c

Selamat

Senin, 10 November 2025

NASIONAL

20 Juni 2023

20:11 WIB

Paradoks Nelayan Di Negeri Maritim

Jutaan nelayan terima bantuan sosial pemerintah. Predikat wilayah miskin ekstrem masih dominan lekat dengan kampung nelayan

Penulis: Aldiansyah Nurrahman, Andi Muhammad, Ananda Putri Upi Mawardi

Editor: Leo Wisnu Susapto

Paradoks Nelayan Di Negeri Maritim
Paradoks Nelayan Di Negeri Maritim
Warga melintasi jembatan akses untuk keluar masuk pemukiman nelayan di Muara Angke, Jakarta Utara, Minggu (18/6/2023). ValidNewsID/Fikhri Fathoni

JAKARTA – Badan Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) mendata, hasil tangkapan laut Indonesia adalah yang terbesar setelah China. Pada 2020, hasil tangkapan laut China mencapai 11,7 juta ton dan Indonesia 6,43 juta ton.

Jika dihitung rupiah, data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan nilai produksi perikanan laut 2020 mencapai Rp171,5 triliun. Sementara itu, nilai produksi perikanan non-laut hanya sumbang Rp15,03 triliun.

Namun, produksi perikanan laut Indonesia tinggi tidak selaras dengan nasib nelayannya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan dua hal berbeda. Lembaga itu mencatat, pada 2018, sebanyak 20-48% nelayan Indonesia berada dalam kemiskinan.

Pada 2021, tingkat kemiskinan ekstrem di wilayah pesisir mencapai 4,19%. Lebih tinggi dari tingkat kemiskinan ekstrem nasional di angka 4%. Lalu, sebanyak 12,5% atau setara 1,3 juta dari total penduduk miskin ekstrem bermukim di wilayah pesisir. BPS mencatat ini. 

Menilik kenyataan ini, Kemenko Perekonomian menyalurkan Bantuan Tunai Pedagang Kaki Lima, Warung, dan Nelayan (BT-PKLWN) pada 2022. BT-PKLWN 2022 ini secara spesifik menyasar 212 kabupaten dan kota yang masuk dalam Roadmap Program Pengentasan Kemiskinan Ekstrem nol persen di tahun 2024.

Besaran BT-PKLWN adalah Rp600.000/orang untuk 2,76 juta penerima. Dan, penerimanya adalah sejuta PKLW dan 1,76 juta nelayan. Khusus untuk nelayan, kriterianya adalah mereka pelaku usaha kelautan dan perikanan yang merupakan nelayan buruh, nelayan penangkap ikan tanpa kapal, atau nelayan pemilik kapal kurang dari 5 GT (Gross Tonase).

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengamini perlunya bantuan ini. Ya, fenomena nelayan banyak yang hidup miskin, adalah kenyataan. Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) KNTI Dani Setiawan, mengatakan kemiskinan umumnya dialami oleh nelayan kecil atau buruh nelayan. Menurut dia, nelayan kecil mencakup 90% dari total jumlah nelayan saat ini.

Sekadar menjelaskan, UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam memuat definisi tentang nelayan. Yakni, setiap orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.

Kemudian, nelayan itu terbagi atas nelayan kecil. Yakni, nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar 10 gros ton (GT).

Ada pula nelayan tradisional, yang melakukan penangkapan ikan di perairan yang merupakan hak perikanan tradisional yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun sesuai dengan budaya dan kearifan lokal.

Selanjutnya, nelayan buruh, yang menyediakan tenaganya yang turut serta dalam usaha penangkapan ikan. Serta, nelayan pemilik adalah nelayan yang memiliki kapal penangkap ikan yang digunakan dalam usaha penangkapan ikan dan secara aktif melakukan penangkapan ikan.

Sementara itu, soal risiko pekerjaan, Organisasi Buruh Dunia menguraikan, tiap orang layak untuk bekerja dengan aman di laut. Karena laut adalah sumber kehidupan manusia. Laut menyimpan potensi alam yang sangat luar biasa. 

Namun, bekerja di laut menurut International Labor Organization (ILO) merupakan pekerjaan yang memiliki kriteria 3D–Dangerous, Dirty, Difficulty. Oleh karena itu, untuk dapat bekerja di laut, setiap orang harus memiliki pengalaman pengetahuan dasar tentang bekerja di laut.

