18 Februari 2025
17:13 WIB
Belum Untung, Pengusaha Curhat Masalah Investasi Bangun SPKLU
Tantangan pengembangan SPKLU RI; ketersediaan lahan sedikit, biaya investasi tinggi, sampai regulasi yang belum memadai. Pengusaha SPKLU mengaku masih belum untung.
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Editor: Khairul Kahfi
Ilustrasi Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU).Dok PLN
JAKARTA - Ketua Asosiasi Pengusaha Pengisian Kendaraan Listrik Indonesia (APPKLI) Benhur menyampaikan, masalah ketersediaan lahan dan biaya investasi yang tinggi masih menjadi tantangan mengembangkan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di dalam negeri saat ini.
Dia menuturkan, para pengusaha kerap menghadapi minimnya ketersediaan lahan untuk membangun SPKLU.
"Bagi kami tantangan pengembangan SPKLU ini ya kembali lagi ketersediaan lahan. Kita itu mencari lahan untuk pemasangan SPKLU memang agak susah," ujarnya dalam Webinar Sosialisasi Rencana Pengembangan SPKLU 2025-2030, Jakarta Selasa (18/2).
Benhur menuturkan, selama ini pengusaha SPKLU memasang fasilitas pengisian daya dengan membidik rest area. Namun, pengusaha harus kuat modal atau investasi apabila ingin membangun SPKLU di rest area.
"Selama ini seperti kami lebih kepada rest area, tapi kalau ke rest area itu investasinya besar sekali," ucapnya.
Baca Juga: Pemerintah Targetkan Bangun 63 Ribu Unit SPKLU Sampai 2030
Benhur membeberkan, pemasangan SPKLU di rest area membutuhkan modal jumbo untuk melakukan pengadaan. Contohnya, pengadaan charger, sewa lahan, serta biaya instalasi kabel dan material pendukung lainnya.
Bahkan, dia menyebut, pemasangan kabel di bawah tanah bisa kena biaya senilai Rp300 juta. Harganya hampir setara dengan infrastruktur charger EV, dan menurutnya hal ini memberatkan pengusaha.
"Pakai kabel bawah tanah, kami itu bisa kena Rp300 juta hanya itu saja. Jadi sudah dekat ke harga charger-nya dia," kata Benhur.
Ketua APPKLI menambahkan, para pengusaha yang mau memasang SPKLU juga terkendala modal untuk biaya penyambungan dan Uang Jaminan Langganan (UJL) PLN dengan biaya minimum 40 jam.
Biaya minimum adalah perhitungan energi minimum selama 40 jam dalam waktu satu bulan, yang perlu dibayarkan oleh pelanggan kepada PT PLN.
Selain itu, Benhur menambahkan, tantangan pengembangan SPKLU juga sedikit terjegal lantaran belum ada penerapan biaya layanan, serta regulasi pemerintah daerah yang kurang mendukung.
"Ini biaya penyambungan dan UJL sebenarnya secara regulasi kan sudah ada ya, cuma belum diterapkan. Maksudnya kita mengingatkan saja, mohon nanti biaya penyambungan dan UJL ini diterapkan, dan biaya minimum yang minimal 2 tahun itu juga belum diterapkan," paparnya.
Baca Juga: Pemerintah Mau Bikin 60 Ribu Lebih SPKLU Sampai 2030, Begini Rencananya!
Secara umum, Ketua APPKLI mengutarakan, bisnis SPKLU di Indonesia masih membuat boncos pengusaha. Sebab, pengusaha belum bisa mengambil untung dari margin usaha ini.
"Kita ini sebenarnya maraton, masih mengatur nafas saja, karena belum untung bisnis ini, sebelum berlari panjang kemudian mendapatkan margin," ungkapnya.
Kesiapan Pelaku Usaha
Meski ada serangkaian tantangan tersebut, badan usaha mengaku siap untuk mendukung pengembangan SPKLU di Indonesia.
Benhur menyebutkan, sedikitnya ada empat aspek yang disiapkan pengusaha. Pertama, dukungan teknologi dan pabrikan yang sudah memadai.
"Jadi kita mau minta model apa aja di pabrikan sekarang ada, jenis apa saja, ketepatan apa saja untuk SPKLU ini ada," ungkapnya.
Kedua, secara infrastruktur, badan usaha telah terdaftar di Single Getaway di Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM.
Ketiga, pengguna platform sudah memenuhi standar pelayanan. Keempat, pengusaha menjamin ketersediaan layanan SPKLU dan menyediakan tenaga ahli yang cukup.
Benhur menilai, pentingnya menjaga keyakinan pelanggan dalam menjalankan usaha. Menurutnya, pengusaha harus mampu mengatasi gangguan bersifat teknis, sehingga konsumen pun nyaman.
"Untuk itu kami juga telah menyiapkan beberapa tenaga ahlinya untuk memantau, melihat, memonitor 24/7 SPKLU-SPKLU kita yang ada di lapangan," tutupnya.