c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

25 September 2024

17:36 WIB

BKPM: Tren Investasi Hilirisasi Naik Lima Tahun Terakhir

Terdapat empat tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menjalankan hilirisasi. Salah satunya adalah kebutuhan SDM yang tinggi.

Editor: Fin Harini

<p id="isPasted">BKPM: Tren Investasi Hilirisasi Naik Lima Tahun Terakhir</p>
<p id="isPasted">BKPM: Tren Investasi Hilirisasi Naik Lima Tahun Terakhir</p>

Pekerja berjalan di lokasi proyek Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) Fase 1 PT Borneo Alumina Indonesia (BAI) yang telah diresmikan Presiden Joko Widodo di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, Selasa (24/9/2024). Antara Foto/Jessica Wuysang

JAKARTA- Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) mengatakan realisasi investasi sektor pengolahan menjadi produk bernilai tambah tinggi (hilirisasi), cenderung naik dalam kurun waktu lima tahun terakhir, yakni pada 2019-2023.

Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Riyatno di Jakarta, Rabu (25/9) mengatakan, pada tahun 2019 pihaknya mencatat realisasi investasi di sektor hilirisasi industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatan hanya sebesar Rp61,6 triliun. Namun, pada 2020 nilainya meningkat menjadi Rp94,8 triliun.

"Ini menunjukkan bahwa investasi di sektor realisasi ini terus meningkat," kata dia, dikutip dari Antara.

Selanjutnya pada tahun 2021, realisasi investasi di sektor hilirisasi tercatat sebesar Rp117,5 triliun, meningkat kembali pada tahun 2022 menjadi Rp171,2 triliun, serta pada tahun lalu melonjak menjadi Rp200,3 triliun.

Baca Juga: Hilirisasi Terus Digaungkan, Ini Manfaatnya Bagi Negara

Dia menilai, kenaikan itu disebabkan para investor melihat potensi besar dalam pengembangan industri pengolahan di Tanah Air, mengingat cadangan bahan baku hilirisasi di RI cukup besar.

Direktur Hilirisasi Perkebunan, Kelautan, Perikanan, dan Kehutanan Kementerian Investasi/BKPM Mohamad Faizal menyebutkan Indonesia merupakan negara penghasil bahan baku yang banyak dibutuhkan untuk pengembangan industri dunia.

Indonesia, lanjutnya, memiliki cadangan 21% nikel secara global, 16,3% cadangan timah dunia, 3% tembaga global, 4% bauksit, serta produsen kelapa sawit terbesar di dunia.

"Potensi nikel kita nomor satu di dunia, timah potensinya nomor dua di dunia, bauksit nomor enam, begitu pula dengan sawit. Sawit kita nomor satu di dunia, kelapa nomor satu, karet nomor dua, udang nomor tiga, ikan tuna, cakalang, dan tongkol nomor satu di dunia, serta rajungan nomor dua," ujarnya.

Jadi Prioritas
Pada kesempatan itu, Riyatno mengatakan, hilirisasi telah menjadi salah satu program prioritas di pemerintahan berikutnya.

"Ini sudah dicanangkan sejak zaman Presiden Jokowi dan insyaAllah nantinya oleh Presiden terpilih, Bapak Prabowo, ini menjadi salah satu prioritas, hilirisasi ini," katanya.

Pasalnya, pengolahan bahan mentah menjadi produk bernilai tambah tinggi itu sudah memberikan banyak manfaat bagi ekonomi Indonesia.

Seperti halnya proses pengolahan di sektor nikel yang memberi nilai tambah sebanyak 11,4 kali lipat ketika diolah menjadi nikel sulfat, meningkat kembali 19,4 kali lipat ketika dijual sebagai prekursor, serta naik hingga 67,7 kali lipat ketika dijual dalam bentuk sel baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV).

Untuk tetap menjaga ekosistem hilirisasi secara berkelanjutan, Kementerian Investasi telah mengimplementasikan beberapa hal, seperti penerbitan regulasi pendukung, insentif perpajakan, mendorong kebijakan sektor keuangan, serta aturan pelarangan ekspor bahan mentah untuk nikel, bauksit, tembaga dan timah.

"Insentif perpajakan salah satunya yang ditangani melalui Kementerian Investasi/BKPM adalah tax holiday dan juga tax allowance. Kemudian juga adanya kebijakan sektor keuangan yaitu OJK menerbitkan kebijakan di industri perbankan untuk mendukung program percepatan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai, misalnya," ujar dia.

Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo menitipkan keberlanjutan hilirisasi industri hingga proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) kepada Prabowo Subianto setelah menjadi Presiden RI periode 2024 - 2029.

Presiden Jokowi menegaskan keberlanjutan program kerakyatan, baik itu keberlanjutan pembangunan infrastruktur maupun sumber daya manusia (SDM), sangat penting.

Baca Juga: RI Buka Peluang Kerja Sama Hilirisasi Mineral Dengan Afrika

Namun, diakui Riyatno, program prioritas pemerintah ini memiliki empat tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam memajukan sektor hilirisasi, antara lain pengembangan SDM, perluasan kerja sama internasional, penerapan insentif, serta tekanan eksternal.

Riyatno menyampaikan, untuk di sisi pengembangan SDM, Indonesia membutuhkan 16 ribu tenaga kerja kompeten setiap tahunnya agar dapat mengoptimalkan hasil nilai tambah hilirisasi dan juga manufaktur.

"Setiap tahunnya dibutuhkan sekitar 16 ribu tenaga kerja kompeten untuk sektor manufaktur, termasuk proses hilirisasi," ujar dia.

Untuk tantangan perluasan kerja sama internasional, menurut Riyatno hal ini karena politik global bersifat dinamis, sehingga dengan melakukan ekspansi kolaborasi, akan secara langsung meningkatkan potensi pasar ekspor produk hilirisasi Indonesia, dan memantik investasi asing untuk masuk.

"Saat ini yang berkembang adalah ada free trade agreement, ada juga CEPA atau Comprehensive Economic Partnership Agreement," katanya.

Lebih lanjut, tantangan penerapan insentif yakni Indonesia wajib memiliki kebijakan yang ramah terhadap investor dan pasar, dengan memberikan penawaran yang terbaik, terutama dari sisi perizinan.

Sementara tekanan eksternal disampaikan Riyatno berasal dari negara-negara yang resisten atau menolak kebijakan hilirisasi yang diterapkan, seperti halnya gugatan yang dilakukan oleh Uni Eropa di World Trade Organization (WTO) ketika Indonesia menutup keran ekspor bijih nikel.

"Namun sekali lagi sekalipun sudah ada gugatan, tetapi hilirisasi ini tetap jalan," kata dia.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar