnya jaminan kesehatan yang terjamin dan terjangkau.
"Hal ini menunjukkan pemanfaatan layanan Program JKN semakin tinggi oleh peserta JKN," katanya.
Rizzky menjelaskan, jikalau keuangan BPJS Kesehatan defisit, pemerintah dapat mengambil tindakan khusus sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan. Tindakan yang dimaksud antara lain adalah penyesuaian iuran peserta, pemberian suntikan dana tambahan dari pemerintah, atau penyesuaian manfaat layanan kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Masalah Lama dan Terobosan Baru
Adapun soal kemungkinan gagal bayar BPJS Kesehatan, Lembaga Riset dan Advokasi Kebijakan The Prakarsa menyampaikan ada beberapa penyebab. Di antaranya, inflasi kesehatan di Indonesia yang naik signifikan dalam dua tiga tahun terakhir ini, yang membawa dampak bukan saja pada BPJS Kesehatan tetapi juga pada industri asuransi pada umumnya.
Kedua, tingginya utilisasi fasilitas kesehatan, yang bounced dari masa pascapandemi.
Ketiga, banyaknya peserta tidak aktif yang hanya mendaftar dan membayar saat memakai dan tidak berlanjut sehingga membuat klaim manfaat membengkak tanpa menambah iuran secara berarti.
Sedang Peneliti Kebijakan Sosial The Prakarsa Victoria Fanggidae mengatakan, defisit BPJS Kesehatan ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Bahkan hanya setahun sejak diluncurkan, defisit sudah menjadi masalah.
“Pada saat itu, baru setahun beroperasi, yaitu 2015, defisit sudah mencapai Rp9,4 triliun,” ujar Victoria dalam keterangan resmi yang dikutip Kamis (23/1).
Di catatannya, keuangan BPJS Kesehatan hanya membaik setahun, pada tahun 2017 defisit terjadi lagi tiga kali lipat dari 2016. “Dan terus terjadi tanpa henti sampai pandemi covid-19, saat utilisasi rendah karena berbagai pembatasan dan akses masyarakat ke fasilitas kesehatan dibatasi,” sambung Victoria.
Riset The Prakarsa mengenai defisit JKN mengusulkan kombinasi antara kebijakan kenaikan iuran dan alternatif pendanaan melalui ekstensifikasi barang kena cukai. Mengutip riset itu, pemerintah diminta menyesuaikan nominal iuran dengan perhitungan aktuaria secara berkala dua tahun sekali sebesar 15%-18%. Sebab, sejak diluncurkan tahun 2014, besaran iuran sudah berada di bawah kecukupan aktuaria sebagai asuransi.
Kedua, dalam hal kepesertaan, pemerintah perlu mendorong peningkatan jumlah peserta JKN dan mendorong kepatuhan perusahaan dan peserta mandiri dalam mendaftarkan diri dan mengiur teratur. Sanksi yang serius perlu ditegakkan untuk ini.
Ketiga, pemerintah perlu melakukan eksplorasi pendanaan lain seperti dari Corporate Social Responsibility, cukai rokok, cukai kendaraan bermotor roda empat atau lebih, cukai makanan dan minuman berpemanis.
“Pemerintah harus serius dalam mencari cara-cara terobosan, yang bisa merupakan kombinasi beberapa cara yang berbeda, untuk menyelamatkan JKN dari kebangkrutan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 48 UU No.40 Tentang SJSN,” kata Victoria.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menambahkan, dengan potensi defisit yang terus membengkak, DJS yang dimiliki BPJS Kesehatan hanya bisa membiayai paling tidak dalam tiga bulan ke depan. Kondisi ini dilihatnya menjadi sinyal bahaya lantaran tidak ada kepastian pada bulan-bulan selanjutnya.
"Kita nggak tahu nanti di 2025 prediksi yang mengalami defisit transaksi berjalan. Ini akan menggerus aset neto-nya. Nah ini yang harus diantisipasi bagaimana supaya bisa dipastikan aset bersih itu tetap meningkat, pembiayaan bisa nilainya di bawah daripada pendapatan. Jadi pendapatan lebih tinggi daripada beban jaminan kesehatan," terangnya kepada Validnews, Rabu (22/1).
Menurutnya, ini akan menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah serta BPJS Kesehatan agar pengoperasionalan program JKN ini harus memiliki pembiayaan yang berkelanjutan. Ini lantaran Timboel melihat adanya ancaman penurunan aset bersih baik di tahun 2025 dan 2026. Ia menambahkan, untuk memastikan keberlanjutan dan kesehatan keuangan program JKN diperlukan kenaikan iuran, khususnya bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), serta perbaikan data penerima bantuan agar tepat sasaran.
