c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

KULTURA

21 Januari 2025

21:00 WIB

Polemik Pengecualian Perokok Dari Jaminan BPJS

Di saat perokok di negara maju berkurang, di Indonesia malah sebaliknya. Penyakit yang disebabkan rokok dinilai membebani BPJS. Pengecualian perokok menjadi salah satu wacana perdebatan.

Penulis: Arief Tirtana

Editor: Satrio Wicaksono

<p>Polemik Pengecualian Perokok Dari Jaminan BPJS</p>
<p>Polemik Pengecualian Perokok Dari Jaminan BPJS</p>

Ilustrasi kemasan bungkus rokok. Sumber: Shutterstock/Juicy FOTO

JAKARTA - Sebagai orang yang tidak pernah menjadi perokok di seumur hidupnya, Arif Yahya (29) dengan tegas mendukung wacana BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) untuk tidak menjamin pengobatan penyakit akibat rokok. Menurut persepsinya, wacana itu membuat BPJS bisa fokus menangani penyakit lain yang lebih penting. Bukan penyakit yang disebabkan oleh gaya hidup, dalam hal ini mereka perokok aktif.

"Alasannya karena Pemerintah (BPJS) biar fokus menangani penyakit yang memang seharusnya ditangani. Bukan penyakit yang dibuat sendiri, " tegasnya kepada Validnews, Jumat (17/1).

Wacana ini bukan hal baru. Namun, belakangan wacana agar BPJS tidak melayani perawatan penyakit akibat rokok kembali mencuat. Salah satunya dilambungkan oleh Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti. Dia mengungkapkan bahwa banyak peserta BPJS berstatus penerima bantuan iuran (PBI) yang mengonsumsi rokok dan cenderung abai dengan kesehatannya.

Peserta lainnya yang berstatus mandiri, juga tak sedikit yang lebih memilih untuk membeli rokok, alih-alih membayar iuran BPJS mereka. 

Seperti diketahui, merokok merupakan penyebab seseorang terkena penyakit katastropik, seperti jantung, kanker, gagal ginjal, dan lainnya. Deretan penyakit tersebut tercatat terus meningkat. Bahkan, menjadi deretan penyakit yang paling banyak menghabiskan biaya BPJS Kesehatan pada tahun 2024.

Dalam penjelasan Ghufron, sepanjang 2024, BPJS Kesehatan harus mengeluarkan uang perawatan pasien dengan penyakit katastropik hingga Rp34 triliun, atau sekitar 21,23% dari total beban jaminan kesehatan yang dikeluarkan BPJS.

Prinsip Gotong Royong BPJS
Di saat konsumsi rokok di negara lain cenderung turun, Indonesia mengalami paradoks. Indonesia malah justru menjadi salah satu negara dengan konsumen rokok terbanyak. Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai 70 juta orang. Ironisnya, mayoritas perokok adalah anak-anak dan remaja.

Dengan tren peningkatan tersebut, diperkirakan pada 2030 ada 20,5 juta kematian akibat penyakit jantung dan kardiovaskular. Penyakit yang salah satu penyebabnya adalah perilaku kebiasaan merokok.

Akan tetapi, wacana kebijakan tersebut menimbulkan pro kontra. Masih banyak pihak yang menyebut bahwa hal itu sebagai sesuatu yang tidak bijak untuk diterapkan. Fachruddin (25), pria yang juga tidak pernah merokok, menilai kebijakan itu tidaklah arif. Dia menilai wacana tersebut rentan salah sasaran dan berpotensi merugikan orang sepertinya yang bukan perokok.

Dirinya mempertanyakan bagaimana nantinya BPJS memastikan apakah penyakit yang diderita pasien itu disebabkan oleh kebiasaan merokok. Bisa jadi, penyakit paru-paru, misalnya, juga diderita oleh orang yang bukan perokok. Bisa karena polusi udara, atau bahkan statusnya sebagai perokok pasif.

"Kalau ternyata seseorang menderita penyakit paru-paru akibat menjadi perokok pasif dan saat mau berobat menggunakan BPJS ternyata ditolak, kan jadi sesuatu yang nggak benar nantinya," tutur Fachruddin.

Belum lagi, jika harapannya adalah membuat banyak orang berhenti merokok. Wacana ini diyakininya tidak akan efektif sama sekali. Bisa jadi, imbuhnya, mereka justru tetap memilih menjadi perokok ketimbang ikut kepesertaan BPJS.  

"Logikanya, kalau tidak bisa ditanggung BPJS, buat apa punya BPJS kalau gitu," sergah Fachruddin.

Dari kacamata perokok, tentu wacana ini jelas mendapatkan penolakan. Kebijakan ini dinilai sebagai sesuatu yang tak adil, selayaknya diutarakan Arnold (26) kepada Validnews. Menurutnya, meskipun merokok jelas memberikan dampak bagi kesehatan, namun munculnya penyakit juga berkaitan dengan banyak aspek lain.

"Menghilangkan tanggungan BPJS untuk penyakit yang disebabkan oleh rokok tidak sepenuhnya adil, meskipun merokok adalah faktor risiko yang jelas, ada banyak aspek lain yang mempengaruhi kesehatan," tutur pemuda pekerja di Jakarta Selatan itu.

Selain itu menurut Arnold, dengan tidak menanggung biaya pengobatan penyakit akibat rokok, sama saja mengingkari prinsip BPJS yang merupakan program asuransi kesehatan berbasis gotong-royong, di mana seluruh peserta, termasuk perokok, jelas membayar iuran. 

"Menghapus tanggungan mereka akan bertentangan dengan prinsip dasar keadilan dalam sistem tersebut," tukasnya.

Landasan Yuridis dan Sosiologis
Senada dengan Arnold, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar juga menyoroti wacana tersebut sebagai sesuatu yang bertentangan dengan landasan yuridis BPJS Kesehatan itu sendiri. Mulai dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), hingga Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 dan 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan.

Dalam peraturan-peraturan tersebut termaktub jelas bahwa layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau dalam hal ini BPJS, wajib memberikan pelayanan ke seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.

Layanan yang diberikan pun diatur meliputi pelayanan imunisasi, pelayanan keluarga, rawat jalan, rawat inap, pelayanan gawat darurat, hingga tindakan medis seperti cuci darah, operasi jantung dan sebagainya. Tindakan medis yang terjadi karena penyakit katastropik, yang salah satunya bisa disebabkan oleh rokok, juga dijamin.

Selain jenis layanannya, Timboel pun menekankan, aturan-aturan tersebut sudah menjelaskan bahwa BPJS bukan hanya berperan dalam proses kuratif (pengobatan) pasien pesertanya atau masyarakat Indonesia. Melainkan juga wajib bisa  memberikan penjaminan preventif (pencegahan) promotif (meningkatkan), hingga rehabilitatif. Karena itu akan menjadi sesuatu yang aneh, jika dilakukan tebang pilih dalam proses pelayanannya.

"Artinya itu hal-hal yang dijamin. Jadi kalau ada statement yang mengatakan bahwa akibat rokok tidak dijamin, yaitu sudah melanggar ketentuan yuridisnya," kata Timboel kepada Validnews di Jakarta, Jumat (17/1).

Pria yang juga merupakan Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) ini mengaku, tak menutup mata bahwa kasus penyakit akibat rokok di Indonesia kini sangat banyak dan terus bertambah. Karena memang secara sosiologis menurutnya, banyak masyarakat yang sudah menjadikan aktivitas merokok sebagai sebuah budaya.

Itu sebabnya, alih-alih 'lepas tanggung jawab', BPJS sebagai Jaminan Kesehatan Nasional, perlu hadir untuk bergotong-royong dengan seluruh masyarakat Indonesia, dalam membiayai seluruh penyakit yang ada. Termasuk penyakit akibat rokok seperti jantung, hingga paru-paru.

Apa lagi bukan hanya membayar iuran seperti peserta BPJS lainnya, mereka para perokok sebenarnya juga sudah memberikan kontribusi lebih kepada BPJS, dari cukai rokok yang mereka beli. Di mana berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143 Tahun 2023, sebesar 37,5% dari pajak cukai rokok itu telah dialokasikan untuk program JKN.

Meski bukan yang terbesar, pajak cukai rokok ini cukup berkontribusi menjadi sumber pemasukan BPJS. Di mana pada tahun 2021, kontribusinya bahkan bisa mencapai Rp1,08 triliun, meski kemudian mengalami penurunan drastis menjadi Rp269,7 miliar pada tahun 2022.

"Ya artinya cukai rokok itu juga sangat berkontribusi terhadap pembiayaan JKN. (Menjadi salah satu) pendapatan JKN.  Jadi nggak bisa memisahkan rokok dari JKN. Jadi baik dari sisi keuangan, dari sisi sosiologis, maupun dari landas yuridis, menurut saya nggak tepat," tutur Timboel.

Ia juga mengkhawatirkan bahwa jika kelak wacana penyakit-penyakit akibat rokok tidak akan terliputi BPJS, ke depannya akan membuka celah untuk BPJS, juga tak akan melayani perawatan penyakit-penyakit lainnya akibat gaya hidup masyarakat. Seperti diabetes, darah tinggi, kolestrol, yang bisa muncul akibat konsumsi garam, gula dan lemak (GGL).

"Saya khawatir nanti ke depan ada lagi kebijakan korban dari GGL nggak dijamin lagi. Terus yang mau dijamin apa? Sementara masyarakat kita itu banyak akibat rokok, akibat gula, akibat lemak, akibat garam, darah tinggi, kolesterol, kan gitu," tutur salah satu panelis debat capres 2024 ini.

Langkah Preventif
Sesuai landasan yuridis yang ada, kondisi yang terjadi saat ini juga dinilai Timboel sebaiknya direspon pihak BPJS dengan menguatkan langkah preventif. Dibanding menakut-nakuti para perokok dengan melambungkan wacana tidak akan melayani pengobatan mereka, sebaiknya BPJS melakukan langkah pencegahan dengan semakin gencar mengajak para perokok untuk mau mengurangi atau bahkan menghentikan kebiasaan mereka.

