23 Juni 2022
17:30 WIB
Penulis: Mohammad Widyar Rahman,
Editor: Rikando Somba
Layaknya banjir yang sudah dianggap menjadi akut karena selalu muncul setiap tahunnya, demikian pula dengan polusi udara. Malahan, polusi udara yang berdampak buruk bagi kesehatan sudah menjadi bagian dari keseharian di Jakarta.
Memang banyak faktor yang dapat memengaruhi kualitas udara suatu wilayah. Di samping faktor meteorologi, polusi udara utamanya tidak lepas dari mobilitas penduduk, terutama yang bersumber dari kendaraan bermotor.
Mobilitas ini tak hanya menyangkut mereka yang berdomisili di DKI Jakarta. Mobilitas penduduk komuter yang berasal dari daerah sekitar Jakarta juga tentu menambah kepadatan di jalanan setiap harinya.
Data Korlantas Polri per 21 Juni 2022 mencatat, jumlah total kendaraan bermotor mencapai 22,091 juta unit di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Dari total tersebut, jenis kendaraan bermotor terbanyak yaitu sepeda motor, dengan jumlah 17,62 juta unit. Kemudian, diikuti mobil pribadi sebanyak 3,6 juta unit.
Pesatnya pertumbuhan jumlah kendaraan yang tidak sejalan dengan luasnya jalan sering disebut sebagai biang kemacetan. Bagaimanapun, semakin lama waktu dan banyaknya titik kemacetan, semakin meningkat pula jumlah gas buang kendaraan.
Pertanyaannya kemudian, apakah mungkin penyebab polusi hanya kemacetan? Bagaimana jika ternyata mobilitas penduduk yang hilir mudik karena tidak efektif dan efisiennya pola ruang ibukota?
Sumber Polusi Udara
Berdasarkan data Air Quality Index (AQI), wilayah Jakarta, secara statistik kualitas udaranya buruk. Pada 2019, rata-rata tahunannya untuk parameter udara Partikulat (PM2.5), yakni partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2.5 mikron (mikrometer), nilainya sebesar 49,4 g/m³.
Seiring dengan kembali pulihnya aktivitas masyarakat, peningkatan konsentrasi PM2,5 kembali meningkat di beberapa titik pemantauan sejak 2021 hingga saat ini.
Sebagai perbandingan, pada saat awal pandemi tahun 2020, akibat adanya kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat, kualitas udara membaik. Menurut KLHK, tingkat penurunan konsentrasi PM2,5 di Jakarta mencapai 14,34% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Apabila dilihat dari mobilitas penduduk, data Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) (2020) menyebut pergerakan manusia di Jabodetabek pada 2015 baru tercatat 47,5 juta pergerakan/hari. Namun, pada tahun 2018 sudah meningkat drastis menjadi lebih kurang 88 juta pergerakan/hari.
Hal ini mengindikasikan mobilitas penduduk berperan sangat penting terhadap pola fluktuasi kualitas udara. Beragam penelitian telah membuktikan hal ini. Misalnya, Superczynski dan Christopher (2011) menemukan korelasi positif sedang hingga kuat antara tingkat PM2.5 dan daerah perkotaan, menegaskan bahwa ekspansi perkotaan merupakan faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan tingkat PM2.5.
Bahkan, meskipun kemajuan teknologi di bidang kendaraan modern telah memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan efisiensi, dalam hal ini pengurangan emisi, tetap saja kemacetan akibat mobilitas penduduk masih bisa terjadi setiap harinya di berbagai titik. Selama ada mobilitas, selama itu pula polusi udara masih tetap terjadi.
Tidak kalah pentingnya, sumber polusi dari non gas buang kendaraan juga dapat berkontribusi besar. Beberapa faktor ini berpengaruh, seperti ketergantungan kecepatan pada ban dan keausan rem, kecepatan rata-rata perjalanan kendaraan, fraksi keausan rem/ban yang dihasilkan sebagai partikel debu, abrasi jalan, beban kendaraan berat dan lain-lain.
Hasil penelitian menyebutkan, sebanyak 88% parameter PM10 yang bersumber dari non gas buang, mayoritas disebabkan oleh ban dan rem kendaraan, serta gesekan aspal. Emisi partikular non gas buang telah terbukti sangat terkait dengan massa kendaraan (Oroumiyeh & Zhu 2021).
Perencanaan vs Implementasi
Pada dasarnya pergerakan kendaraan bermotor dan jaringan penggunaan lahan saling memengaruhi satu sama lain melalui jumlah aksesibilitas dan aktivitas yang dilakukan masyarakat. Keduanya ditentukan oleh konfigurasi spasial (keruangan) dari lingkungan tempat tinggal atau pemukiman berada.
Semakin lama, kebutuhan interkoneksi antar penggunaan lahan mengharuskan untuk memperluas jaringan jalan melalui penambahan banyak node dan hub serta tautan dan koneksi yang dikembangkan dari waktu ke waktu.
Konsekuensinya, jaringan seperti itu mencakup lebih banyak wilayah dan melayani kelompok pengguna yang lebih besar. Dengan demikian, semakin kompleks jaringan tersebut, potensi mobilitas masyarakat semakin tinggi. Ini secara otomatis meningkatkan penggunaan energi dan gas buang kendaraan.
Perlu diakui bahwa tata ruang wilayah saat ini boleh jadi tidak sejalan apabila dibandingkan dengan awal dahulu ketika tahap perencanaannya. Selain itu, sebuah kenyataan yang mesti diterima adalah bahwa kehadiran sistem transportasi yang berlaku saat ini pun muncul setelah pola ruang wilayah yang telah ada. Akibatnya, transformasi ruang dan perubahan pemanfaatannya juga mengikuti jaringan jalannya.
Hingga kini, Jakarta sepertinya belum mampu merespons transformasi kota yang berkembang secara non-linier. Situasi ini mengindikasikan adanya “fuzziness” dalam implementasi sistem dan proses perencanaan tata ruang dalam menghadapi transformasi perkotaan yang telah berkembang sedemikian kompleksnya (Rahmawati, 2015).
Padahal, perencanaan tata ruang saat ini perlu mempertimbangkan ketidakpastian di masa depan. Hal yang juga perlu dipertimbangkan adalah keseimbangan kebutuhan arus lalu lintas yang efisien dan peningkatan kapasitas jaringan seiring dengan perkembangan wilayah perkotaan, agar tetap berfungsi memberikan aksesibilitas bagi masyarakat (de Koning et. al. 2020).
Jakarta sebagai ibukota negara tentunya menjadi role model dalam hal pembangunan perkotaan lain di Indonesia. Dengan kompleksnya tata ruang Jakarta yang menegaskan pameo “planning that does not work” , bisa jadi merupakan fenomena puncak gunung es terkait kurang baiknya perencanaan tata ruang di Indonesia.
Perhitungan-perhitungan pencemaran lingkungan dan parameter faktor-faktor penyebab, layak untuk dicermati secara komprehensif, lebih kompleks dari sekadar menyalahkan emisi gas buang dari satu faktor pencemar.
Referensi: