05 Maret 2018
22:34 WIB
JAKARTA - Indonesia memang kaya. Bahkan ada ungkapan yang mengatakan Indonesia adalah pecahan surga di Bumi. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman bukanlah sekadar syair tanpa makna.
Betapa tidak, selain keindahan alam yang dianugerahkan Tuhan, segala macam sumber daya, baik yang di dalam perut Bumi maupun terhampar, begitu banyak tersedia. Sayangnya, lagi-lagi kita seperti tak kuasa ‘menguasai’ dengan baik, selain hanya menggali, memetik dan menjual apa yang ada tanpa mau berusaha mengolahnya menjadi sesuatu yang lebih berharga.
Tak usahlah kita berbicara soal komoditas tambang atau perkebunan yang sudah sekian lama banyak dinikmati asing. Untuk urusan kebutuhan tersier dan gaya hidup, Indonesia pun terlena dan tergantung dengan barang impor. Parfum salah satunya.
Begitu berlimpahnya bahan baku wewangian asli dalam negeri tak membuat industri parfum dan turunannya berjaya di negeri sendiri. Merek-merek dunia, seperti Chanel, Eternity, Bvlgari, Calvin Klien, Estee Lauder, Etienne Eigner, DKNY, Dolce & Gabbana hingga Ralph Lauren lebih tenar dan memasyarakat. Padahal tak jarang, bahan baku pembuat wewangian berkelas tersebut berasal dari Indonesia.
Ironis memang karena pada dasarnya potensi minyak atsiri yang menjadi modal utama pembuatan parfum-parfum dunia tersebut berlimpah di Nusantara. Bahkan salah satu minyak atsiri paling legendaris yang disebut sebagai Patchouli Oil (Pogostemon Cablin) atau dikenal sebagai minyak nilam di Indonesia tumbuh subur di negara ini.
Berdasarkan paparan peneliti kimia di Universitas Syahkuala Syaifullah Muhammad, minyak nilam merupakan bahan baku yang bisa membuat wangi parfum bertahan lama. Kepada Kepala Dewan Riset Nasional Bambang Setiadi ia mengungkapkan, tanpa minyak nilam, parfum-parfum dunia yang sebotolnya bisa mencapa harga jutaan rupiah hanya mampu bertahan sekitar 2 jam.
“Kalau diberi nilam, bisa tahan 24 jam, 2 hari, atau 7 hari,” ujarnya seperti dikutip Validnews dari laman akun Facebook Bambang Setiadi, Senin (5/3).
Walaupun memiliki guna yang demikian genting dalam dunia perparfuman, nyatanya belum banyak industri hilir di Indonesia yang mampu mengolah minyak nilam menjadi turunan parfum yang mendunia. Apalagi menurut Dirjen Industri Kecil dan Menengah Gati Wibawaningsih, rata-rata produksi minyak atsiri nasional lebih dipakai untuk keperluan industri komestik, semisal sabun dan lilin aroma.
“Ya, untuk (parfum), IKM kecil dan menengahnya sih cuma ada sedikit di Indonesia,” katanya kepada Validnews, Senin (5/3).
Dijelaskan Gati, rata-rata minyak atsiri—tidak terkecuali minyak nilam—lebih banyak ditujukan untuk keperluan ekspor. Salah satu alasannya karena para pelaku usaha Indonesia, khususnya IKM, belum mengerti betul pangsa pasar untuk minyak atsiri mereka. Pilihan ekspor ke negara-negara hub, seperti Singapura, menjadi lebih logis guna bisa mengeruk untung dengan cepat.

Untuk diketahui, berdasarkan data UN Comtrade, dalam periode 2013—2016, rata-rata ekspor minyak atsiri Indonesia berada di angka 11,07 ribu ton tiap tahunnya. Dengan ekspor terbesar di tahun 2016 sebanyak 30,77 ribu ton. Sementara itu, nilai ekspor tiga tahun sebelumnya hanya rata-rata 4,51 ribu ton.
Sebaliknya, rata-rata volume impor minyak atsiri ke Nusantara pada 2013—2016 berada di angka 7,81 ribu ton. Volume impor terbesar terjadi di tahun 2016 dengan angka 8,48 ribu ton.
Memprihatinkan memang, karena sejatinya, menurut mantan Ketua Dewan Atsiri Indonesia Meika Syahbana Rusli, Indonesia merupakan salah satu produsen terbesar minyak atsiri dunia. Dari sekitar 150 jenis minyak atsiri di seluruh Bumi, hampir sepertiganya atau sebanyak 46 jenisnya ada di Nusantara.
“Indonesia peringkat keenam atau tujuh produsen minyak atsiri dunia. Sekitar 40% jenis atsiri diproduksi di Indonesia,” imbuh akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut, beberapa waktu lalu, seperti dilansir Antara.
Dari segi volume memang Indonesia tampak tidak berkutik melawan gempuran impor minyak atsiri. Hanya saja, soal nilai neraca perdagangannya, Indonesia bisa sedikit berbangga. Pasalnya, nilai ekspor yang diperoleh dari minyak atsiri kerap lebih besar daripada nilai impor yang mesti digelontorkan. Ini membuktikan minyak atsiri Indoensia lebih bernilai dibandingkan minyak atsiri lainnya.
Pada tahun 2014 saja, nilai ekspor minyak atsiri telah mencapai US$156,30 juta. Nominal ini jauh lebih besar dibandingkan nilai impornya yang berada di angka US$122,40 juta meski secara volume, impor lebih besar. Angka tersebut terus meningkat tiap tahunnya hingga pada 2016 mencapai nominal US$166,38 juta. Sementara itu, pada tahun yang sama, nilai impor minyak atsiri hanya mencapai US$129,44 juta.
Di tahun 2017 sendiri, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor minyak atsiri Indonesia berada di angka US$160,39 juta. Angka tersebut merupakan timbal balik dari volume ekspor yang hanya sebanyak 4,90 ribu ton.

Minyak Unggulan
Kepada Validnews, Ketua Dewan Atsiri Indonesia Robby Gunawan mengungkapkan, ada tiga jenis minyak atsiri yang merupakan unggulan ekspor Indonesia. Ketiganya, yakni minyak cengkih, minyak nilam, dan minyak pala. Dari ketiganya, produksi minyak nilam pun tergolong besar, dapat mencapai 1,4 ribu ton tiap tahunnya.
“Minyak cengkih, minyak nilam, minyak pala, itu urutan satu, dua, dan tiga untuk ekspor,” ucapnya, Senin (5/3).
Dari ketiga unggulan ekspor tersebut, minyak nilamlah yang paling sulit berkata-kata di industri nasional. Diungkapkan Robby, hampir 80% dari produksi minyak nilam nasional diperuntukkan untuk ekspor.
Di dunia sendiri, tidak banyak negara yang bisa menghasilkan jenis minyak atsiri yang satu ini. Bahkan 80—90% minyak nilam dunia diketahui berasal dari Nusantara. Sisanya disuplai dari Filipina dan China.
Inilah yang kemudian dikritik oleh Kepala Dewan Riset Nasional Bambang Setiadi. Pasalnya, sibuk mengekspor nilam ke dunia, Indonesia seakan tidak bisa menangkap peluang guna bisa memproduksi parfum sendiri yang pastinya memiliki nilai jual lebih tinggi.
Untuk diketahui, berdasarkan data Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, dalam lima tahun terakhir rata-rata produksi nilam nasional berkisar di angka 2,02 ribu ton. Dari angka tersebut, 80%-nya dipilih untuk diekspor atau sebanyak 1,62 ribu ton. Jika dikalikan dengan harga minyak nilam saat ini yang mencapai Rp400 ribu per kilogramnya, devisa yang bisa dihasilkan dari nilam sebesar Rp648 miliar.
Mengutip penelitian berjudul “Minyak Atsiri Indonesia: Dari Alkemi hingga Industri” karya Dwiarso Rubiyanto yang merupakan staf pengajar di FMIPA UI, minyak nilam merupakan jenis minyak atsiri yang sudah terkenal ratusan tahun dalam dunia industri flavor and fragrance.

Nilai industri ini secara global sangatlah besar, mencapai US$18 miliar per tahun. Indonesia sendiri mengimpor berbagai produk dari industri ini mencapai US$300—400 juta tiap tahunnya. Berkali lipat lebih besar dibandingkan total nilai ekspor minyak atsiri.
Di sisi lain, sebenarnya sudah ada industri skala IKM yang mulai memproduksi parfum berbahan minyak nilam. Contohnya di Aceh. Namun sayangnya, produk tersebut masih kurang mendapat sambutan positif dari masyarakat.
Padahal dari sisi kualitas, wanginya jelas tak kalah dibandingkan berbagai merek parfum dunia. Hanya tertinggal dari sisi kemasannya yang kurang menjual. Inilah yang menurut Bambang mesti digenjot.
“Bayangkan kalau dari 260 juta penduduk, ada 1 juta saja yg menggunakan parfum Aceh. Itu tak ada tandingannya di dunia,” serunya.
Produk Turunan
Namun, menurut Robby Gunawan, fokus mengekpor minyak nilam bukan tanpa sebab. Pasalnya, jenis minyak atsiri yang satu ini tidak bisa membentuk produk turunan lain.
Satu-satunya jalan untuk memanfaatkannya adalah menjadikannya komposisi dalam parfum. Terbatasnya penggunaan minyak nilam ini semakin dipersulit dengan kian minimnya perusahaan yang bergerak dalam bidang perparfuman di Nusantara.
“Jadi, ya karena di Indonesia industri pewangi dan perisa ya ada juga, tapi perusahaan-perusahaan asing yang menguasai. Mereka yang memakai di sini. Atau, ya kita ekspor,” tuturnya.
Salah seorang penyuplai minyak nilam di Sulawesi Tenggara Wawan Trihadi mengungkapkan, memang saat ini lebih mudah menjual langsung minyak nilam ke perusahaan-perusahaan besar. Apalagi harganya cukup menggiurkan, mencapai Rp400 ribu per kilogramnya.
“Kami mengambil langsung dari petani. Kadang kami suling sendiri. Setelah jadi minyak, kami jual ke perusahaan-perusahaan yang ada di Sulawesi,” ucapnya kepada Validnews.

Sulawesi saat ini memang menjadi salah satu basis penghasil minyak nilam di Indonesia. Luasan lahan tanam nilam di provinsi ini sudah berada di angka 2.501 hektare pada tahun 2015. Namun pada awalnya, nilam merupakan komoditas yang dibudidayakan oleh Hindia-Belanda di Aceh pada kisaran akhir tahun 1800-an.
Hingga akhirnya Daerah Istimewa Aceh menjadi sentra produksi nilam nusantara. Diikuti penanamannya di kawasan Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Berdasarkan riset Bank Indonesia, lebih dari 80% minyak nilam Indonesia dihasilkan dari ketiga provinsi tersebut.
Hal tersebut pun dibenarkan oleh Manager Business Development Indesso Aroma Arianto Mulyadi. Menurutnya, tanaman nilam sudah mulai tenar di Bumi Pertiwi lebih dari 100 tahun lalu. Hingga saat ini, nilam Indonesia pun menjadi tumpuan dunia.
“Ada beberapa negara lain mencoba menanam, tetapi tetap Indonesia yang menjadi tumpuan. Hanya saja sentra produksi bergeser dari Sumatra sampai awal 2000-an dan ke Jawa sampai 2010-an, lalu saat ini ke Sulawesi,” papar Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi Dewan Atsiri Indonesia ini kepada Validnews, Senin (3/5).
Robby pun mengamininya. Dalam beberapa tahun terakhir, pergeseran wilayah tanam nilam memang kian nyata. Pemicunya karena luasan tanam nilam di “tanah” asalnya kian lama kian tergerus.
Lebih menggiurkannya pendapatan dari tanaman perkebunan lain menjadi penyebabnya. Tak bisa dimungkiri, petani di kawasan Sumatra banyak yang akhirnya lebih memilih menanam kelapa sawit yang nilai ekonomisnya lebih tinggi dibandingkan minyak nilam.
“Petani melihat income-nya per hektare per tahun bagaimana. Mana yang memberikan income per hektare per tahun lebih baik, dia akan beralih ke komoditas itu,” ucapnya.
Maksudnya lebih bersaing di sini karena tanaman nilam memerlukan waktu panen yang lebih lama dibandingkan minyak sawit. Produktivitasnya pun jauh lebih rendah.
Inilah yang pada akhirnya menjadi kendala di dalam dunia atsiri nasional. Sebab permintaan dunia tak pernah berkurang, namun produksi cukup mengkhawatirkan jika dilihat dari luas tanam yang bukannya bertambah, melainkan kian menyusut.
Pada akhirnya, yang dihadapi Indonesia bukan hanya hilangnya potensi pendapatan yang lebih besar karena tidak adanya industri yang mumpuni untuk mengolah minyak nilam. Di samping itu, ada ancaman kian tergerusnya lahan tanam komoditas wangi yang satu ini karena petani lebih tertarik mencari komoditas dengan pangsa pasar yang lebih mudah digaet. (Teodora Nirmala Fau, Fin Harini, Hani Setiawati)