c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

19 Maret 2025

20:45 WIB

BI: Investor Beralih ke Emas-Obligasi di Negara Maju dan Berkembang

Hal itu diwarnai oleh penurunan yield US Treasury dan melemahnya indeks mata uang dolar AS (DXY) di tengah ketidakpastian penurunan Fed Funds Rate (FFR).  

Penulis: Fitriana Monica Sari

<p>BI: Investor Beralih ke Emas-Obligasi di Negara Maju dan Berkembang</p>
<p>BI: Investor Beralih ke Emas-Obligasi di Negara Maju dan Berkembang</p>

Ilustrasi tumpukan emas batangan. Sumber: Shutterstock/Denis---S

JAKARTA - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan, ketidakpastian di pasar keuangan global masih terus berlanjut. Hal itu diwarnai oleh penurunan yield US Treasury dan melemahnya indeks mata uang dolar AS (DXY) di tengah ketidakpastian penurunan Fed Funds Rate (FFR). 

Alhasil, ketidakpastiaan ini membuat perubahan dalam aliran modal global yang awalnya tertuju ke pasar keuangan AS, namun sekarang bergeser ke komoditas emas dan obligasi di negara maju dan negara berkembang (emerging market). 

"Aliran modal global yang semula terkonsentrasi ke AS bergeser sebagian ke komoditas emas dan obligasi di negara maju dan negara berkembang," ungkap Perry dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Bulan Maret 2025 di Jakarta, Rabu (19/3).

Perry menyampaikan, sebelumnya, hampir semua investasi baik itu saham, obligasi, maupun sekuritas lainnya mengalir ke AS, namun saat ini terdapat pergeseran. 

"Terjadi pergeseran investasi portofolio global yang semuanya sebelumnya itu berbondong-bondong semuanya ke Amerika, sekarang mulai juga ada pergeseran untuk obligasi ya, fixed income securities. Mulai ada pergeseran ke emerging market sebagian sudah dan juga ke emas," ujarnya.

Baca Juga: BI Klaim Rupiah Terkendali Didukung Kebijakan Stabilisasi

Sementara itu, portofolio investasi saham masih terkonsentrasi ke negara maju kecuali AS, dan belum masuk ke negara emerging market (EM). 

"Untuk saham itu, memang di Amerika juga terjadi penurunan harga saham dan di regional juga ada penurunan harga saham. Jadi, memang harga saham itu terjadi di Amerika dan di regional Asia. Sehingga, investasi portofolio ini lebih banyak beralih ke negara maju selain Amerika," jelas dia.

Menurut Perry, tetap tingginya ketidakpastian global tersebut memerlukan respons kebijakan yang tepat dan terkoordinasi dengan baik untuk memperkuat ketahanan eksternal, menjaga stabilitas, dan mendorong pertumbuhan ekonomi domestik.

Penyebab Ketidakpastian Global
Lebih lanjut, Perry menilai ketidakpastian global tetap tinggi akibat kebijakan tarif impor Amerika Serikat yang makin luas. 

"Di AS, kebijakan tarif impor berdampak pada laju pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat di tengah meningkatnya pemberian insentif fiskal, sementara laju penurunan inflasi tidak secepat yang diprakirakan," kata Perry.

Ekonomi Eropa, Jepang, dan India juga terkena dampak rambatan kebijakan tarif impor AS tersebut di tengah permintaan domestik yang belum meningkat akibat keyakinan usaha yang rendah dan ekspor yang melambat.

Baca Juga: DPR Sanggah RUU TNI Jadi Biang Kerok IHSG Anjlok 

Sementara itu, lanjut Perry, pelemahan pertumbuhan ekonomi Tiongkok sebagai akibat kebijakan tarif impor AS tertahan dengan kebijakan pelebaran defisit fiskal 2025 dari yang ditargetkan. 

Imbasnya, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan hanya mencapai 3,2% pada 2025, dengan dampak yang cukup besar terhadap sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dunia, terutama di Amerika Serikat.

"Kelihatan sekali bahwa di Amerika sendiri juga ini daya dukung dari kebijakan tarif impor itu dampak negatifnya terhadap pertumbuhan ekonomi di Amerika lebih gede daripada kebijakan Amerika untuk stimulus fiskal domestik," tuturnya.

Upaya AS
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik, kata Perry, Presiden AS Donald Trump menerapkan pemotongan pajak dan kebijakan tarif impor.

"Kan Amerika ini Presiden Trump untuk perdagangan luar negeri mengenakan tarif impor, sehingga itu untuk membatasi impor ke sana harapannya pertumbuhan ekonomi naik. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik, Amerika juga menerapkan tax cut di dalam negeri," ucapnya.

Perry menilai dampak keduanya terhadap pertumbuhan ekonomi itu berdampak pada perlambatan laju pertumbuhannya di Amerika, sehingga muncul sekarang ada diskusi pandangan pasar kemungkinan-kemungkinan risiko resesi di Amerika Serikat.

Selain itu, Perry juga menyoroti inflasi di Amerika yang sebelumnya menurun dengan cepat, namun kini laju penurunan tersebut terhambat. 

Oleh karena itu, ia memprediksi bahwa Federal Reserve (Fed) kemungkinan hanya akan menurunkan suku bunga satu kali pada tahun ini, dan tidak akan terburu-buru dalam menurunkan suku bunga lebih lanjut.

"Ketiga yang harus kita cermati di Amerika adalah defisit fiskal yang semula diperkirakan 7,7%. Padahal, tahun ini kemungkinan hanya 6,4%, sehingga kebutuhan menerbitkan obligasinya oleh Amerika tidak setinggi dulu. Itu tadi dari saya katakan bahwa pasar keuangan global ketidakpastian itu tetap tinggi," pungkasnya. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar