c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

01 April 2023

09:35 WIB

Asosiasi: 60 Perusahaan Terlibat Modus Impor Tekstil Ilegal

Sekitar 60 perusahaan yang dipunyai oleh sekitar delapan orang pengusaha melakukan berbagai modus untuk melakukan impor tekstil ilegal.

Asosiasi: 60 Perusahaan Terlibat Modus Impor Tekstil Ilegal
Asosiasi: 60 Perusahaan Terlibat Modus Impor Tekstil Ilegal
Tumpukan bal pakaian, sepatu dan tas yang akan dimusnahkan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan di Ter minal Tipe A, Bandar Raya Payung Sekaki di Pekanbaru, Riau, Jumat (17/3/2023). Dok/Kemendag

JAKARTA – Asosiasi Produsen Serta dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengungkapkan sekitar 60 perusahaan yang dipunyai oleh sekitar delapan orang pengusaha melakukan berbagai modus untuk melakukan impor tekstil ilegal.

“Mereka mainnya banyak, main di API-P (Angka Pengenalan Importir-P untuk produsen) iya, API-U (Angka Pengenalan Importir-U untuk pedangang umum) iya, main di borongan iya tergantung kalau borong lagi murah mereka banyakin di borongan. Kalau borongan mereka main di API yang dia punya,” kata Ketua Umum APSyFI Redma Wirawasta  saat konferensi pers di Jakarta, Jumat. (31/3), seperti dilansir Antara.

Dia menuturkan modus impor ilegal atau yang disebut dengan modus impor unprosedural terdiri dari beberapa cara. 

Pertama, under invoice, yakni menurunkan dan mengurangi volume dan nilai barang dalam Pemberitahuan Impor Barang (PIB). 

Kedua, pelarian daftar penggolongan barang atau yang disebut Harmonized System (HS) dalam PIB ke HS yang bea masuknya lebih rendah

Lalu ada transhipment atau pembuatan dokumen surat keterangan asal impor palsu dari negara yang mempunyai perdagangan perjanjian dagang atau negara yang tidak terkenda trade remedies.

Baca Juga: Candu Bernama Thrifting

Kemudian impor borongan yang dilakukan tanpa perhitungan bea masuk dan pajak yang seharusnya menggunakan jasa importir undername.

“Praktik ini meniadakan peraturan impor Tata Niaga Impor maupun Trade Remedies. Pertengahan 2017 hingga 2019, praktik borongan ini dibubarkan oleh Satgas PIBT yang dipimpin Menkeu, namun kembali marak sejak 2019 hingga saat ini,” ucapnya.

Modus impor borongan yang tengah marak ini, disebut Redma dengan mudah ditemukan di e-commerce

Dia menjelaskan para pengimpor nakal tersebut secara terang-terangan mencantumkan berbagai jenis modus impor, mulai dari undername import-export, impor resmi, borongan, door to door bahkan hingga membantu customer yang barangnya tertahan di bea cukai karena legalitas impor tidak lengkap dan barang tidak bisa diproses.

Sedangkan untuk perusahaan tekstil yang menyalahgunakan izin impor API-P, berdasarkan investigasi APSyFI di tahun 2020 adalah PT Internal Tekstil. Perusahaan tersebut mendapat kuota impor 32 juta. Namun, setelah disurvei, hanya terdapat gudang dan tidak memiliki kapasitas produksi.

Kemudian ada PT Windu Eka yang memiliki izin kuota impor untuk 49,5 juta meter. Namun, kapasitas terpasang hanya 500 ribu meter per tahun dengan jumlah pekerja kurang dari 100 orang. Padahal untuk memenuhi permintaan 49,5 juta meter diperlukan 9500 karyawan.

Negara Kehilangan Rp19 Triliun
Indonesia disebut kehilangan pendapatan sebesar Rp19 triliun akibat impor tekstil dan produk tekstil (TPT) ilegal sepanjang 2022 yang volumenya mencapai 320 ribu ton.

“Kalau kita hitung 320 ribu ton nilainya sekitar Rp32 triliun. Kalau pemerintah kasih PPN, PPH, bea masuk dan BMTP, seharusnya pemerintah bisa dapat Rp19 triliun, artinya pemerintah kehilangan pendapatan Rp19 triliun dari sektor pajak pakaian ilegal ini,” ucap Redma

Redma menjelaskan impor TPT ilegal yang terdiri dari pakaian bekas mencapai 320 ribu ton, lebih banyak dibandingkan impor TPT legal yang berjumlah 250 ribu ton selama 2022. Impor ilegal tersebut setara dengan 16 ribu kontainer per tahun atau 1.333 kontainer per bulan.

Selain kehilangan pendapatan pajak, impor ilegal juga menyebabkan kehilangan potensi serapan 545 ribu tenaga kerja langsung dan 1,5 juta tidak langsung dengan total pendapatan karyawan mencapai Rp54 triliun per tahun.

Jika diproduksi di dalam negeri, sektor TPT bisa memberikan masukan sektor pajak sebesar Rp6 triliun dan BPJS sebesar Rp2,7 triliun serta berimplikasi pada kegiatan ekonomi di sektor energi, perbankan, logistik, industri pendukung dan sektor lainnya.

Tak hanya itu, daya destruktif impor ilegal TPT mencapai 29,6% atau setara US$6 miliar dari total turn over lokal sebesar US$20 miliar. Hal ini menjadi hambatan investasi dan menekan utilisasi produksi industri TPT Nasional menjadi hanya tinggal 50%.

Baca Juga: Pemerintah Harus Punya Tindak Lanjut Usai Larangan Thrifting

Redma juga menambahkan saat ini banyak perusahaan impor bodong yang menyalahgunakan izin impor untuk menyelundupkan barang. 

Perusahaan-perusahaan ini memiliki persetujuan impor Angka Pengenalan Importir-P (API-P untuk produsen) dan API-U (untuk pedagang umum) namun tidak memiliki mesin dan kapasitas produksi. Tetapi mereka mendapatkan izin impor dalam jumlah puluhan hingga ratusan juta meter.

Pelaku impor juga menggunakan modus under invoice, pelarian HS dan transhipment untuk menghindari kewajiban pajak dan pabean. 

Menurut Redma, sebagian besar oknum importir mempunyai banyak perusahaan bodong, baik yang berperan sebagai produsen untuk mendapatkan Persetujuan Impor (PI) API-P dari Kemenperin, maupun yang berperan sebagai API-U untuk mendapatkan PI dari Kemendag.

“Sebagian besar oknum importir mempunyai banyak perusahaan bodong, baik yang berperan sebagai produsen untuk mendapatkan Persetujuan Impor (PI) API-P dari Kemenperin, maupun yang berperan sebagai API-U untuk mendapatkan PI dari Kemendag,” katanya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar