27 Agustus 2025
10:32 WIB
Bergabung Dengan Danantara, PLN Berharap Kejelasan Status PSO
Status PSO ketenagalistrikan pascaterbentuknya Danantara Indonesia mengambang antara subsidi dan kompensasi.
Penulis: Yoseph Krishna
Seorang warga bersiap memasukkan nomor token listrik di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Kamis (6/2/2025). Antara Foto/Harviyan Perdana Putra
JAKARTA - Terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menghasilkan gap pengaturan penyaluran subsidi dan kompensasi atau Public Service Obligation (PSO) pada sejumlah perusahaan pelat merah.
Sebelum beleid itu terbit, Kementerian Keuangan memiliki wewenang penuh untuk menyeimbangkan dividen yang disetorkan oleh BUMN dan pembayaran subsidi/kompensasi kepada BUMN yang menjalankan PSO.
Akan tetapi, UU Nomor 1 Tahun 2025 mengubah semua kewenangan Kementerian Keuangan itu.
Pasalnya, dividen BUMN tak lagi disetorkan pada kas negara secara langsung, melainkan lewat Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).
Tak heran, PT PLN dalam hal ini meminta adanya penegasan regulasi soal pelaksanaan PSO oleh BUMN guna menjembatani gap pengaturan yang tercipta dari terbitnya UU Nomor 1 Tahun 2025.
Sebagai perusahaan pelat merah penyalur subsidi listrik, PLN pun meminta pemerintah memberi penugasan untuk tetap menyediakan listrik subsidi dalam rangka fungsi kemanfaatan umum.
Namun, PLN juga meminta adanya kompensasi oleh pemerintah terhadap semua biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan penugasan fungsi kemanfaatan umum.
Baca Juga: Pemerintah Taksir Subsidi Listrik 2025 Membengkak Sampai Rp90,32 Triliun
Hal tersebut menjadi salah satu usulan PT PLN dalam rencana revisi UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Direktur Legal dan Manajemen Human Capital PT PLN Yusuf Didi Setiarto menilai usulan itu sangat relevan dengan status PT PLN yang kini sudah bergabung ke dalam Danantara Indonesia.
"Jadi, kita tahu di UU BUMN yang baru, secara legal structure itu tidak sama lagi dengan struktur UU yang lama. Kalau dulu berada dalam satu rumah pengelolaan keuangan negara, sekarang sudah terpisah," ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi XII DPR, Selasa (26/8).
Dalam RUU Ketenagalistrikan yang tengah digodok, ia menerangkan harus ada konfirmasi soal status PT PLN sebagai perwakilan negara untuk melaksanakan PSO dengan segala konsekuensi yang ada.
"Termasuk juga dukungan finansial dan kejelasan lingkup PSO, itu akan sangat membantu. Jadi, ini harapan, clarity ini menjadi sangat penting bagi kami di PLN," sebut Didi.
Status PSO ketenagalistrikan pascaterbentuknya Danantara Indonesia pun sedikit mengambang antara subsidi dan kompensasi. Sehingga, RUU Ketenagalistrikan harus mencantumkan status yang jelas atas PSO yang dijalankan PT PLN.
Ketika PLN tetap menyalurkan PSO, sambung Didi, harus dijelaskan detil siapa saja yang berhak mengakses PSO itu, antara masyarakat tertentu dan semua konsumen PT PLN.
"Kalau memang dua-duanya harus diemban PLN, tentu harus dicarikan apa yang bisa menyeimbangkan dampak keuangan pada PLN. Jadi, clear-nya seperti itu," kata dia.
Puluhan Triliun Untuk Subsidi Listrik
Sekadar informasi, uang negara yang disalurkan untuk subsidi listrik sampai Mei 2025 lalu telah menyentuh angka Rp34,59 triliun. Hingga akhir tahun ini, APBN menganggarkan sekitar Rp87,72 triliun untuk subsidi listrik, atau naik 13,84% dari realisasi tahun 2024 sebesar Rp77,05 triliun.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jisman P. Hutajulu beberapa waktu lalu juga telah mengungkapkan bobot subsidi listrik tahun ini berpotensi membengkak ke angka Rp90,32 triliun.
"Kalau kami hitung untuk outlook 2025 ini (anggaran subsidi listrik) Rp90,32 triliun," ungkapnya di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (30/6).
Jisman menjelaskan, potensi pembengkakkan subsidi listrik tahun ini diakibatkan oleh tiga parameter, yakni harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP), kurs rupiah terhadap dolar AS, hingga tigkat inflasi.
Baca Juga: Tak Jadi Beri Diskon Tarif Listrik, Pemerintah Alihkan Insentif Jadi Bantuan Subsidi Upah
"Memang ini dipicu oleh parameter yang tidak bisa dikendalikan, ICP, kurs, dan inflasi. Jadi, kurs ini memang sangat menentukan yang selalu naik terus, sehingga ada kenaikan di samping ya. Kita bersyukur juga bahwa jualan kita secara TWh itu meningkat," beber Jisman.
Adapun penetapan anggaran Rp87,72 triliun untuk subsidi listrik tahun ini didasarkan pada asumsi kurs Rp16.000 per dolar AS dan ICP di level US$82 per barel.
Anggaran subsidi itu terbagi menjadi pelanggan rumah tangga dengan daya 450 VA sebesar Rp39,93 triliun; pelanggan rumah tangga 900 VA Rp16,57 triliun; sosial Rp12,97 triliun; bisnis kecil Rp10,09 triliun; industri kecil Rp6,44 triliun; pemerintah Rp390 miliar; dan kategori lainnya Rp1,33 triliun.
"Kurs dan ICP ini sangat volatile yang tidak bisa kita kendalikan. Bapak-ibu bisa melihat dari Rp14.000, kemudian di Rp15.000, lalu Rp16.000 (per dolar AS), jadi ada peningkatan daripada subsidi. Kemudian ICP-nya juga demikian, ada volatile-nya," pungkas Jisman P. Hutajulu.