18 Desember 2023
18:11 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyebutkan penduduk yang tinggal di wilayah pesisir cenderung lebih miskin. Data Bappenas menyebutkan persentase kemiskinan penduduk pesisir mencapai 11,02%, lebih tinggi ketimbang masyarakat non-pesisir dengan persentase kemiskinan 8,67%.
Hal ini juga dikonfirmasi dari data tingkat kedalaman kemiskinan. Masyarakat pesisir memiliki nilai indeks miskin yang lebih dalam (0,013 poin) ketimbang masyarakat non-pesisir (0,0054 poin).
“Karena itu, di sasaran pembangunan, nilai tukar nelayan sering kali kita coba harus jauh lebih besar lagi (peningkatannya),” urainya dalam Indonesia Development Forum 2023 yang dipantau daring, Jakarta, Senin (18/12).
Namun, diakui Suharso, terdapat beberapa kendala untuk mengoptimalisasi ekonomi biru, di tengah potensi yang begitu besar yang dimiliki Indonesia.
Baca Juga: Paradoks Nelayan Di Negeri Maritim
Salah satunya, sampah plastik yang berdampak negatif langsung kepada aspek sosial lingkungan pesisir dan laut saat ini. Dia menyebutkan saat kunjungan ke Pulau Penyengat, terdapat limbah plastik yang diakui Gubernur Kepulauan Riau Ansar Ahmad sebagai sampah kiriman dari wilayah lain.
“Sampah-sampah plastik kalau kata Pak Gub (Ansar) itu kiriman, tiap hari harus dibersihkan. Dapat dibayangkan seperti apa, kalau angin barat lebih banyak, dan angin timur seperti apa,” jelasnya.
KLHK memperkirakan, selama 2022, populasi sampah plastik Indonesia bisa menyentuh 12,8 juta ton/tahun. Adapun turis di Bali memproduksi sampah plastik hingga 3,5 kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan penduduk lokal.
Suharso pun miris bahwa dari total sampah plastik di Indonesia tersebut, sekitar 72%-nya tidak terolah dan langsung dibuang ke ekosistem.
“(Sampah plastik) yang 72% ini mengganggu (ekosistem) kita, dari sungai sampai ke laut,” jabarnya.
KLHK mensinyalir bahwa jumlah sampah yang tidak terolah sebanyak itu merupakan dampak dari kurangnya infrastruktur dan manajemen pengolahan sampah di Indonesia.
Bukan Sekadar Sampah Kiriman
Menanggapi sampah plastik di laut, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengungkapkan, banyaknya sampah plastik di laut bukan hanya akibat efek ‘kiriman’. Lebih jauh, kehadiran sampah plastik di laut juga terjadi karena sikap abai pengguna laut atas sampah logistik.
“(Sampah) plastik bukan hanya datang, (tapi) juga dibuang dari kapal-kapal baik kapal ikan, niaga, hingga logistik. Mereka membawa dan mengangkut logistik makan dan sebagainya, namun plastik dan sampahnya dibuang di laut,” terang Wahyu.
Dirinya pun mengingatkan, saat ini Indonesia menempati urutan ke-2 sebagai penyumbang sampah plastik terbesar di dunia. Dirinya pun menyayangkan, gerakan pengentasan plastik di laut ini masih dikerjakan di level kementerian saja, kendati sudah mengajak dan melibatkan partisipasi pemerintah daerah.
Dalam dua tahun terakhir, KKP berinisiatif menggagas gerakan ambil sampah di laut dengan mengajak nelayan. Para nelayan diajak kompromi dengan tidak menangkap ikan di laut selama sebulan, dan mengalihkannya dengan mencari sampah plastik.
Adapun para nelayan yang berpartisipasi dan mendapat temuan sampah, diberikan bayaran serupa dengan bobot ikan perkilo. ”Ini sudah berjalan dua tahun. Di 2022, kita akhiri puncaknya di ultah KKP di Bali, (lalu) di 2023 kita akhiri puncaknya di Surabaya,” ucapnya.
Wahyu pun berharap, gerakan serupa bisa dilaksanakan di tingkat pemda, karena partisipasinya masih terbatas dilakukan oleh para nelayan.
“Saya mohon pada kepala dinas, Pak Gubernur, dan masyarakat pesisir, (gerakan ambil sampah plastik di laut) ini penting. Karena masa depan kita adalah laut, begitu laut rusak selesai sudah… enggak ada lagi oksigen dan kehidupan, yang ada adalah kehancuran,” tegasnya.
Baca Juga: Tingkat Kemiskinan Maret 2023 Turun 25,90 Juta Orang
Perubahan Iklim
Tantangan lain dalam meningkatkan ekonomi biru dan mendatangkan kesejahteraan, menurut Suharso, adalah perubahan iklim. Permukaan laut di dunia per Juni 2023 sudah naik sekitar 4mm, dan jika ditotal sepanjang 1993-2023 kenaikan permukaan laut telah terjadi sebanyak 100,5mm.
Kenaikan air laut ini berefek langsung pada proses pemutihan terumbu karang. Kemudian kemunculan alga beracun, yang jika termakan dapat membuat ikan, burung, mamalia laut, dan manusia sakit.
Selanjutnya, efeknya juga terasa langsung kepada ekosistem dan habitat di laut. Penurunan tingkat oksigen dapat menyebabkan beberapa hewan laut mati, sehingga habitanya menjadi berkurang.
Kenaikan air laut juga berpotensi mengubah air laut yang tadinya asin menjadi sedikit lebih asam, yang mengancam dan merusak keberadaan hewan bercangkang, seperti karang, remis, dan tiram.
Pada akhirnya, ekosistem perikanan yang terganggu dapat memengaruhi jaring-jaring makanan yang ada di laut, sehingga akan berdampak kepada mata pencaharian masyarakat lokal, dan ketahanan pangan global.