10 Juli 2025
16:44 WIB
Ada Tarif Resiprokal AS, CSIS Ingatkan Indonesia Waktunya Serobot Pasar Eropa
Ekonom CSIS mengingatkan agar Indonesia bisa segera manfaatkan peluang mendiversifikasi pasar dan investasi asing dengan negara kawasan Eropa, di tengah tarif resiprokal AS.
Penulis: Erlinda Puspita
Seorang pekerja membuat sepatu di salah satu pabrik sepatu Nike di Bitung, Banten. Antara Foto /Jefri Aries
JAKARTA - Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Riandy Laksono mengungkapkan negara-negara di kawasan Asean perlu meningkatkan perjanjian dagang dengan Uni Eropa (UE) dalam menghadapi tarif resiprokal dari Amerika Serikat (AS).
Perjanjian dagang tersebut, menurutnya, bukan hanya membuka pasar ekspor alternatif baik bagi Indonesia maupun negara Asean lainnya, tapi juga peluang mendiversifikasi investasi asing atau Foreign Direct Investment (FDI).
Ia menilai, selama ini Indonesia terlalu fokus mengekspor produk unggulannya ke AS, sehingga pengenaan tarif resiprokal 32% seolah menjadi momok yang menakutkan. Padahal, ekspor produk-produk unggulan yang menyasar ke AS juga diminati di pasar Eropa.
Kontribusi nilai ekspor Indonesia ke AS terhadap total ekspor nasional hanya sekitar 9%. Selisih tipis dengan kontribusi ekspor ke Eropa yang sebesar 7%.
Oleh karena itu, ia mengapresiasi inisiatif pemerintah saat ini yang segera merampungan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (Indonesia-EU CEPA).
"Jadi sebenarnya walaupun kita sangat tersandera dari kondisi saat ini, peluang untuk mendiversifikasi pasar masih terbuka lebar. Jadi memang ekspor kita saja yang terkonsentrasi ke Amerika Serikat, padahal untuk produk-produk utama, kita bisa alihkan ke Eropa. Nah makanya inisiatif untuk menyelesaikan perjanjian perdagangan dengan EU, ini sebuah prestasi," ujarnya dalam Media Briefing CSIS "Merespon Kebijakan Tarif Trump", Kamis (10/7).
Baca Juga: Indef: Hadapi Perang Dagang, RI Perlu Diversifikasi Pasar Ekspor Halal
Walau berpeluang mendiversifikasi pasar ekspor, Riandy mengingatkan agar Indonesia juga mendiversifikasi investasi asing yang masuk ke Indonesia. Kerja sama ekonomi dengan UE bisa didorong untuk meningkatkan investasi dari Benua Biru itu. Hal ini diyakini bisa meragamkan sumber bahan baku untuk industri dalam negeri, bahkan kawasan Asean.
"FDI kita juga sangat konsentrasi, jadi mau mendiversifikasi bahan baku juga sulit," kata Riandy.
Ia menyebut saat ini investasi di Asean terlalu berkonsentrasi dari China, Hongkong, dan Singapura. Menurut perhitungannya, mayoritas investasi bersumber dari China. Kondisi ini yang mempersulit Asean untuk mendiversifikasi sumber bahan baku.
Hasil riset CSIS mencatatkan, investasi asing atau FDI yang ada di Indonesia saat ini 75% berasal dari Singapura, China, Hongkong, Jepang, dan Malaysia.
"Diversifikasi pasar, yes ada peluang, tapi mendiversifikasi bahan baku lebih sulit. Karena sumber investasinya juga sangat konsentrasi, dari China, Hongkong, dan juga Singapura, yang mana duitnya mungkin juga dari China, ini cuma di reroute saja investasinya," tegas dia.
Peluang Industri Tekstil dan Alas Kaki di Tengah Tarif Resiprokal
Lebih lanjut, ia tak menampik dampak terberat dan terbesar yang dirasakan industri dalam negeri imbas tarif resiprokal 32% dari AS adalah sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) serta sektor alas kaki. Walau begitu, Riandy menegaskan agar sektor-sektor ini bisa memanfaatkan pasar di Eropa juga. Mengingat kawasan ini juga memiliki permintaan yang cukup besar pada sektor TPT dan alas kaki.
"Industri teksil memang tidak cukup mengenakkan dampaknya, karena industri ini sangat bergantung dengan pasar Amerika bahkan 60% hingga 70%. Tetapi saya menemukan sebuah optimisme, bahwa secara default permintaan terbesar untuk produk-produk tekstil kita, permintaan konsumen terbesar di dunia itu sebenarnya Eropa. Memang kita saja yang ekspornya kebanyakan ke Amerika," sambungnya.
Baca Juga: Airlangga: Diversifikasi Pasar Manfaatkan Forum Kerja Sama Internasional
Adapun komoditas yang selama ini terlalu fokus menyasar pasar AS seperti yang dimaksud Riandy adalah produk dengan kode HS 6110 seperti kaos, pullover, kardigan, rompi dan barang serupa yang dirajut atau dirajut. Data CSIS menyebutkan, produk tersebut diekspor ke AS dengan total nilai setahun mencapai US$979 juta atau berkontribusi 69,8% dari total ekspor komoditas ini. Sementara ke Uni Eropa baru sekitar 8,4%.
Kemudian komoditas dengan kode HS 6104 yang terdiri dari pakaian setelan wanita, jaket, blazer, gaun, rok, rok terpisah, celana panjang, overall, celana pendek, dan rajutan atau kaitan. Komoditas ini tercatat menyumbang nilai ekspor sebesar US$849 juta atau 74,6%. Kontribusi ini terlampau jauh dari EU yang tercatat hanya 10,1%.
Peluang ini tentu saja bukan bagi Indonesia, namun bagi banyak negara lainnya. Tapi, menurut Riandy, tak ada pilihan lain selain mencari pasar dan investor baru. Oleh karena itu ia mendorong agar Indonesia memanfaatkan kesempatan ini sesegera mungkin.
"Jadi sebenarnya masih bisa dialihkan ke negara maju lain. Memang saya bilang tidak akan terlalu gampang, karena semua orang juga melihat ke situ, ke Uni Eropa. Tetapi saya rasa memang tidak ada pilihan lain selain ke Uni Eropa. Jadi game-nya adalah sekarang siapa cepat-cepat untuk kemudian deal dengan Eropa untuk FTA," tandas Riandy.