c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

OPINI

09 Desember 2024

17:00 WIB

Target Swasembada Dan Peliknya Fundamen Data

Swasembada pangan menjadi target pembangunan tiap pemerintahan. Sayangnya, pencapaian target selalu meleset. Kini, swasembada ditetapkan sebagai program utama pemerintah. Lalu, apa yang berbeda?

Editor: Rikando Somba

<p>Target Swasembada Dan Peliknya Fundamen Data</p>
<p>Target Swasembada Dan Peliknya Fundamen Data</p>

Ilustrasi petani mengecek bulir padi di persawahan. Antara Foto/Rivan Awal Lingga

PENGUASA dan warga dua kota, Chalcis dan Eretria di pulau Euboea, Yunani berperang mati-matian. Dalam naskah-naskah kuno, perang yang terjadi di periode Archaic antara 710 hingga 650 SM, disebabkan perebutan akses ke Dataran Lelantine yang subur. 

Bencana alam menyebabkan mereka kehilangan sumber pangan. Dua kota yang semua elemennya selama ini berlaku seperti saudara, terpaksa saling bunuh untuk menguasai wilayah subur yang diyakini bisa menjadi lumbung pangan. 

Sejarawan Yunani kuno, Thucydides menggambarkan Perang Lelantine sebagai perang yang luar biasa. Sekaligus, ini merupakan catatan tersendiri tentang adanya perang yang disebabkan pangan.  

Ya, begitulah gambaran pentingnya pangan. Kelaparan bisa menyebabkan perang. Sebaliknya, perang sudah tentu berdampak berkurangnya akses terhadap pangan. Ini yang menyebabkan terjadinya kelaparan akut di 59 negara.  

Organisasi Pangan Dunia atau FAO yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyebutkan, kondisi kelaparan akut itu dalam laporan Global Report on Food Crisis 2024. Pada tahun ini, ada lebih dari 282 juta orang di 59 negara mengalami tingkat kelaparan akut. 

Di 59 negara itu, 1 dari 5 warganya tidak memperoleh makan pada hari yang sama. Kesemuanya tidak punya kestabilan keamanan, politik, apalagi ekonomi. Mereka juga tak punya modal membangun. Lha, bagaimana membangun, wong bekerja saja susah karena kondisi lapar tak terpenuhi, bukan?

Kondisi ini tentu tak diinginkan pemerintahan dan warga negara manapun. Demikian pula Indonesia. Kestabilan juga menjadi kunci pertumbuhan ekonomi 8% yang dicanangkan pemerintah Prabowo-Gibran.  

Ketersediaan pangan menjadi kunci. Pastinya, swasembada menjadi sasaran kesempurnaan yang fundamental.

Sasaran Percepatan
Swasembada pangan sendiri sejatinya bukan hal baru. Pada dua periode Pemerintahan Jokowi, hal sama juga disasar. Namun, hasilnya meleset jauh.

Menoleh ke belakang, di bawah Presiden Soeharto, swasembada pernah terjadi. Pada 1969, Indonesia masih bergantung pada impor beras dengan produksi domestik yang hanya mencapai 12 juta ton. Namun, pada 1984 hal sebaliknya terjadi. 

Keberhasilan ini mendapatkan pengakuan internasional. Presiden Soeharto diundang oleh FAO untuk memaparkan capaian tersebut. Pamor Indonesia pun terlihat sangat  ‘gagah’ dengah menyerahkan bantuan beras kepada negara-negara Afrika yang mengalami kelaparan.

Sayangnya, keberhasilan tidak berlangsung lama. Dalam waktu kurang dari satu dekade, Indonesia kembali harus mengimpor beras. Setelahnya, swasembada hingga kini tak pernah lagi diraih dan menjadi sebatas cita-cita.

Swasembada pangan kerap disampaikan Presiden Prabowo Subianto di kampanye pilpres dan ditegaskan sebagai salah satu sasaran utama pemerintah. Saban hari kita dengar, lihat, dan baca pemberitaan dengan ‘swasembada pangan’ pada bagian judulnya. Pun, kini ada Menko Pangan yang menegaskan intentitas atensi itu.

