29 Oktober 2024
15:15 WIB
Tantangan Dan Kerentanan Pekerja Freelance di Indonesia
Kehadiran pekerja freelance menjadi pilar utama dalam pekerjaan di bidang kreatif. Banyak yang tertarik, meski tantangan dan kerentanan mengadang.
Penulis: Besyandi Mufti
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi kegiatan freelancer bekerja di rumah. Shutterstock/dok y_Tee
Kehadiran pekerja freelance semakin populer di era digital ini, terutama dengan meningkatnya akses terhadap teknologi dan platform kerja daring. Pascapandemi jumlahnya naik di berbagai belahan dunia. Bahkan, banyak kalangan muda yang menjadikannya pilihan utama dengan dasar pemikiran akan perlunya kebebasan.
Menurut laporan Freelancers Union, pada tahun 2020, jumlah pekerja freelance di seluruh dunia terus meningkat, dengan lebih dari 35% tenaga kerja di Amerika Serikat memilih bekerja sebagai pekerja lepas waktu
Di Indonesia, tren ini juga semakin terlihat, terutama di kalangan generasi muda yang tertarik pada fleksibilitas waktu kerja, kesempatan untuk mengatur pekerjaan sendiri, serta potensi pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan pekerjaan konvensional. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang kini menjadi Kementerian Komunikasi Digital menunjukkan, Indonesia termasuk negara dengan pertumbuhan pekerja freelance yang cepat. Jumlahnya tercatat sebanyak 33,34 Juta orang di Agustus 2020, naik sebesar 4.42 juta dari tahun sebelumnya atau sebesar 26%.
Alasan lain yang mendorong minat ini adalah kebebasan memilih proyek sesuai minat dan kemampuan, memungkinkan para freelancer untuk mengembangkan keterampilan yang lebih beragam dan spesifik. Namun, di balik fleksibilitas dan kebebasan tersebut, pekerja freelance juga menghadapi tantangan seperti ketidakpastian pendapatan dan kurangnya jaminan sosial.
Dasar Hukum Dari Pekerja Freelance
Freelance atau dapat disebut sebagai pekerja harian lepas dalam terminologi ketenagakerjaan, sebagaimana dalam Pasal 1 Angka 17 Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2021, merupakan pekerja yang bekerja pada perusahaan untuk melakukan pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu maupun kontinuitas pekerjaan dengan menerima updah didasarkan atas kehadiran secara harian.

Jenis pekerjaan yang populer bagi para freelancer adalah pekerjaan yang bisa dikerjakan di mana saja tanpa harus ke kantor (Work From Home (WFH) atau Work From Anywhere (WFA)), seperti content creator, content writer, copywriter, designer graphic, dan lainnya. Hak-hak freelancer ini diatur lebih spesifik di Permenaker Nomor 5 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan Jaminan Hari Tua.
Status pekerja freelance ini masuk ke kategori pekerja dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pasca terbitnya UU Cipta Kerja. Status ini dikuatkan di Pasal 10 Ayat 1 PP 35/2021 mengenai PKWT yang dapat dilaksanakan terhadap pekerjaan tertentu lainnya yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap berupa pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta pembayaran upah Pekerja/Buruh berdasarkan kehadiran.
Dasar hukum pemenuhan hak jaminan sosial bagi pekerja harian lepas diatur dalam Pasal 11 Ayat 3 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021. Aturan ini menyatakan bahwa pengusaha wajib memenuhi hak-hak pekerja atau buruh, termasuk memberikan akses kepada program jaminan sosial. Artinya, meskipun pekerja harian lepas bekerja secara tidak tetap, mereka tetap berhak mendapatkan perlindungan sosial sebagai jaminan dalam pekerjaannya.
Jaminan Para Pekerja Freelance
Ketentuan lebih rinci mengenai jenis jaminan sosial, seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan lainnya, diatur dalam peraturan lain, termasuk Peraturan Kementerian Ketenagakerjaan. Aturan ini memberikan panduan tentang syarat dan tata cara pengusaha dalam memastikan pekerja harian lepas mendapatkan hak-hak jaminan sosial yang layak, sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Akan tetapi, menurut penelitian Amanda, isu kerentanan kerja freelancer ini hanya melihat dari dua dimensi kerentanan, yaitu ketidakamanan dan ketidakpastian. Sudut pandang ini juga bisa dilihat dari perspektif sosiologi yang berfokus dari teori kerja emosional yang dikembangkan Pierre Bourdieu.
Ketidakamanan tidak hanya berkaitan dengan kondisi fisik, tetapi juga dapat mencakup kerja emosional, seperti munculnya perasaan takut, cemas, ragu, malu, rendah diri, ambivalensi, frustrasi, putus asa, keterasingan, bahkan senang. Di sisi lain, ketidakpastian dalam pekerjaan sering kali berhubungan dengan ketidakamanan ini, terutama ketika menyangkut aspek finansial seperti gaji yang rendah, keterlambatan pembayaran upah, atau pemotongan gaji yang dilakukan secara sepihak oleh perusahaan.

Dengan kata lain, perasaan tidak aman bisa muncul dari tekanan emosional dan mental yang dialami dalam pekerjaan, sementara ketidakpastian terkait dengan kepastian upah dan stabilitas finansial yang juga memengaruhi kesejahteraan pekerja secara keseluruhan.
Pandemi Covid-19 semakin memperjelas kerentanan para pekerja. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) dalam laporan tahun 2021, terhadap 139 responden, ditemukan bahwa 61,35% dari mereka mengalami pembatalan pekerjaan atau proyek. Selain itu, sebanyak 32,8% responden menghadapi potensi kehilangan pendapatan antara lima hingga lima belas juta rupiah dalam periode Maret hingga Juli 2020.
Ironisnya, hanya sekitar 0,4% dari para pekerja tersebut yang berhasil mengakses bantuan dari pemerintah, menunjukkan bahwa dukungan bagi mereka sangat terbatas. Hal ini menimbulkan satu dimensi kerentanan lainnya, yaitu ketidakadilan kerja yang menjadi sebab utama. Ketiga temuan kerentanan ini (ketidakamanan, ketidakpastian, dan ketidakadilan) dalam kerja menjadi freelancer memberikan fakta bahwa kondisi lingkungan kerja kurang mendukung para freelancer.

