20 September 2025
18:00 WIB
BBM Langka Di SPBU Swasta Imbas Kebijakan Neraca Komoditas
CIPS menilai Neraca komoditas sebaiknya tidak menjadi satu-satunya dasar penentuan kuota, melainkan hanya sebagai instrumen kebijakan perdagangan ketika dibutuhkan.
Penulis: Fin Harini
Sejumlah SPBU Shell tampak kosong akibat dari kelangkaan bahan bakar baru-baru ini. ValidNewsID/Hasta Adhistra.
JAKARTA – Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai kelangkaan BBM di SPBU swasta yang membuat antrean mengular dan mengancam kelangsungan pekerja bukanlah masalah teknis pasokan semata.
Dalam konteks yang lebih luas, kelangkaan BBM di SPBU swasta ini menyingkap persoalan krusial, bagaimana mplementasi Neraca Komoditas dan dominasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memicu distorsi pasar yang akhirnya merugikan konsumen.
“Penggunaan neraca komoditas sebagai dasar pemberian kuota dan izin impor membutuhkan sejumlah evaluasi. Jika evaluasi tidak dilakukan, maka neraca komoditas ini akan berisiko menjadi sistem birokrasi perdagangan yang justru memperbesar ketidakpastian pasar,” jelas Peneliti dan Analis Kebijakan Publik CIPS Hasran.
Neraca Komoditas menggunakan basis data sebagai dasar dalam pengambilan keputusan kuota dan izin ekspor impor di Indonesia. Impor beberapa komoditas diatur dengan sistem ini, seperti bahan bakar, garam, bawang putih, beras, gula, daging lembu, dan jagung. Hal ini harusnya menjadi alat pemerintah untuk mengatur kuota dan izin ekspor impor.
Kuota impor yang diberikan kepada industri didasarkan oleh perhitungan antara proyeksi jumlah pasokan dengan permintaan di tahun berikutnya. Impor baru dapat dilakukan kalau jumlah permintaan melebihi jumlah pasokan. Apabila impor disetujui, kuota dan izin impor akan berlaku selama satu tahun.
Namun, diantara banyak komoditas yang diatur dalam Neraca Komoditas, masa berlaku kuota dan izin impor bahan bakar jauh lebih singkat. Ketika komoditas lain memiliki masa berlaku satu tahun, di awal tahun 2025, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan untuk mempersingkat masa berlaku kuota dan izin impor dari satu tahun menjadi enam bulan.
Industri kini harus mengajukan izin dua kali setahun, sebuah proses yang panjang dan lambat. Akibatnya, pasokan BBM swasta keburu habis sementara izin impor yang baru belum terbit. Kondisi inilah yang memicu kelangkaan di berbagai SPBU swasta saat ini.
Padahal, proses pengajuan kuota baru membutuhkan waktu yang cukup panjang. Akibatnya, pasokan sudah habis terlebih dahulu sementara izin impor belum terbit. Kondisi inilah yang kemudian berkontribusi terhadap kelangkaan BBM di SPBU swasta saat ini.
Masalah ini diperparah oleh tantangan lain dalam implementasi Neraca Komoditas, seperti data pasokan yang tidak akurat, revisi kuota yang memakan waktu lama, serta proses penerbitan izin impor yang tidak otomatis.
Baca Juga: Swasta Sepakat Beli BBM Murni, ESDM Desak Pertamina Benahi Tata Kelola
Penelitian CIPS menunjukkan, data pasokan pemerintah terlalu umum dan tidak sesuai dengan kebutuhan rinci industri. Data permintaan industri dirinci ke dalam kode Sistem Harmonisasi (HS) untuk kelas dan penggunaan tertentu. Sementara data pasokan pemerintah tidak.
Kelangkaan BBM ini merugikan konsumen. Mereka tidak pilihan selain bergantung pada SPBU Pertamina, yang ironisnya sedang menghadapi penurunan kepercayaan publik pasca kasus BBM oplosan.
Alih-alih menawarkan solusi fundamental, Kementerian ESDM justru menyarankan SPBU swasta membeli stok dari Pertamina. Langkah ini dinilai CIPS sebagai bentuk pelanggengan praktik monopoli BUMN, yang sejak lama dikeluhkan karena sering mendapat perlakukan khusus, membatasi ruang gerak swasta, dan menciptakan distorsi pasar.
“Ketika dominasi BUMN ini diperparah dengan kurang efektifnya Neraca Komoditas, maka pasar akan makin terdistorsi dan hal ini bisa menyebabkan munculnya kelangkaan dan kenaikan harga,” tambah Hasran.
Rekomendasi CIPS
CIPS merekomendasikan beberapa poin untuk perubahan yang mendesak. Pertama, neraca komoditas sebaiknya tidak menjadi satu-satunya dasar penentuan kuota, melainkan hanya sebagai instrumen kebijakan perdagangan ketika dibutuhkan.
Jika sistem ini tetap dipertahankan, maka harus diperbaiki secara menyeluruh. Ini termasuk mengembalikan masa berlaku kuota satu tahun, tingkatkan akurasi data pasokan, serta percepat proses revisi.
Baca Juga: Luluh! SPBU Swasta Akhirnya Sepakat Beli BBM Dari Pertamina
Kedua, peran ganda BUMN perlu dibatasi. Mereka seharusnya bertindak sebagai pengelola cadangan strategis, bukan menjadi pemasok utama yang mendominasi pasar.
Terakhir, transparansi dan akuntabilitas harus ditingkatkan, termasuk melanjutkan investigasi kasus korupsi dan mempublikasikan data secara terbuka. Langkah-langkah ini diharapkan dapat memulihkan kepercayaan publik dan menciptakan pasar yang sehat, bukan menyudutkan konsumen pada monopoli.