02 Februari 2024
10:31 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Sepanjang tahun 2023 lalu, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah mengidentifikasi titik-titik kritis yang harus dibenahi terkait tata kelola industri pertambangan.
Dalam Laporan Kinerja 2023, tertulis bahwa BPKP berhasil mengawal hak negara senilai Rp31 triliun yang terancam hilang akibat lemahnya tata kelola industri pertambangan pada sejumlah komoditas.
Deputi Bidang Investigasi BPKP Agustina Arumsari menerangkan angka itu merupakan kumulatif semenjak tambang beroperasi, namun baru diaudit tahun 2023.
"Itu kumulatif sepanjang mengelola izin dari tahun sekian sampai sekian, tapi auditnya tahun 2023," ucapnya selepas konferensi pers di Kantor BPKP, Kamis (1/2).
Baca Juga: PT Timah Libatkan Bumdes Reklamasi 400 Hektare Bekas Tambang
Investigasi oleh BPKP, sambung Sari, dilakukan pada beberapa lokasi strategis, mulai dari timah di Bangka Belitung, hingga nikel di Sulawesi Tenggara.
"Hanya komoditas tertentu sih, saya tidak hafal nama tempatnya di mana, tetapi komoditasnya itu nikel dan timah," kata dia.
Dari hasil investigasi, BPKP berhasil mendapatkan beberapa temuan, misalnya proses izin yang tidak dikelola dengan baik oleh pemerintah daerah terkait.
Pasalnya, perusahaan tambang wajib mengalokasikan dana reklamasi pada proses perizinan. Proses itulah yang belum dikelola dengan baik oleh pemda yang mengeluarkan izin.
Reklamasi yang dilakukan pun semestinya dilakukan secara bertahap. Sari menjelaskan apabila perusahaan sudah mengantungi Izin Usaha Pertambangan (IUP) baru, maka tempat lamanya harus direklamasi baru diperbolehkan untuk pindah.
"Tapi yang terjadi tidak demikian, pokoknya babat semua. Lalu, pemda yang keluarkan izin juga tidak ada kontrol apakah memang sudah reklamasi atau belum," jelas Sari.
Baca Juga: OIKN: Ada 60 Aktivitas Tambang Aktif di Kawasan IKN
Bahkan ketika reklamasi sudah dilakukan, pemda juga tidak mengontrol bagaimana dana reklamasi disalurkan. Dari temuan BPKP, dana reklamasi sejatinya belum cukup untuk mengcover seluruh proses reklamasi.
Kemudian, permasalahan lainnya ialah tumpang tindih perizinan. Sebagai contoh, ada IUP yang masuk ke kawasan hutan yang seharusnya dijadikan lahan konservasi.
"Soal tumpang tindih izin, ada yang masuk kawasan hutan dan kami temukan seperti itu. Ini kan sebenarnya tidak boleh. Memang ini jadi PR untuk perbaikan tata kelola," pungkas Agustina Arumsari.