c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

17 Mei 2024

08:00 WIB

AFTECH Ungkap Tantangan Fintech Kala Tren Penipuan Makin Canggih

AFTECH mengungkapkan terdapat beberapa tantangan di industri fintech dalam menghadapi berbagai tren penipuan pinjol yang saat ini semakin canggih.

Penulis: Fitriana Monica Sari

Editor: Fin Harini

<p id="isPasted">AFTECH Ungkap Tantangan Fintech Kala Tren Penipuan Makin Canggih</p>
<p id="isPasted">AFTECH Ungkap Tantangan Fintech Kala Tren Penipuan Makin Canggih</p>

Ilustrasi fintech P2P atau peer to peer. Shutterstock/Black Salmon

JAKARTA - Perkembangan teknologi yang pesat di era digital membawa peluang bagi masyarakat. Tapi di lain sisi, juga menimbulkan risiko terhadap keamanan dan privasi, khususnya dalam konteks penipuan di sektor keuangan.

Hal ini diamini oleh Ketua Departemen Cybersecurity & Perlindungan Data Pribadi Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) Handikin Setiawan. Menurutnya, terdapat beberapa tantangan di industri fintech dalam menghadapi berbagai tren penipuan pinjaman online (pinjol) yang saat ini semakin canggih.

"Tantangan semakin besar, semakin signifikan tentunya untuk memerangi beberapa tren yang terjadi," kata Handikin dalam webinar, Kamis (16/5).

Dia menyampaikan beberapa tantangan tersebut. Pertama adalah peningkatan kejahatan terkait cyber security, termasuk penipuan identitas. Saat ini yang sedang marak adalah penggunaan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) untuk menciptakan identitas buatan, video, gambar, dan suara yang semakin menyulitkan pengguna untuk tahu ini asli atau tipuan.

Bahkan, Asia-Pasifik dinobatkan menjadi salah satu kawasan dengan tingkat penipuan cukup tinggi.

"Ada suatu berita dari fintech news, Singapore News di Januari kemarin, Asia-Pasifik ini jadi suatu kawasan yang memiliki tingkat penipuan cukup tertinggi di antara semua wilayah, yaitu sekitar 3,3%," imbuhnya.

Peningkatan yang signifikan tersebut, kata Handikin, terutama terkait dengan penipuan keuangan online yang melonjak dari tahun 2022 ke 2023, yakni sebesar 24%.

Baca Juga: Pinjaman Online Untuk Bayar UKT Rentan Jadi Kredit Macet

Tantangan kedua, yaitu adopsi teknologi keuangan yang cepat menimbulkan celah keamanan semakin banyak. Pasalnya, para penipu memanfaatkan titik-titik rawan ketika ada peluncuran inovasi baru.

"Kita tahu sebisa mungkin kita meluncurkan suatu inovasi itu harus aman, tapi tidak ada yang sempurna. Ini yang selalu dimanfaatkan oleh para threat actor, terutama terkait dengan sistem pembayaran digital atau pinjaman online," jelas dia.

Dia pun menberikan contoh teknologi pembayaran seperti dompet digital ataupun aplikasi pembayaran yang contactless atau touchless, penipu dapat mencari kelemahan dari berbagai proses end to end. Mulai dari ketika verifikasi sampai keamanan datanya dan data yang disimpan.

Selain itu, para penipu juga mengenakan teknik serangan phising. Mereka menyasar human demi mendapatkan informasi atau identitas tertentu dari pengguna. Phising bisa melalui e-mail, sms, hingga telepon.

Penipu akan melancarkan aksinya dengan mengelabui pengguna agar dapat mendapatkan informasi pribadi ataupun yang penting untuk transaksi keuangan.

Di sisi pinjaman online, lanjutnya, platform ini juga dapat digunakan sebagai sasaran pemalsuan identitas, di mana threat actor atau penipu bisa menggunakan data pribadi yang dicuri untuk mengajukan pinjaman atas nama orang lain, tanpa sepengatahuan orang lain tersebut.

"Karena sekarang di fintech cepat, automated dalam proses pinjaman, nah deteksi kecurangan seperti ini bisa menjadi tantangan yang besar. Kalau misalnya sistem keamanan yang ada itu tidak cukup strong ataupun tidak di-update/diperbarui sesuai dengan perkembangan yang ada sekarang," terang Handikin.

Literasi Keuangan Rendah
Kemudian untuk tantangan yang terakhir atau ketiga adalah terkait literasi keuangan masyarakat, terutama literasi keuangan digital yang dinilai masih sangat rendah.

Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) OJK mencatat bahwa indeks literasi keuangan konsisten meningkat dari tahun 2013 ke 2022.

Pada tahun 2022 sendiri, indeks literasi keuangan hampir mencapai 50%, atau tepatnya sekitar 49,7%. Meski terbilang cukup tinggi, tapi jika dibandingkan dengan indeks inklusi keuangan yang sudah mencapai 85%, tentu hal ini masih terlihat 'jomplang'.

"Jadi orang-orang sudah memiliki akses untuk bisa mendapatkan service keuangan, tapi literasinya masih hanya setengah lebih. Sehingga, semakin banyak pengguna jasa keuangan yang belum paham dengan baik apa itu keamanan online, risiko penipuan, sehingga mereka bisa terjebak dengan berbagai modus yang sekarang juga semakin canggih," tegas dia.

Handikin juga mendesak agar regulasi yang digunakan juga harus terus berkembang. Dengan adanya pembaharuan dan penyesuaian regulasi yang sesuai dengan perkembangan industri, maka antara regulator dan pemain industri bisa memastikan perlindungan konsumen dan perlindungan data yang optimal.

Baca Juga: Data Bocor Di Tangan Pinjol

"Meskipun tantangannya sangat besar, kami di industri fintech, kita bekerja sama untuk berinovasi, mendukung inklusi keuangan finansial dan juga memperkuat ekosistem digital nasional," pungkasnya.

Sebelumnya, OJK bersama Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI) atau yang sebelumnya dikenal dengan nama Satgas Waspada Investasi mengumumkan bahwa sejak 1 Januari sampai dengan 30 April 2024, telah menghentikan 915 entitas keuangan ilegal.  

Dengan demikian, jika dikulik lebih jauh, sejak 2017 hingga April 2024, Satgas telah menghentikan 9.064 entitas keuangan ilegal. Entitas keuangan ilegal tersebut terdiri dari 1.237 investasi ilegal, 7.576 pinjol ilegal, serta 251 gadai ilegal.  

Seiring dengan hal itu, dari 1 Januari hingga 25 April 2024, OJK mencatat bahwa pengaduan entitas ilegal yang diterima pihaknya ada sebanyak 5.998 pengaduan.  

Pengaduan tersebut didominasi pengaduan dari pinjol ilegal yang sebanyak 5.698 pengaduan. Kemudian disusul pengaduan investasi ilegal sebanyak 300 pengaduan.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar