30 Maret 2023
08:00 WIB
Penulis: Sakti Wibawa
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Larangan thrifting dan impor pakaian bekas membuat resah Sarah Utami (24). Sebagai pecinta thrifting, Sarah terbiasa berbelanja pakaian bekas setidaknya sekali seminggu. Bahkan, tak sekali dia berbelanja hingga empat kali sepekan.
“Biasanya kita kalau thrifting baju bekas itu rentang harga Rp200 ribu sudah dapat baju bermerk, bahkan saya pernah dapat sweater dengan harga Rp35 ribu, dan celana panjang dari Korea itu Rp45 ribu,” katanya kepada Validnews, Rabu (29/3).
Sarah lebih suka berburu barang thrifting dari toko online. Pasalnya, ia menilai pakaian bekas dengan kualitas justru susah diperoleh di toko offline.
“Saya beli yang paling banyak komentarnya pada saat live, tapi jangan mudah percaya jika followers-nya banyak, misal di Tiktok followers-nya banyak, terus yang nonton sedikit. Nah, itu jangan dipercaya,” paparnya.
Masalah harga, nilainya, menjadi alasan masyarakat menggemari thrifting. Lewat praktik jual beli pakaian bekas inilah masyarakat bisa mencicipi menggunakan berbagai branded item berkualitas bagus dengan harga yang jauh lebih murah.
Serupa, Marcia (27). Sekretaris di sebuah BUMN ini mengaku selama ini mengandalkan thrifting untuk menunjang penampilannya. Menurutnya, penampilan rapi dan apik menjadi salah satu tuntutan profesi. Sayangnya, gaji tak selalu bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
“Jadi untuk outfit buat kerja kayak blazer gitu, emang biasa nyari di thrifting sih. Kebetulan ada teman yang punya toko online, jadi kalau ada yang bagus disimpenin dulu buat aku,” akunya, Rabu (29/3).
Dia membandingkan, harga blazer thrifting dengan barang baru terpaut sangat jauh. Bahkan, harga barang thrifting hanya berkisar 10% dari harga barunya. “Lumayan banget kan ngiritnya,” serunya.
Marcia tak sendiri. Farel (48), seorang wirausaha, juga mengandalkan thrifting untuk berbelanja pakaian kerja saat masih menjadi pegawai kantoran. Pria yang gemar memakai kemeja putih ini bahkan memiliki langganan di Pasar Baru yang menyuplai kebutuhannya. Tak cuma kemeja, Farel juga berbelanja dasi hingga sepatu.
“Asal jeli milihnya, barangnya emang bagus-bagus sih. Kemeja tinggal dibawa ke laundry, beres,” sebutnya, Rabu (29/3).
Kebiasaan berbelanja thrifting tak dia tinggalkan meski sudah beralih profesi dan bisa berpakaian lebih santai. Hanya, frekuensi kunjungan ke Pasar Baru menjadi sangat berkurang.
Pengunjung memilih pakaian bekas impor untuk dibeli di Pasar Senen, Jakarta, Jumat (24/2/2023). ValidNewsID/Fikhri Fathoni Perlindungan Produk Lokal dari Thrifting
Larangan thrifting mendapatkan tanggapan berbeda dari ketiganya. Sarah menyebutkan, larangan thrifting terutama di online shop memang sangat berat bagi masyarakat yang terbiasa untuk melakukan hal tersebut. Baginya thrifting bak candu, ada kepuasan saat mendapatkan berbagai produk branded tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam.
Marcia pun menilai larangan tersebut memberatkan, tak hanya bagi konsumen tapi juga bagi penjual. Menurutnya, bagi penjual, beralih bisnis tak semudah membalikkan tangan. Sementara, konsumen mau tak mau harus mengurangi belanja karena belum tentu mampu membeli branded item baru.
“Mau beli yang lokal, mungkin juga belum ketemu yang cocok. Soalnya kalau branded gitu kan udah jelas kualitasnya ya. Ya kualitas kainnya, jahitannya rapi, cutting-nya enak. Jadi ya kayaknya nabung-nabung dulu kalau mau belanja baju lagi,” imbuhnya.
Sementara Marcel mengaku memahami alasan pemerintah melarang thrifting. Dia menilai, praktik thrifting memang membuat produk lokal kurang diminati. “Harganya kebanting banget sama thrifting. Udah megap-megap duluan kalau disuruh saingan,” katanya.
Pemerintah Indonesia saat ini tengah gencar-gencarnya memberantas pakaian bekas impor dari pasar domestik. Tak main-main, pemerintah sudah memusnahkan belasan ribu bal pakaian bekas, dengan nilai ratusan miliar rupiah.
Pelarangan impor pakaian bekas ini bukan hal yang baru lagi di Indonesia. Sesungguhnya pemerintah telah menerapkan pelarangan impor pakaian bekas sejak tahun 2015 melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51 tahun 2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas.
Larangan impor pakaian bekas juga disebut dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.
Namun, meski dilarang, baju bekas tetap deras masuk ke Indonesia. Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki mengatakan, kerugian dari impor pakaian bekas impor mencapai Rp100 triliun. Hal tersebut berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
“Industri pakaian lokal kita jelas terpukul dengan masuknya pakaian impor ilegal ini. Bayangkan porsinya itu mengisi 31% pasar domestik kita. Sementara produk pakaian impor dari China porsinya 17,4%,” kata Teten Masduki, saat ditemui usai acara pemusnahan pakaian bekas yang disita penegak hukum, Selasa (28/3).
Teten melanjutkan, berdasarkan data BPS, perkiraan nilai impor pakaian ilegal pada 2018 mencapai Rp89,37 triliun. Setahun berikutnya mencapai Rp89,06 triliun dan melonjak pada 2020 mencapai Rp110,28 triliun.
Kemudian pada 2021 dan 2022 masing-masing mencapai Rp103,68 triliun dan Rp104,41 triliun.
Bahkan, tambah Teten, aktivitas impor pakaian ilegal ini mengancam sekitar 533.217 pelaku industri mikro dan kecil di sektor pakaian, yang jumlah pemainnya sedang dalam tren menurun pada tiga tahun terakhir.
Jumlah pelaku industri mikro dan kecil pada sektor pakaian jadi pada 2019 dan 2020 masing-masing sebanyak 613.668 dan 591.390. Sementara itu, jumlah tenaga kerja yang terserap di di dalam industri tersebut per 2021 lalu mencapai 999.480 jiwa.
"Dengan adanya impor pakaian ilegal, tentu akan memukul industri pakaian lokal kita yang saat ini sedang menurun," paparnya.