07 Oktober 2024
14:55 WIB
Ada Deflasi Lima Bulan, Apindo: Kondisi Ekonomi Kuartal IV Akan Tertekan
Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani menilai, kondisi perekonomian Indonesia pada kuartal keempat akan mengalami tekanan yang tidak biasa.
Penulis: Khairul Kahfi
Seorang anak sedang bermain wahana pemancingan di sebuah pasar malam di Ciracas, Jakarta Timur, Jumat (28/9). Validnews/Khairul Kahfi
JAKARTA - Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani menilai bahwa kondisi perekonomian Indonesia pada kuartal keempat akan mengalami tekanan yang tidak biasa. Hal ini ditandai dengan fenomena penurunan harga barang dan jasa atau deflasi selama lima bulan berturut-turut.
Situasi deflasi lima bulan terakhir ini, menurut Ajib, perlu dikaji lebih mendalam. Apakah terjadi karena adanya perbaikan rantai pasok atau karena kemampuan daya beli masyarakat yang menurun.
Di sisi lain, Menkeu Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa deflasi sekarang menjadi sinyal positif bagi perekonomian.
“Presiden cenderung berpendapat normatif, sedangkan Menteri Keuangan cenderung berpendapat yang debatable,” jelas Ajib dalam keterangan tertulis, Jakarta, Senin (7/10).
Ajib menjabarkan, fenomena deflasi perlu dikaji dua sudut pandang ekonomi, yaitu sisi demand (permintaan) dan sisi suplai (penawaran) sehingga bisa terlihat kesimpulan yang lebih komprehensif.
Dari sisi demand, indikator-indikator ekonomi menunjukkan, daya beli masyarakat sedang menurun. Pada Agustus 2024, LPEM UI merilis laporan bahwa lebih dari 8,5 juta penduduk Indonesia turun kelas sejak 2018.
“Bahkan, Ditjen Pajak juga merilis bahwa pajak kelas menengah terus mengalami penurunan, hanya sekitar 1% dari penerimaan pajak secara agregat,” ungkapnya.
Sementara dari sisi suplai, data perekonomian menunjukkan tekanan, terlihat dari data Purchase Managers' Index (PMI) yang menjadi gambaran kondisi bisnis di sektor produksi barang. Sejak April 2024 PMI terus mengalami penurunan, sementara sejak Juli 2024 sudah mengalami konstraksi, yaitu indikator PMI yang turun di bawah 50.
“Daya beli masyarakat yang menjadi faktor (sisi pertumbuhan) konsumsi ini menjadi penopang signifikan pertumbuhan ekonomi, sehingga pemerintah harus cepat memberikan insentif tepat sasaran agar daya beli kembali terjaga,” paparnya.
Menurutnya, paling tidak ada tiga hal utama yang perlu menjadi prioritas kebijakan pemerintah. Pertama, pemerintah harus memberikan kebijakan fiskal yang akomodatif, lantaran kuartal IV ini menjadi landasan perekonomian Indonesia memasuki 2025.
Meski begitu, dia mengingatkan, saat ini pemerintah mempunyai ruang fiskal yang begitu sempit untuk bisa menggunakan kebijakan fiskal sebagai pengatur perekonomian. Hal ini beralasan karena pemerintah membutuhkan dana yang besar untuk kebutuhan APBN.
Kondisi ini yang kemudian menimbulkan kebijakan kontraproduktif terhadap perekonomian dan daya beli. Dia mencontohkan narasi kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025.
“Kondisi ini tentunya perlu dipertimbangkan ulang oleh pemerintah, karena masih banyak opsi lain dalam menambal keuangan negara tanpa membebani masyarakat luas,” sebutnya.
Kedua, dari kebijakan moneter via Bank Indonesia sudah melakukan penyesuaian tingkat suku bunga acuan menjadi 6% per September 2024. Apindo dan dunia usaha pun berharap, BI lanjut menurunkan dan menyesuaikan BI-Rate sebesar 25 bps ke level 5,75%.
“Dengan tingkat suku bunga acuan dibawah 6%, potensi likuiditas akan lebih banyak mengalir ke sistem perekonomian indonesia, dan daya beli masyarakat akan mengalami kenaikan ketika kemudian perbankan juga mengikuti dengan menurunkan suku bunga kreditnya,” paparnya.
Ketiga, kebijakan investasi yang lebih berkualitas dan mampu menyerap tenaga kerja. Terlebih, hal ini sejalan dengan konsep ekonomi yang masuk dalam Program Asta Cita pemerintahan Prabowo, yaitu penyediaan lapangan pekerjaan.
“Penyediaan lapangan kerja yang masif menjadi prasayarat agar pertumbuhan ekonomi bisa eskalatif di masa selanjutnya. Pengangguran yang menyentuh angka 7 juta orang perlu diserap dengan kebijakan investasi yang padat karya,” tegasnya.
Momen Pilkada
Di samping itu, Ajib meyakini, penyelenggaraan Pilkada di kuartal IV bisa menjadi momentum positif untuk kembali mendongkrak daya beli secara umum. Terlebih, pesta demokrasi daerah ini dijalankan secara serentak untuk 38 provinsi, 416 Kabupaten dan 98 Kota di Indonesia.
“(Momen ini) bisa menjadi agregator belanja yang cukup signifikan. Alokasi dari APBN 2024 tidak kurang dari Rp30 triliun untuk pemilu,” ungkapnya.
Belum usai, potensi ekonomi juga muncul dari alokasi pasangan calon dan peserta Pilkada yang bisa saja lebih besar lagi. Nantinya, perputaran uang ini akan langsung mengalir di masyarakat dalam bentuk barang maupun uang.
“Kontribusi Pilkada serentak ini diharapkan memberikan kontribusi yang cukup signifikan, seperti halnya momentum lebaran terhadap pertumbuhan ekonomi di kuartal I/2024,” urainya.
Secara umum, pemerintah perlu memitigasi dengan baik kondisi perekonomian 2024 yang masih mengalami fluktuasi. Pada kuartal pertama, pertumbuhan ekonomi cukup agresif di angka 5,11%. Kemudian, di kuartal kedua mengalami penurunan menjadi 5,05%.
Adapun di kuartal ketiga, Ajib memproyeksi tidak akan lebih baik dari kuartal sebelumnya. Karena itu, Apindo berharap, momen Pilkada serentak bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional lebih agresif di kuartal keempat.
“Sehingga target asumsi dasar ekonomi makro dalam APBN 2024 yang mematok target pertumbuhan ekonomi 5,2% secara agregat bisa tercapai,” sebutnya.