Sebab bagaimanapun, langkah preventif dan promotif, pasti berjalan seiring dengan kuratif. Saat langkah preventif tak dilakukan dengan maksimal, otomatis akan berdampak pada langkah kuratif di ujungnya.

"Selama ini kan kita kurang di preventif promotif, sehingga kuratifnya jebol, biayanya jadi besar," kata Timboel.

Langkah preventif ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya,  seperti yang ditekankan oleh Yayasan Jantung Indonesia, yakni dengan mengimplementasikan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan, yang mengatur mengenai penjualan produk tembakau dan rokok elektronik yang diatur dalam Pasal 434 secara maksimal. Apa lagi perubahan PP ini juga sudah mengatur ulang batas usia minum pembelian rokok tembakau dan rokok elektronik menjadi 21 tahun dari sebelumnya 18 tahun. 

Beleid itu menekankan juga, adanya pelarangan penjualan kepada ibu hamil, pelarangan penjualan rokok batangan, penempatan produk rokok tembakau dan rokok elektronik tidak boleh di tempat strategis seperti sekitar pintu masuk dan keluar atau pada tempat yang sering dilalui.

Rokok juga tidak boleh dijual dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain, tidak boleh dijual melalui web atau aplikasi elektronik komersial dan media sosial.

"Maka kita harus memastikan PP No. 28 Tahun 2024 benar-benar terimplementasikan dan tidak hanya menjadi dokumen di atas kertas, dan Yayasan Jantung Indonesia siap untuk ikut mengawal implementasi dari aturan ini sebagai konsistensi kami dalam menciptakan generasi yang bebas penyakit jantung dan kardiovaskular akibat perilaku konsumsi rokok," kata Ketua Umum Yayasan Jantung Indonesia Annisa Pohan Yudhoyono.

Medical Check Up Gratis
Dalam penjelasannya, Timboel Siregar juga menyoroti kebijakan terbaru Presiden Prabowo Subianto yang akan menggratiskan pemeriksaan kesehatan atau medical check up (MCU) kepada masyarakat Indonesia yang berulang tahun.

Kebijakan ini menurutnya bisa menjadi salah satu upaya preventif yang bisa berdampak dalam menekan semakin tingginya beban kuratif atau pengobatan yang ditanggung BPJS. Hanya saja, Timboel menyarankan agar sebaiknya program MCU itu tidak perlu dipisahkan dari JKN, melainkan diintegrasikan saja.

Dengan begitu, dana sekitar Rp3,3 triliun yang dialokasikan untuk program MCU gratis ini, bisa digunakan untuk menambah keuangan BPJS. Selain juga masyarakat yang mungkin butuh tindakan lanjut pasca menjalani MCU, akan lebih mudah alur administrasinya, jika proses MCU dan tindak lanjut perawatannya dilakukan dalam layanan yang sama, layanan JKN atau BPJS.

"3,7 triliunnya (dana MCU gratis program Presiden Prabowo) digabung saja ke situ (dana JKN) sehingga pelayanannya lebih kuat, gitu loh. Nggak perlu dipisah-pisah. Nah, ketika pasien nanti misalnya, harus ada tindak lanjutnya, ya tinggal dirujuk gitu," papar Timboel.

Langkah penggabungan ini perlu didukung, karena sebenarnya BPJS sendiri selama ini telah menyediakan layanan MCU gratis buat pesertanya. Itu diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 3 Tahun 2023, yang diperkuat di Perpres 59 tahun 2024.

Dalam aturan tersebut, diungkapkan Timboel bahwa dengan menggunakan BPJS masyarakat sudah bisa melakukan medical check-up dengan beberapa screening itu. Itu melingkupi 14 jenis penyakit, antara lain diabetes melitus, hipertensi, stroke, jantung, kanker serviks, kanker payudara, TBC, anemia, kanker paru, kanker usus, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), thalassemia, hipotiroid kongenital, dan skrining hepatitis.

Apa lagi, tidak seperti program baru MCU gratis yang dicanangkan Presiden, dengan menggunakan BPJS ini, masyarakat bisa melakukan MCU gratis kapan saja. Tidak perlu menunggu waktu ulang tahunnya. Hanya saja, memang dengan manfaatnya, belum cukup banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan layanan ini. Bisa jadi,  banyak yang belum tahu keberadaan layanan MCU gratis menggunakan BPJS ini yang sudah ada sejak tahun 2023.

Padahal, dengan  melakukan MCU, warga bisa mendeteksi dini penyakit yang mungkin dialaminya. Otomatis, risiko buruk yang mungkin bisa terjadi akan semakin kecil. Buat BPJS ini, semua narasumber mengafirmasi, juga akan berdampak baik. Artinya akan semakin sedikit masyarakat yang membutuhkan perawatan berat dengan biaya besar.

"Daripada membuat statement yang kontraproduktif seperti penyakit jantung (akibat rokok) tidak dijamin, atau suruh masyarakat pakai asuransi swasta, lebih baik ajak MCU, ajak gaya hidup sehat, olahraga," jelas Timboel.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar