24 Oktober 2023
17:17 WIB
Penulis: Nuzulia Nur Rahma
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Semenjak pembatasan kegiatan akibat pandemi covid 19 berangsur dilonggarkan, kebiasaan masyarakat akan belanja online dinilai mulai menurun. Sebaliknya, kegiatan belanja offline kini mulai digemari lagi.
Regional Account Director, Worldpanel Division, Kantar Asia, Helmy Herman mengatakan pertumbuhan belanja online masyarakat saat ini sedang melambat yaitu hanya mengalami kenaikan sebesar 17% per-tahunnya. Padahal saat pandemi, belanja online pertahunnya bisa tumbuh hingga 60%.
"Sekarang melambat 17%, tetap bagus pertumbuhannya namun tidak secepat dengan saat pandemi," katanya dalam diskusi omnichannel trends, Selasa (24/10).
Sebagai informasi, tren kunjungan ke situs e-commerce di Indonesia menurun pada awal 2023. Hal itu terjadi pada lima e-commerce dengan pengunjung terbesar, yakni Shopee, Tokopedia, Lazada, Blibli, dan Bukalapak.
Menurut data SimilarWeb, sepanjang Februari 2023 situs Shopee hanya mendapat 143,6 juta kunjungan. Angka tersebut turun sekitar 16% dibanding Januari 2023, bahkan berkurang 25% dari pencapaian akhir tahun lalu.
Sama seperti Shopee, jumlah pengunjung situs Tokopedia dan Blibli juga turun dua bulan berturut-turut pada Januari-Februari 2023. Sementara kunjungan ke situs Lazada dan Bukalapak sempat naik pada awal tahun ini, tapi merosot lagi pada Februari 2023.
Baca Juga: Antara Peluang dan Ancaman Tingginya Dari Tren Belanja Online
Dari pelambatan tersebut, Helmy menuturkan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Pertama penetrasi internet yang melambat. Menurutnya, dibandingkan dengan pedesaan, saat ini penggunaan internet masih terpusat hanya pada perkotaan saja.
"Yang kita lihat, perkembangan dari internet semakin lama semakin penting. Memang saat pandemi ada kenaikan yang cukup signifikan, dari yang dulu 50% kini sudah mencapai 60% pengguna internet di pedesaan," katanya.
Kedua dari mobilitas, menurutnya ketika Indonesia berhasil keluar dari pandemi orang-orang sekarang sudah bisa bergerak bebas sehingga pilihan-pilihan untuk berbelanja saat ini semakin banyak, tidak terbatas hanya belanja online saja.
"Tapi, mereka juga bisa belanja ke toko-toko offline. Kita lebih sering belanja ke minimarket sekarang karena cepat langsung dapat. Orang lebih prefer ‘dulu saya enggak bisa makan di restoran, sekarang saya bisa makan di restoran’," terangnya.
Faktor kedua adalah perekonomian negara. Seperti diketahui, tahun 2023 ini dipenuhi oleh berbagai tantangan global seperti inflasi yang tinggi, yang mempengaruhi stabilitas perekonomian.
Dari sini menurut Helmy, masyarakat akhirnya mau tidak mau harus berhati-hati pada pengeluaran keuangan mereka.
"Jadi kalau misalnya tadinya kita punya kesempatan untuk ‘oh saya mau belanja skincare ini, belanja produk ini,’ itu online, sekarang kebutuhan pokoknya harus dipenuhi dulu. Sedangkan kalau orang mau belanja kebutuhan pokok biasanya offline, di warung atau supermarket," jelasnya.
Hal ini didukung dari data yang ditemukan olehnya, yakni kontribusi chanel online terhadap produk FMCG yang tidak lebih dari 1%. Selain itu lebih dari 50% konsumen Indonesia belanja di lebih dari empat channel, ini termasuk gabungan antara offline dan online.
Masih Relevan
Dari sini pula, dia menilai artinya pertumbuhan omnichannel masih relevan digunakan saat ini meski pertumbuhan orang yang berbelanja melalui online cukup melambat.
Seperti diketahui, omnichannel atau pengalaman belanja melalui integrasi online dan offline terus berkembang. Mulai dari cara membayar scan and go, pemakaian artificial intelligent, electronic display, belanja lewat aplikasi, teknologi robot dan sebagainya memberikan kenyamanan bagi konsumen.
Strategi omnichannel di Indonesia saat ini dinilai bisa menjembatani para pedagang dan pembeli agar melakukan berbagai transaksi dengan mudah dan lebih efisien.
"Omnichannel itu merupakan pelengkap dan juga instrumental dari channel-channel yang kita miliki awalnya. Intinya adalah bagaimana sih cara kita untuk bisa bring experience kepada offline dan juga online channel di Indonesia," tandasnya.
Baca Juga: Mengenal Jenis-Jenis E-Commerce
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki mengatakan bahwa baik belanja melalui online dan offline, bagi para pelaku UMKM keduanya merupakan opportunity. Dari sinilah menurutnya disrupsi itu mampu melahirkan peluang yang baru.
"Yang tadinya produk UMKM tidak bisa menjangkau pasar atau menjual di daerah strategis seperti di mall dsb, mereka bisa online. Nah artinya, menurut saya tidak usah lagi dipertentangkan offline dan online, karena itu opportunity," katanya.
Meski begitu, dia mengakui memang tidak semua UMKM bisa menggunakan peluang itu, dalam artian mereka dengan kapasitas produksi yang lebih kecil tidak mungkin berjualan di platform online yang kapasitasnya nasional.
Menurut penuturannya, banyak UMKM yang tidak bisa bertahan di platform nasional lantaran produksi yang masih kecil. Oleh karena itu, tidak mampu memenuhi permintaan pasar dengan cepat dan berakhir ditinggalkan oleh pembelinya.
"Tapi ada juga yang memang marketnya di offline, jadi ini adalah pilihan. Lalu yang sekarang jadi concern adalah kita ke online, kita melatih. Sekarang saya kira tugas kita semua maupun channel atau platform adalah membuat produk-produk dan layanan bagi UMKM ini," katanya.