Flexploitation dan Kerentanan Pekerja dalam Industri Kreatif
Berdasarkan kajian dari SINDIKASI tahun 2021, sistem kerja fleksibel yang sering diterapkan di industri kreatif ternyata menyimpan berbagai dimensi kerentanan bagi para pekerja. Fenomena ini dikenal dengan istilah flexploitation, yaitu kondisi di mana fleksibilitas kerja yang diharapkan justru berujung pada eksploitasi.
Dalam flexploitation, para pekerja dihadapkan pada situasi yang membahayakan kesehatan, ketidakpastian dalam perjanjian kerja, dan sering kali ada upaya pengaburan hubungan kerja yang semestinya diakui. Selain itu, sistem ini sering kali mengabaikan jaminan serta perlindungan sosial bagi pekerja. Wacana tentang fleksibilitas kerja, flexploitation, dan kerentanan ini sangat relevan bagi para pekerja di sektor industri kreatif, di mana batasan antara fleksibilitas dan eksploitasi kerap kali kabur.
Kurangnya jaminan, perlindungan sosial, dan keamanan kerja sebagai hasil dari flexploitation menjadi bentuk utama kerentanan yang dialami pekerja di industri kreatif.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan yang rentan dalam sektor ini dapat berdampak negatif, baik secara fisik maupun mental. Munculnya kebiasaan baru karena adanya tenggat waktu pekerjaan yang ketat sehingga menyebabkan jam kerja menjadi lebih panjang, dapat terjadi di malam hari juga di akhir pekan, kemudian hal ini dinormalisasikan. Meskipun industri ini sering dilihat sebagai sektor yang keren, non-hierarkis, dan egaliter, kenyataannya sektor ini justru ditandai oleh ketidakamanan kerja, upah rendah, serta jam kerja yang berlebihan. Bahkan, upah yang diterima pekerja sering kali tidak mencukupi untuk memenuhi standar hidup yang layak.
Bumerang UU Cipta Kerja
Adapun pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 dinilai banyak kalangan pekerja, membawa dampak negatif bagi pekerja, terutama dalam upaya memperjuangkan kondisi kerja yang layak.
Dari laporan Sindikasi, UU Cipta Kerja membuka peluang peralihan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) jika ada pelanggaran terkait jenis pekerjaan, berbeda dengan UU Ketenagakerjaan yang juga mengatur pelanggaran jangka waktu dan pembaruan kontrak. Selain itu, aturan jam kerja lembur berubah dari 3 jam per hari dan 14 jam per minggu menjadi 4 jam per hari dan 18 jam per minggu. Waktu istirahat panjang tidak lagi diatur secara khusus, tetapi diserahkan kepada perjanjian kerja.
Perubahan lain terkait upah juga signifikan. Meski UU Cipta Kerja masih mempertahankan upah minimum provinsi dan kabupaten atau kota, namun upah minimum sektoral dihapus.
Untuk usaha mikro dan kecil, upah ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja. Struktur dan skala upah wajib disusun oleh pengusaha, yang juga harus meninjau upah secara berkala dengan mempertimbangkan produktivitas dan kemampuan perusahaan. Perubahan ini, jika dianalisis lebih dalam, berpotensi merugikan pekerja, terutama di sektor media dan kreatif.
Kondisi yang diakibatkan oleh Undang-Undang Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 berpotensi memicu eksploitasi, khususnya di industri kreatif yang sedang berkembang pesat. Aturan yang seharusnya dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja justru berbalik menjadi hambatan bagi banyak pihak, termasuk pekerja dan perusahaan.
Bagi pekerja, perubahan yang berkaitan dengan status kontrak, waktu kerja, dan upah menciptakan rasa cemas dan ketidakpastian. Di sisi lain, perusahaan juga menghadapi kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan ketentuan baru yang dinilai memberatkan. Menilik kompleksitas masalah ini,5 sudah selayaknya pemerintah perlu mengevaluasi dan memperbaiki UU Cipta Kerja agar tidak terjadi tumpang tindih aturan, serta memastikan kepastian hukum dan perlindungan yang lebih baik bagi pekerja dan pelaku usaha.
Referensi
Ferguson JL. 2019. Creating a Freelance Career. London (UK): Routledge.
BP Lawyers: Counselors At Law. 2023. [web]: https://bplawyers.co.id/2023/11/17/hak-pekerja-harian-lepas-freelancer-pasca-berlakunya-uu-cipta-kerja/
Amanda A. 2021. Kerentanan Kerja Pada Pekerja Harian Lepas Di Industri Kreatif Indonesia. Journal Research of Management (JARMA). 5 (2): 186-204.
Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI). 2021. Kerja Layak: Survei tentang Kondisi Pekerja Media dan Industri Kreatif di Indonesia. Indonesia (ID): SINDIKASI.
Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI). 2021. Pekerja Industri Kreatif Indonesia: Flexploitation, Kerentanan, dan Sulitnya Berserikat. Indonesia (ID): SINDIKASI.
Freelancers Union. 2020. Freelancing in America: 2020. Freelancers Union.
Tempo. 2020. [web]: https://en.tempo.co/read/1403815/indonesia-sees-hike-in-number-of-freelancers-kominfo-a-growing-trend