19 Maret 2025
17:45 WIB
BI Klaim Rupiah Terkendali Didukung Kebijakan Stabilisasi
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada Maret 2025 atau tepatnya hingga 18 Maret 2025, menguat sebesar 0,94% (ptp) setelah pada Februari 2025 melemah 1,69% (ptp).
Penulis: Fitriana Monica Sari
Petugas menunjukkan uang dolar AS dan rupiah di Ayu Masagung Money Changer, Jakarta, Jumat (18/10/2024). Antara Foto/Muhammad Ramdan
JAKARTA - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan bahwa nilai tukar rupiah tetap terkendali, yang didukung oleh kebijakan stabilisasi bank sentral.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Maret 2025 atau tepatnya hingga 18 Maret 2025, menguat sebesar 0,94% point to point (ptp) setelah pada Februari 2025 melemah 1,69% (ptp).
Menurut Perry, perkembangan tersebut dipengaruhi berkurangnya aliran masuk modal asing ke saham regional termasuk Indonesia, sejalan dengan ketidakpastian global.
"Tetap stabilnya nilai tukar rupiah sejalan dengan konsistensi kebijakan stabilisasi Bank Indonesia," kata Perry di Gedung Thamrin Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (19/3).
Rupiah yang terkendali juga tercermin pada rupiah yang relatif stabil bila dibandingkan dengan kelompok mata uang negara berkembang mitra dagang utama Indonesia, dan tetap lebih kuat terhadap kelompok mata uang negara maju di luar dolar AS.
"Ke depan, nilai tukar Rupiah diprakirakan stabil didukung komitmen Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, imbal hasil yang menarik, inflasi yang rendah, dan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap baik," ujar Perry.
Baca Juga: DPR Sanggah RUU TNI Jadi Biang Kerok IHSG Anjlok
Ia menuturkan bahwa seluruh instrumen moneter akan terus dioptimalkan, termasuk penguatan strategi operasi moneter pro-market melalui optimalisasi instrumen SRBI, SVBI, dan SUVBI.
Hal itu dilakukan untuk memperkuat efektivitas kebijakan dalam menarik aliran masuk investasi portofolio asing dan mendukung stabilitas nilai tukar rupiah.
Rupiah Ditutup Melemah
Sementara itu, mata uang rupiah pada perdagangan Rabu (19/3), ditutup melemah 103 poin di level Rp16.531 per dolar AS dari penutupan sebelumnya di level Rp16.428 per dolar AS.
Sepanjang hari, rupiah bahkan sempat melemah sebesar 115 poin. Sementara itu, indeks dolar AS justru menguat.
Pengamat Mata Uang Ibrahim Assuaibi mengatakan, terdapat beberapa faktor baik eksternal maupun internal yang membuat rupiah melemah.
Untuk faktor eksternal, dia menyebut, The Fed secara luas diperkirakan akan mempertahankan suku bunga tidak berubah pada 4,5% setelah penutupan pertemuan pada Rabu nanti, di tengah ketidakpastian yang terus berlanjut atas ekonomi AS di bawah Trump.
"Para pejabat telah berulang kali menandai ketidakpastian atas prospek ekonomi jangka pendek saat Trump memberlakukan agendanya, dengan ruang lingkup terbatas untuk penurunan suku bunga lebih lanjut dalam waktu dekat," kata Ibrahim kepada media, Rabu (19/3).
The Fed juga akan merilis ringkasan terbarunya tentang proyeksi ekonomi, yang menawarkan lebih banyak wawasan tentang ekspektasi bank sentral terhadap ekonomi AS di bawah Trump.
Ibrahim menyebut, tarif perdagangan Trump terutama perubahannya pada tindakan terhadap Kanada dan Meksiko memicu peningkatan ketidakpastian atas prospek ekonomi AS.
Presiden AS telah memperingatkan akan mengenakan tarif yang lebih tinggi pada awal April. Pasar pun khawatir bahwa tarif yang lebih tinggi akan mengganggu perdagangan global dan mendorong inflasi AS, sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi lokal.
"Trump berjanji akan melanjutkan serangan negaranya terhadap Houthi di Yaman dan mengatakan ia akan meminta pertanggungjawaban Iran atas serangan yang dilakukan oleh kelompok yang telah mengganggu pengiriman di Laut Merah," jelas dia.
Baca Juga: BI Tahan Suku Bunga BI-Rate di Level 5,75% pada Maret 2025
Sementara itu, serangan udara Israel di Gaza, menewaskan sedikitnya 200 orang, yang mengakhiri gencatan senjata selama seminggu dan meningkatkan risiko pasokan minyak terancam dari wilayah yang lebih luas.
Di sisi lain, untuk faktor internal, Ibrahim menuturkan, Organization for Economic Cooperation and Development (OEC) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini menjadi 4,9%.
Sebelumnya dalam publikasi OECD Economic Outlook Desember 2024, organisasi ekonomi yang berisi banyak negara maju itu memproyeksikan ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,2% pada 2025.
Kendati demikian, OECD menyatakan pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak akan melambat secara signifikan karena didukung oleh potensi pertumbuhan ekspor akibat efek ekskalasi perang dagang yang terjadi belakangan.
Selain itu, OECD memprakirakan tingkat suku bunga acuan Indonesia alias BI Rate akan tetap stabil untuk menjaga inflasi tetap rendah dan menghindari arus keluar modal akibat kebijakan suku bunga tinggi di Amerika Serikat.
Dalam proyeksi terbarunya, OECD menyatakan inflasi Indonesia akan berada di angka 1,8% pada 2025. Angka tersebut lebih rendah 0,3% daripada proyeksi OECD pada Desember 2024. Sebagai perbandingan, pemerintah sendiri menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,2% pada 2025.
Selain itu, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) Bulan Maret 2025 pada Selasa (18/3) dan Rabu (19/3), memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan (BI-Rate) tetap berada pada level 5,75%. Suku bunga deposit facility tetap berada pada level 5%. Sedangkan, suku bunga lending facility juga diputuskan untuk tetap pada level 6,5%.
Ibrahim memproyeksikan rupiah pada perdagangan Kamis (20/3) besok, fluktuatif namun ditutup melemah.
"Sedangkan untuk perdagangan besok, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah direntang Rp16.520-Rp16.580," tutup Ibrahim.