15 Mei 2025
20:29 WIB
AFTECH Ungkap Perkembangan Sekaligus Tantangan Transaksi Digital Di Indonesia
Di balik peningkatan transaksi digital, AFTECH mengungkap masih terdapat sejumlah tantangan berbentuk risiko yang membayangi baik konsumen maupun pelaku industri.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Fin Harini
Marketing Director, Communications & Community Development Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) Abynprima Rizki (kedua dari kiri) dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (15/5). ValidNewsID/ Siti Nur Arifah
JAKARTA - Marketing Director, Communications & Community Development Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) Abynprima Rizki menjelaskan, sektor transaksi digital di Indonesia saat ini memang mengalami perkembangan yang cukup cepat. Dari segi kinerja, pertumbuhan nilai transaksi yang diperoleh juga tercatat cukup meningkat.
Abyn menyorot laporan Bank Indonesia (BI) yang mengungkap pembayaran digital kuartal I/2025 mencapai Rp10,76 miliar transaksi, atau tumbuh 33,5% (yoy) didukung dengan peningkatan seluruh komponen. Selain itu, volume transaksi aplikasi mobile dan internet juga terus tumbuh, masing-masing sebesar 34,5% dari 18,8% (yoy).
"Yang juga menarik untuk dilihat adalah data pembayaran digital melalui QRIS, ini tumbuh sebesar 169,15% (yoy) didukung dengan peningkatan jumlah pengguna. Inovasi QRIS yang digagas oleh Indonesia untuk sistem pembayaran kita sangat sukses," imbuhnya di Jakarta, Kamis (15/5).
Baca Juga: BI: Volume Transaksi QRIS Maret 2025 Tumbuh Impresif 169,15%
Di saat bersamaan, dirinya juga membuka laporan OJK yang mencatat penggunaan layanan Buy Now Pay Later (BNPL) dari perusahaan pembiayaan di bulan Maret 2025 meningkat sebesar 39,3% (yoy).
Tak sampai di situ, Abyn juga menggarisbawahi perkembangan aset kripto yang tercatat di angka Rp32 triliun di bulan Maret 2025, dengan jumlah investor retail yang sudah mencapai lebih dari 19 juta.
Menurutnya, angka tersebut bahkan jauh lebih besar dari jumlah investor retail pasar saham yang saat ini masih berada di kisaran 7 juta.
"Kalau kami lihat data dari saham dalam negeri saja mungkin belum nyampe sebanyak itu. Jadi peringkatan transaksi kripto di Indonesia juga luar biasa," imbuhnya.
Risiko Keamanan
Di saat bersamaan, Abyn mengingatkan peningkatan-peningkatan yang terjadi tidak sepenuhnya mulus dalam hal perkembangan yang selama ini berjalan. Dirinya menyebut, ada berbagai tantangan yang dihadapi baik oleh para konsumen maupun para pelaku industri, utamanya risiko transaksi keuangan digital.
"Banyak scamming, phishing yang mau minta data pribadi kita secara mudah, ngaku-ngaku jadi teman kita, 'Ya saya ganti nomor, bla-bla-bla', selain minta transfer yang mungkin juga minta data pribadi. Hal-hal seperti itu menjadi salah satu tantangannya," ungkap Abyn.
Tak hanya mengatasnamakan perorangan, Abyn juga menyorot penipuan yang mengatasnamakan instansi layaknya bank demi mengambil celah keuntungan melalui penipuan.
Modus tersebut, biasanya berjalan dengan meminta calon korban mengakses situs perusahaan palsu yang dibuat sangat mirip dengan yang asli, atau persis impersonasi dari bank legal. Melalui situs tersebut, masyarakat diminta memasukkan data pribadi sehingga dengan mudah membuat pelaku berhasil mendapatkan data keuangan korban.
"Masyarakat perlu ingat bahwa data keuangan juga salah satu data yang sensitif, itu juga harus dijaga rahasianya," kata Abyn.
Baca Juga: Utang Paylater Capai Rp22,78 T, Ekonom Ingatkan Potensi Gagal Bayar
Tak berhenti sampai di situ, risiko juga dinilai semakin tinggi dengan adanya teknologi AI yang dapat mengedit wajah seseorang seolah-olah sedang berbicara, dan lain sebagainya.
Terkait hal tersebut, nyatanya banyak akses peminjaman online yang menggunakan fitur pengenalan wajah, sehingga apabila data pribadi tersebar maka data diri seseorang bisa saja digunakan untuk mendapatkan pinjaman oleh pihak tak bertanggung jawab.
Berkaca dari situasi yang ada, Abyn menyebut pentingnya meningkatkan baik literasi maupun inklusi terhadap sektor keuangan. Terbaru, OJK dan BPS mencatat indeks literasi keuangan mencapai 66,46% dan indeks inklusi keuangan mencapai 80,51% berdasarkan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025.
Meski demikian, Abyn menilai capaian tersebut masih perlu ditingkatkan untuk meminimalisir risiko transaksi digital di tanah air. Sebab inklusi keuangan yang lebih tinggi tidak diimbangi dengan literasi yang menunjukkan indeks lebih rendah.
"Indeks inklusi keuangan itu adalah akses keuangannya, bagaimana masyarakat dengan mudah mendapatkan produk dan layanan jasa keuangan, sedangkan literasi adalah pengetahuannya, pemahaman kita secara mendalam terkait produk keuangan itu masih rendah. Jadi mendalami sekaligus mempelajari transaksi keuangan dan menjaga identitas digital itu menjadi hal yang sangat penting," pungkasnya.