Ambisi kian tegas dinyatakan Presiden Prabowo Subianto pada agenda pembukaan Sidang Tanwir dan Resepsi Milad ke-112 Muhammadiyah, di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada Rabu (4/12/2024). Prabowo yakin, Indonesia dapat mencapai swasembada pangan lebih cepat dari target yang telah ditentukan. Pada 2027, diyakini Indonesia sudah bisa swasembada pangan. 

Luar biasa!

Bisa ditebak, tak ada satu menteri pun yang menyatakan tak bisa mengejar percepatan target. Semua mengaku bisa. Banyak yang kemudian menyambut dengan mengajukan anggaran baru dengan nominal jauh lebih besar, disesuaikan dengan percepatan.

Kementerian Pertanian (Kementan) sebagai pelaku utama, membeber skenario untuk sasaran itu. Selain perluasan sawah melalui program yang tak baru, yakni cetak sawah, penggunaan teknologi maju, juga kini mengajak masyarakat khususnya generasi muda agar mau terlibat pada sektor pertanian dengan Program Brigade Pangan. Sawah yang kian susut diperluas dengan membuka lahan di Papua, Kalimantan, dan wilayah rawa gambut, 

Untuk Brigade ini, pemerintah menyiapkan dana buat kalangan muda yang mau jadi petani Rp10 juta per orang. Logikanya, ketimbang jadi buruh pabrik dan karyawan kantoran, menjadi petani dengan penghasilan demikian, tentu lebih menggiurkan. 

Namun, kalangan ekonom dan petani tak demikian, Salah satu pertimbangan, adalah masalah di sektor pertanian itu sendiri. 

Jumlah petani gurem yang tak berlahan di Pemerintahan Jokowi meningkat menjadi 16,8 juta jiwa.  Plus, saban tahun diperkirakan 150 ribu hektare sawah menyusut, terkonversi ke non-sawah meski banyak daerah punya peraturan yang melarang tegas konversi sawah. Irigasi, dan yang tak kalah pelik, perubahan iklim, jadi kondisi pembeda dengan masa Orde Baru.

Lalu, apa kini kita tidak bisa swasembada?  

Indonesia, dengan sumber daya alam yang melimpah, punya potensi besar untuk tidak hanya memenuhi kebutuhan pangan domestik, tetapi juga menjadi pemain utama di pasar ekspor pangan global. 

Keberhasilan swasembada pangan di berbagai negara menunjukkan pentingnya penerapan strategi yang terencana dan berkelanjutan. India dan China menjadi contoh nyata. Di Amerika Selatan, Brasil yang didukung oleh riset agrikultur intensif dan penerapan praktik pertanian yang berkelanjutan juga bisa jadi rujukan.

Kita yakin, Presiden Prabowo sangat paham potensi ini. Namun, yang juga harus tentu semua berbasis kesamaan data sebagai landasan kebijakan yang beragam. 

Keinginan pemerintah punya satu data pun tak juga terealisasi.  Selama ini, masing-masing pihak bisa hanya puas atas klaim upayanya sendiri. Penyelerasan, meski mahal, harus lah dilakukan. Dengan data yang sama, semua elemen terlibat bisa mengetahui kapan panen, kondisi konsumsi, hingga beragam faktor penting yang menjadi kendala, atau sebaliknya menjadi potensi pendukung. 

Sepuluh tahun ini, kita disuguhi keributan antarkementerian soal data pangan. Ada yang mengaku sudah mencapai swasembada beras, di sisi lain impor makin besar. 

Kenyataan paradoksal ini kerap jadi bahasan di media, dan tak berkesudahan.   

Dan, lebih jauh lagi, idealnya capaian swasembada harusnya diiringi peningkatan kesejahteraan petani dan keterjangkauan harga oleh rakyat. Lebih elok lagi, swasembada bisa disebut berhasil bila dapat terjadi selama presiden yang sama terus memimpin. Bukan hanya sekali atau sesekali. Kita semua tentu menginginkan swasembada jadi nyata, bukan lagi-lagi sebatas cita-cita.



KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar