09 Oktober 2024
15:40 WIB
Bahlil: Lifting Minyak RI Berbanding Terbalik Dengan Era 1990-an
Tahun 1996-1997, Indonesia menjadi eksportir 1 juta barel minyak, sedangkan tahun 2023 menjadi importir 1 juta barel minyak.
Penulis: Yoseph Krishna
Ilustrasi. Pekerja mengecek pompa angguk yang beroperasi di Lapangan Duri, yang merupakan salah satu lapangan injeksi uap terbesar di dunia di Blok Rokan, Riau, Jumat (19/8/2022). Antara Foto/Akbar NG
JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menjelaskan kondisi lifting minyak Indonesia saat ini berbanding terbalik dengan periode 1990-an.
Dia mengungkapkan sektor minyak dan gas bumi (migas) Indonesia sempat mengalami masa jaya pada kisaran tahun 1996-1997. Kala itu, lifting minyak Indonesia berhasil tembus 1,6 juta barel per hari (BOPD).
"Saat itu 40%-50% pendapatan negara bersumber daripada oil and gas, makanya kita bisa masuk ke OPEC," tutur Bahlil di Jakarta Convention Center, Rabu (9/10).
Kemudian pada Reformasi 1998 dan PT Pertamina tidak lagi berada langsung di bawah Presiden RI, melainkan di bawah naungan Kementerian BUMN, lifting minyak disebutkannya terus menurun.
Puncaknya pada 2023 lalu, lifting minyak RI hanya sebesar 605 ribu BOPD. Tahun ini, Bahlil pun menyebut lifting minyak tak akan berada jauh dari capaian tahun sebelumnya atau bahkan menurun ke angka yang lebih rendah.
Baca Juga: Indonesia Timur Jadi Tulang Punggung Hulu Migas
Di lain sisi, konsumsi minyak Indonesia mencapai rerata 1,6 juta BOPD. Artinya, sisa kebutuhan 1 juta BOPD dipenuhi dari impor. Berbanding terbalik dengan 30 tahun silam, RI justru mengekspor minyak kurang lebih 1 juta BOPD mengingat konsumsi yang hanya sebesar 600-an ribu BOPD.
"Jadi terbalik 30 tahun lalu antara lifting dan ekspor berbalik dengan lifting dan impor tahun 2023. Jadi 1996-1997 kita ekspor 1 juta barel, 2023 kita impor 1 juta barel. Ini kondisi bangsa kita," jabarnya.
Intervensi Teknologi
Salah satu upaya pemerintah untuk mendongkrak lifting minyak ialah lewat intervensi teknologi pada setiap sumur-sumur produksi. Misalnya di Blok Cepu kelolaan ExxonMobil, intervensi teknologi mampu meningkatkan lifting yang tadinya hanya 100 ribu BOPD menjadi sekitar 150 ribu BOPD.
"Secara pengalaman yang ada, sumur-sumur yang ada ini bisa diintervensi dengan teknologi untuk meningkatkan kapasitas produksi," kata Bahlil.
Baca Juga: Sumur Migas Kedua BUIC Milik ExxonMobil Resmi Berproduksi
Eks-Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) itu pun telah berdiskusi dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan PT Pertamina mengenai hal tersebut.
Dari hasil diskusi itu, Bahlil mengungkapkan intervensi teknologi dari Amerika Serikat dan Tiongkok bernama Enhanced Oil Recovery (EOR) itu bisa meningkatkan 20% dari total lifting minyak.
Artinya jika saat ini lifting minyak Indonesia mencapai 600 ribu BOPD, bakal ada tambahan sekitar 120 ribu BOPD dengan menerapkan teknologi EOR tersebut.
"Kalau 600 ribu ini dikali 20% kan bisa dapat 120 ribu barel dan ini kita sudah lakukan kerja sama dengan beberapa perusahaan dari Amerika, China, salah satu intervensi teknologinya adalah EOR," ucap Bahlil.