Dani lalu menguraikan, dengan risiko seperti itu, kemiskinan nelayan, terutama dialami nelayan kecil atau nelayan buruh. 

“Kemiskinan nelayan memiliki dua dimensi. Satu dimensi yang sifatnya struktural, yang kedua dimensi natural," jelas Dani kepada Validnews melalui sambungan telepon, Kamis (15/6).

Dani menjelaskan, dimensi struktural terdiri dari beberapa faktor. Pertama, semakin menyempitnya ruang penangkapan ikan bagi nelayan kecil. Ini disebabkan kompetisi dengan nelayan besar dan adanya aktivitas non-perikanan seperti pertambangan dan reklamasi.

Akibatnya, para nelayan terpaksa melaut lebih jauh dengan ongkos melambung. Terutama untuk membeli bahan bakar yang harganya terus meningkat. Apalagi, Dani menyebut, bahan bakar mencakup 60-70% biaya melaut.

"Survei KNTI pada 2021 itu menemukan, 82% nelayan kecil tidak bisa mengakses BBM bersubsidi. Karena mereka membeli BBM dengan harga yang lebih mahal di eceran, 30-40% lebih mahal," papar Dani.

Faktor lain yang berdampak pada kemiskinan nelayan adalah pemasaran produk perikanan yang tidak memberi pelindungan bagi nelayan. Tempat pelelangan ikan kerap kali tidak bisa memberi harga yang baik bagi nelayan. 

Hubungan antara nelayan dan pengepul pun kerap eksploitatif. sehingga, nelayan tak punya daya tawar dalam menentukan harga.

Selain itu, nelayan kecil juga tidak memiliki skema pelindungan sosial. Pendapatan mereka nol ketika tidak bisa melaut akibat musim dan cuaca yang buruk. Alhasil, mereka berutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

"Faktor yang saya sebut kedua adalah faktor alamiah yang disebabkan perubahan lingkungan," tukas  Dani.

Diakui, perubahan lingkungan berdampak pada turunnya intensitas melaut. Tingkat kecelakaan di laut pun semakin tinggi. Tak hanya itu, migrasi ikan menjadi tak menentu dan zona penangkapan ikan berubah.

Di sisi lain, Indonesia belum memiliki indeks kesejahteraan nelayan yang mampu mengukur kesejahteraan nelayan secara akurat. Saat ini, hanya ada data-data makro terkait seperti tingkat kemiskinan ekstrem di wilayah pesisir.

Adapun saat ini kesejahteraan nelayan diukur melalui Nilai Tukar Nelayan (NTN). NTN membandingkan harga yang dibayar dengan harga yang diterima nelayan. Jika harga yang diterima melebihi angka 100, pendapatan nelayan lebih tinggi dari pengeluaran mereka. 

Berdasarkan data BPS, NTN nelayan laut ada di angka 123,12 pada Mei 2023. NTN ini terus meningkat secara perlahan dari angka 121,73 pada Januari 2023.

Meski begitu, Dani menilai NTN belum menunjukkan kesejahteraan nelayan secara menyeluruh. 

"Pemerintah harus membuat itu sehingga kita bisa tahu langkah-langkah kebijakan apa yang perlu dilakukan untuk mendorong kesejahteraan nelayan," papar Dani.

Hak Konstitusi
Soal kemiskinan yang masih lekat dengan nelayan. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menguraikan lebih jauh. Kiara menjelaskan, hal dasar yang dibutuhkan nelayan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka adalah hak konstitusi.

"Sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor III tahun 2010, nelayan itu punya yang disebut hak konstitusi. Hak konstitusi adalah hak untuk melintas dan mengakses lautnya, itu dasar banget," ujar Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati, kepada Validnews, Jumat (16/6).

Susan menjabarkan, saat ini hak itu sulit diperoleh lantaran maraknya perampasan ruang berupa kegiatan yang merusak kawasan pesisir. Terbaru adalah dibukanya keran ekspor pasir laut oleh Presiden Joko Widodo melalui PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Pemerintah menyebutkan ekspor pasir tidak akan merusak alam. Namun, menurut Susan, pertambangan pasir di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, telah membuktikan dampak buruk pertambangan pasir. Kawasan pesisir di sana rusak dan jumlah ikan kian menipis.

"Bagaimana mereka (nelayan) bisa sejahtera di laut? Yang penting mereka berdaulat. Negara enggak menjual ruang-ruang pesisir itu menjadi lahan-lahan investasi," ujar Susan.