Menurut Timboel, saat ini 95% dari pendapatan BPJS Kesehatan berasal dari iuran peserta, sehingga untuk menjaga agar rasio klaim tetap di bawah 100% dan pembiayaan JKN tetap sehat, pendapatan iuran perlu ditingkatkan. Buatnya, kenaikan iuran adalah salah satu solusi buat BPJS Kesehatan.
Timboel juga menyoroti pentingnya perbaikan data penerima bantuan iuran. Saat ini, sekitar 35% dari peserta PBI ternyata adalah pegawai swasta yang seharusnya tidak masuk dalam kategori tersebut, karena mereka sudah menerima upah. Peserta yang seharusnya membayar iuran dengan kontribusi 5% dari upahnya malah tercatat sebagai penerima bantuan iuran.
"Nah ini kan sudah salah gitu ya ada orang miskin ya nggak dapat, tapi orang yang sudah mendapatkan upah tiap bulan malah menjadi peserta PBI. Upaya yang harus dilakukan pemerintah untuk membersihkan data penerima bantuan iuran sehingga 35% penerima bantuan iuran ini harus dikembalikan sebagai peserta penerima upah yang bayar 5%," tambahnya.
Ia juga menekankan bahwa potensi peserta swasta sangat besar. Saat ini, hanya sekitar 18 juta pekerja swasta yang terdaftar, padahal jumlah angkatan kerja di sektor formal bisa mencapai 49 juta orang. Di kalkulasinya, iika seluruh pekerja swasta yang mampu membayar iuran didorong untuk membayar, maka kontribusi mereka akan sangat membantu mengurangi defisit BPJS Kesehatan.
Contoh Negara Tetangga, Thailand
Secara global, Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang menghadapi tantangan dalam mengelola sistem jaminan kesehatan nasional. Negara-negara dengan sistem kesehatan serupa, seperti Jerman atau Kanada, juga menghadapi tantangan dalam hal pendanaan dan pengelolaan klaim.
Menurut Timboel, salah satu praktik terbaik asuransi kesehatan publik yang diterapkan di negara lain adalah Thailand. Menurutnya, Thailand memiliki sistem asuransi kesehatan yang cukup efektif dengan adanya mekanisme urun biaya. Dalam sistem ini, meskipun biaya pelayanan kesehatan dapat mencapai 100 baht, pasien hanya membayar 5 baht, sementara sisanya ditanggung oleh negara.
"Kalaupun memang ada berapa best practice-nya di negara luar itu memang ada urun biaya. Seperti Thailand misalnya harganya 100 baht, dia bayarnya 5 baht," kata Timboel.
Namun, Timboel juga mengingatkan bahwa meskipun konsep urun biaya ini efektif di negara lain, hal tersebut belum diterapkan di Indonesia.
Dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Pasal 22 Ayat 2, urun biaya diperuntukkan bagi kasus yang bersifat moral hazard, yaitu mencegah penyalahgunaan fasilitas kesehatan, seperti kasus operasi sesar yang dipilih untuk kepentingan pribadi.
Menurut Timboel, Indonesia sudah memilih model yang tepat dengan sistem gotong royong, yakni yang mampu membayar memberikan iuran, kemudian yang memiliki pekerjaan dibayar melalui pengusaha, dan yang tidak mampu dibayar oleh negara melalui APBN atau APBD sebagai peserta PBI.
Ia menjelaskan, ada tiga model sistem jaminan sosial yang diterapkan di dunia. Pertama, sistem berbasis pajak penuh seperti di Skandinavia. Kedua, sistem yang menggabungkan iuran peserta dengan bantuan pemerintah seperti di Indonesia. Dan ketiga, sistem mandiri seperti yang diterapkan di Amerika Serikat.
Sekretaris Jenderal ARSSI Arida menambahkan, jikala anggaran yang dimiliki JKN tidak cukup maka diperlukan aksi dari pemerintah, salah satunya adalah dengan membuat evaluasi pembiayaan. Menurutnya, sistem iuran biaya di negara lain bisa menjadi contoh yang bagus.
"Juga program koordinasi manfaat program COB (coordination on benefit) dengan asuransi komersial bagi peserta yang mampu," ucapnya.
Arida berharap, program iuran biaya seperti itu bisa diterapkan di Indonesia. Dirinya juga berharap ke depannya akan ada pengoptimalan kerja sama dengan asuransi komersial swasta.
"Juga perlu meninjau ulang manfaat JKN dengan nilai premi agar tidak terjadi missmatch antara premi yang dibayar dengan manfaat yang dijamin," katanya.