30 Mei 2024
08:06 WIB
Banyak Tantangan, Kemenkeu Akui Transaksi Bursa Karbon RI Masih Minim
Sejak 2023 hingga April 2024, nilai transaksi bursa karbon RI tercatat Rp35,3 miliar dengan volume transaksi 572,064 ton CO2e. Ada masalah supply and demand.
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Editor: Fin Harini
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi menteri dan pejabat terkait meluncurkan secara resmi Bursa Karbon Indonesia di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (26/9/2023). Dok/BEI
BOGOR - Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menilai transaksi bursa karbon (IDXCarbon) di Indonesia masih tergolong minim, meski sudah diluncurkan sejak 8 bulan lalu, tepatnya pada 26 September 2023.
Hal itu disampaikan Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral BKF Kemenkeu, Boby Wahyu Hernawan. Sejak diluncurkan hingga April 2024, nilai transaksi bursa karbon tercatat Rp35,3 miliar dengan volume transaksi 572,064 ton CO2e.
"Memang harus diakui saat ini perkembangan di bursa karbon Indonesia masih agak terbatas. Di sinilah peran kita semua untuk meng-encourage para pihak yang mempunyai keinginan secara sukarela melakukan pengurangan emisi, itu dapat dimonetisasi" ujar Boby dalam Media Gathering di Bogor, Rabu (29/5).
Baca Juga: Mengenal Bursa Karbon dan Cara Kerjanya
Untuk diketahui, merujuk pada Peraturan OJK 14/2023, Bursa Karbon adalah suatu sistem yang mengatur Perdagangan Karbon dan/atau catatan kepemilikan Unit Karbon.
Perdagangan Karbon merupakan kegiatan jual beli Unit Karbon dengan mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Sementara Unit Karbon adalah bukti kepemilikan karbon dalam bentuk sertifikat atau persetujuan teknis yang dinyatakan dalam satu ton karbon dioksida yang tercatat dalam SRN PPI.
Dengan demikian, entitas yang dijual dalam Bursa Karbon adalah kredit atas pengeluaran karbondioksida atau GRK. Mekanisme perdagangan karbonnya terdiri dari pihak penjual dan pembeli. Kemudian dalam bursa karbon yang diperdagangkan, yakni kredit karbonnya.
Boby melanjutkan, salah satu alasan transaksi bursa karbon di Indonesia masih minim lantaran banyak pihak yang belum memahami nilai ekonomi karbon itu bisa dimonetisasi ataupun diperdagangkan.
"Kenapa masih agak tipis frekuensi transaksi dan sebagainya (IDXCarbon), ini kembali ke supply dan demand, dan bagaimana awareness bahwa ada nilai ekonomi karbon sekarang dapat dimonetisasi dan diperdagangkan," tutur Boby.
Baca Juga: Transaksi Bursa Karbon Hari Kedua Rp0, Ini Kata BEI dan Analis
Di sisi tantangan dari sisi supply dan demand, Boby menyebut masih terjadi ketimpangan antara permintaan dan penawaran di bursa karbon.
Sebab, menurut Boby, Indonesia sangat potensial menjadi supplier pengurang karbon, salah satunya karena memiliki sektor kehutanan yang unggul. Meski supply dinilai sudah berlimpah, persoalan demand masih perlu didongkrak.
"Memang saat ini tantangan kita adalah supply and demand. Sebenarnya supply kita sangat besar misalnya dari sektor kehutanan, transportasi, energi dan sebagainya. Namun ini (IDXC) masih hal baru, jadi kita harus menggaungkan, setiap individu ataupun pengusaha, mengurangi karbon itu bisa dimonetisasi," ucap Boby.