Selain itu, Susan juga menyoroti pelindungan nelayan. Saat ini, nelayan memiliki asuransi yang manfaatnya didapat ketika nelayan mengalami cacat atau meninggal saat bekerja. Asuransi ini dibayar nelayan dengan besaran Rp15.000-25.000 per bulannya.

Meski tidak mahal, pendapatan nelayan yang tidak menentu membuat biaya asuransi terasa berat. Belum lagi, di beberapa daerah ditemukan nelayan yang mulai bergeser dari asuransi nelayan ke BPJS Ketenagakerjaan. Sebab, yang mereka butuhkan adalah jaminan hari tua.

Susan mengapresiasi program-program yang dijalankan pemerintah. Namun, program-progran itu dia nilai tidak efektif, termasuk bantuan tunai. Ini karena bantuan yang diberikan tidak bisa mencukupi kebutuhan nelayan.

"Permasalahannya, program pemerintah tidak berangkat dari riset atau justifikasi di bawah. Dari kebutuhan mereka (nelayan) itu apa sebenarnya," ujar Susan. 

Jadi, bantuan yang ada tidak menyentuh akar kemiskinan nelayan.

Terjebak Kemiskinan
Pakar Maritim dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dedi S Adhuri menjelaskan, nelayan memang masih terjebak kemiskinan karena beragam faktor. Pemerintah pun perlu memberikan bantuan yang komprehensif untuk menangani masalah ini.

Namun, Dedi menjelaskan, kemiskinan hanyalah satu sisi koin cerita nelayan. Di samping itu, nelayan juga memiliki potensi dan berperan penting dalam dunia perikanan Indonesia. Tidak hanya sebagai garda terdepan penyedia protein hewani, namun juga pengelola wilayah pesisir.

Dedi menjelaskan, banyak nelayan dan komunitas pesisir melakukan praktik pengelolaan wilayah pesisir. Baik secara tradisional maupun lewat kesepakatan kontemporer.

Praktik ini adalah pemanfaatan dan pengendalian sumber daya pesisir secara berkelanjutan. Contohnya, struktur adat Panglima Laot di Aceh dan hukum adat awig-awig/awik-awik di Bali.

"Itu praktik-praktik yang banyak manfaatnya untuk pengelolaan wilayah pesisir dan perikanan pesisir," ujar Dedi melalui zoom dengan Validnews, Jumat (16/6).

Dedi menjelaskan, pengelolaan pesisir memiliki tiga elemen utama yaitu wilayah kelola, aturan kelola, dan lembaga kelola. 

Pada elemen aturan kelola, terdapat pelarangan penggunaan alat tangkap yang destruktif atau eksploitatif. Di sebagian unit kelola ada pula pelarangan tambang pasir.

Berdasarkan riset yang dilakukan Dedi dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, tercatat ada 1.251 unit pengelolaan pesisir yang dilakukan masyarakat. 

Namun, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP pada 2021, dari angka itu hanya 32 unit kelola yang teridentifikasi.

Padahal, dengan mengoptimalkan unit kelola masyarakat, jelas dapat membantu pemerintah berhemat dalam hal sumber daya pengelolaan. Sebab, sebagian fungsi pengelolaan sudah dikerjakan masyarakat. 

Pengelolaan pesisir oleh masyarakat, sebut Dedi, mampu menciptakan perikanan yang berkelanjutan dan berkeadilan. 

Hasilnya, sumber daya alam terjaga dan terkendali. Sehingga, kesejahteraan nelayan pun meningkat.

"Misalnya, destructive fishing bisa ditekan karena mereka menjaganya. Lalu, nelayan luar bisa dikontrol oleh mereka, bisa diawasi. Sehingga sumber dayanya terlindungi dari eksploitasi oleh pihak-pihak luar," papar Dedi.

Tak hanya menjaga alam, Dedi juga menyampaikan, nelayan perlu memperkuat daya tawar untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Misalnya, dengan mengorganisir diri. 

Dengan demikian, suara nelayan cukup besar untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dan mengadvokasi merek sendiri.

Lalu, apa penjelasan pemerintah soal lekatnya kemiskinan dengan profesi nelayan, dan apa yang dilakukan pemerintah secara gamblang terhadap hal itu? Validnews telah menghubungi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait hal ini. Namun, hingga tulisan ini dibuat, pihak KKP tak kunjung memberi tanggapan.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar