c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

30 Juli 2025

11:49 WIB

APINDO Sebut TKDN Bukan Faktor Pendorong Tingkat PHK Naik

Ketum APINDO, Shinta Kamdani menyatakan adanya pelonggaran TKDN bukan faktor yang mendorong angka PHK di Indonesia semakin naik.

Penulis: Erlinda Puspita

<p id="isPasted">APINDO Sebut TKDN Bukan Faktor Pendorong Tingkat PHK Naik</p>
<p id="isPasted">APINDO Sebut TKDN Bukan Faktor Pendorong Tingkat PHK Naik</p>

Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani usai Peluncuran Piagam Wajib Pajak (Taxpayers’ Charter), Jakarta, Selasa (22/7). ValidNewsID/Siti Nur Arifa

JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Kamdani menegaskan adanya pelonggaran ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) pada industri di dalam negeri, tidak berdampak langsung pada fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia, meski isu ini menjadi salah satu yang dibahas dalam negosiasi tarif resiprokal antara Indonesia dengan pemerintah Amerika Serikat (AS).

Adanya kebijakan pelonggaran TKDN ini menurut Shinta, justru berpotensi mendorong naiknya investasi di Indonesia.

“Saya rasa enggak ya, menurut saya itu tidak directly related (berdampak langsung) TKDN dengan PHK,” ungkap Shinta saat ditemui usai konferensi pers di Kantor APINDO, Jakarta, Selasa (29/7).

Menurutnya, melalui pelonggaran TKDN serta diiringi ekosistem investasi yang baik di dalam negeri, Shinta justru meyakini kebijakan tersebut mampu mendongkrak investasi asing makin marak masuk di Indonesia. Apalagi jika tarif resiprokal Indonesia mampu konsisten lebih baik dibandingkan negara kompetitor.

Baca Juga: APINDO Ungkap Segudang PR Pemerintah Untuk Tarik Investasi Asing

Shinta menilai, untuk saat ini yang harus diperhatikan oleh pemerintah adalah biaya berusaha di Indonesia yang harus diefisienkan agar lebih menarik investasi asing masuk.

Cost of doing business di Indonesia ini yang harus kita perhatikan. Karena ini belum kompetitif dan ini kemudian kalau bisa kita perbaiki, tentu bisa meningkatkan lebih besar dari segi produktivitas. Kalau bicara ini soal SDM dan lain-lain, maka investasi yang akan masuk jadi lebih besar,” terang Shinta.

Meski ada pelonggaran TKDN, Shinta menggarisbawahi, ini artinya tidak serta merta membebaskan impor masuk begitu saja. Menurutnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga telah memiliki aturan tersendiri untuk mengamankan industri dalam negeri. Walau memang tak dipungkiri, ke depannya akan ada sektor industri yang mampu berdaya saing, ataupun terpaksa tertinggal.

“Sudah disampaikan juga Kementerian Perindustrian tidak akan (membiarkan tak ada aturan). Itu pasti aturannya akan ada,” kata Shinta.

Adapun peluang investasi yang akan tumbuh ke depannya menurut perkiraan Shinta antara lain di sektor data center, hilirisasi, dan energi baru terbarukan (EBT) atau energi hijau.

Kembangkan Hulu
Walaupun hilirisasi berpeluang, ia turut menyoroti agar pemerintah tetap mendorong industri di hulu bisa terus berkembang dan mampu memenuhi seluruh kebutuhan industri di hilirnya. Jadi untuk bisa menghilirisasi produk, Indonesia tak perlu banyak mengimpor produk substitusi di hulu.

“Hilirisasi penting untuk penciptaan nilai tambah, tapi ini kaitannya lebih ke industrialisasi. Bagaimana cara kita bisa mengembangkan lebih banyak industri kita tidak hanya di hilir tapi di hulu juga. Karena kita mau mengurangi impor, jadi kita perlu substitusi impor,” ungkapnya.

Di sisi lain, ia justru menyatakan bahwa angka PHK berpotensi naik jika pada akhirnya tarif resiprokal yang diperoleh Indonesia kalah dibandingkan negara kompetitor lainnya. 

Apabila kondisi tersebut terjadi, akan banyak pengalihan pesanan produk unggulan ekspor Indonesia ke negara-negara kompetitor, misalnya industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang beralih ke Vietnam.

Hal tersebut tentu saja akan mendorong banyak perusahaan melakukan efisiensi dan berujung pada PHK.

Baca Juga: APINDO Sebut Tarif Trump Dan IEU CEPA Jadi Angin Segar Ekspor RI

“Kalau sekarang kita enggak punya tarif yang lebih kompetitor, akan ada pengalihan order itu kan jelas akan mengganggu nantinya tenaga kerja di Indonesia juga, nanti PHK akan semakin bertambah lagi,” jelas Shinta.

Sebelumnya, Shinta juga menyampaikan, untuk menarik investasi asing di Indonesia maka perbaikan yang perlu dilakukan pemerintah perlu menurunkan angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang diperkirakan di level 6,33. Posisi ini kata dia, masih tergolong tinggi sehingga Indonesia masih kurang kompetitif.

Kemudian, pemerintah juga diminta memperhatikan perubahan investasi yang masuk saat ini yakni dominan padat modal daripada padat karya. Artinya, meski investasi yang masuk tinggi, namun angka penyerapan kerjanya tak terlalu banyak.

“Sepuluh tahun yang lalu masuk Rp1 triliun investasi masih 4 ribu (menyerap tenaga kerja), sekarang sudah seribuan (tenaga kerja). Jadi ini semua ada kaitannya, makanya ICOR itu adalah kunci untuk Indonesia bisa kompetitif,” tandas Shinta.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar