c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

OPINI

13 November 2025

16:30 WIB

Tak Sebatas Melarang Impor Pakaian Bekas

Harus diingat pula, para konsumen pakaian bekas di Indonesia adalah kelompok masyarakat yang masih berusaha memenuhi kebutuhan dasarnya di bidang sandang.

Penulis: Nugroho Pratomo

Editor: Rikando Somba

<p>Tak Sebatas Melarang Impor Pakaian Bekas</p>
<p>Tak Sebatas Melarang Impor Pakaian Bekas</p>

Petugas Bea Cukai memeriksa barang bukti pakaian bekas impor ilegal di Tempat Penimbunan Pabean (TPP ) Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (28/3/2023). Antara Foto/Fakhri Hermansyah

Perdagangan pakaian bekas atau yang kini banyak dikenal sebagai thrifting, sebenarnya bukan hal yang baru atau bahkan hal yang khusus terjadi di Indonesia. Bagi sebagian kalangan, membeli dan menggunakan pakaian bekas, adalah salah satu bentuk “penghematan” dalam pemenuhan kebutuhan dasar sandangnya.  

Sementara itu, bagi sebagian kalangan lainnya, hal tersebut ternyata menjadi sebuah tren tersendiri bahkan item koleksi. Terlebih, pakaian-pakaian tertentu yang tidak lagi diproduksi. Oleh karena itu, ada istilah preloved untuk barang-barang bekas dengan 'kasta' berbeda itu.

Namun, keberadaan perdagangan pakaian bekas di sisi lain juga mengancam keberadaan industri TPT nasional, khususnya kelompok pakaian jadi. Hal tersebut terjadi karena harga pakaian bekas tentunya jauh lebih murah dibandingkan pakaian yang baru. Ancaman terhadap industri TPT inilah yang menjadi alasan bagi pemerintah melarang praktik perdagangan ini. 

Perdagangan Pakaian Bekas
Mencermati berdasarkan data UN Comtrade, lonjakan impor pakaian bekas (HS 630900) Indonesia terbesar terjadi pada tahun 2024. Volume impornya pada tahun itu mencapai 3,87 ribu ton, dengan nilai mencapai US$1,5 juta. Padahal, jika dibandingkan tahun 2023, impor pakaian bekas Indonesia hanya sebesar 12,8 ton dengan nilai sebesar US$29 ribu.  

Berdasarkan data UN Comtrade pula, volume impor terbesar pakaian bekas Indonesia tahun 2024 berasal dari negara-negara Asia lain, hingga mencapai 1149 ton dengan nilai mencapai US$246,47 ribu. 

Negara asal impor terbesar kedua adalah Hongkong, yang mencapai 670 ton atau senilai US$262 ribu. Sementara itu, secara volume, di urutan ketiga ada Singapura, dengan volume impor mencapai 618,5 ton senilai US$117 ribu.

Masih mengacu pada data UN Comtrade, apabila dilihat berdasarkan nilainya, maka nilai impor terbesar pakaian bekas Indonesia tahun 2024 adalah dari Inggris, yaitu senilai US$373,7 ribu. Urutan kedua adalah Hongkong dan ketiga adalah negara-negara Asia lain.       

Selain impor, Indonesia juga mencatatkan ekspor atas pakaian bekas. Selama periode 2015-2024, ekspor terbesar pakaian bekas Indonesia terjadi pada tahun 2016. Pada tahun itu, volume ekspor pakaian bekas Indonesia ke dunia mencapai 1190 ton, senilai US$2,19 juta.   

Pada tahun 2023, Indonesia masih tercatat melakukan ekspor pakaian bekas. Ekspor pakaian bekas Indonesia tahun 2023 terbesar adalah ke Australia dengan volume hanya sebesar 8 kg dengan nilai sebesar US$137 ribu. Negara tujuan terbesar kedua adalah ke AS dengan volume hanya sebesar 5,4 kg senilai US$36 ribu (UN Comtrade, 2025).    

Kemudian, pada tahun 2024, Indonesia tercatat melakukan ekspor pakaian bekas terbesar ke dunia dengan nilai mencapai US$4,5 juta. Ekspor terbesar ditujukan ke Jepang dengan nilai mencapai US$3,6 juta. Volume ekspornya mencapai 32,3 ton (UN Comtrade, 2025).      

Lebih lanjut, terkait ekspor impor perdagangan pakaian bekas ini, data UN Comtrade menunjukkan bahwa Pakistan merupakan negara importir terbesar pada tahun 2024. Volume impor pakaian bekas Pakistan dari dunia mencapai 1 juta ton, atau senilai US$477,9 juta. 

Negara kedua dengan volume impor terbesar adalah Kenya, yang volume impornya mencapai 230 ribu ton, senilai US$207 juta. Satu hal yang menarik adalah bahwa Malaysia merupakan negara importir pakaian bekas terbesar ketiga secara volume, yaitu mencapai 226 ribu ton, senilai US$123,3 juta.

Sementara itu, dari sisi ekspor, China merupakan negara eksportir terbesar pakaian bekas ke dunia tahun 2024, dengan volume ekspor mencapai 1,15 juta ton, senilai US$654 juta. Negara eksportir pakaian bekas terbesar lainnnya adalah Amerika Serikat, Jerman, dan Inggris. Volume ekspor pakaian bekas AS tahun 2024 sebesar 673 ribu ton, senilai  US$846,8 juta. Volume ekspor Jerman sebesar 437 ribu ton, dan Inggris sebanyak 428,9 ribu ton.

Ekspor pakaian bekas terbesar China tahun 2024 ditujukan ke Kenya dengan volume mencapai 199 ribu ton dengan nilai mencapai US$96,6 juta. Sementara itu, negara tujuan ekspor pakaian bekas terbesar AS di tahun tersebut ditujukan ke Guatemala dengan volume mencapao 116,11 ribu ton, atau senilai US$179 juta.

Ancaman Industri Tekstil
Dengan melihat perdagangan pakaian bekas di dunia tersebut, lantas bagaimanakah industri TPT nasional menghadapi hal tersebut? 

Pada tahun 2015, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian kembali menyusun kebijakan industri nasional 2015-2019. Dalam kebijakan tersebut, industri TPT kembali dimasukan ke dalam industri prioritas. 

Kebijakan tersebut menjadi rujukan teknis pelaksanaan UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian Pasal 12 dan PP No. 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-2035 Pasal 3. Dalam Rencana Induk Pembangunan Nasional 2015-2035, pembangunan industri tekstil terbagi menjadi 3 tahap yaitu periode 2015-2019, periode 2020-2024, dan 2025-2035 (Visi Teliti Saksama, 2025).

Secara keseluruhan, berbagai kebijakan tersebut ditujukan dalam rangka membangun industri TPT yang efisien dan kompetitif. Melalui peningkatan efisiensi produksi TPT tersebut, diharapkan produk-produk yang dihasilkan juga dapat bersaing di pasar domestik maupun di pasar Internasional. 

Kebijakan industri TPT Indonesia di masa depan pada dasarnya harus diarahkan kepada industri yang sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kebijakan pengembangan industri TPT yang sudah dimulai dengan revitalisasi mesin-mesin, adalah dasar kebijakan yang perlu terus dilakukan. 

Namun demikian, jika mengacu pada perkembangan industri pertekstilan dunia saat ini, tentunya hal tersebut tidaklah cukup. 

Industri tekstil di Indonesia, seperti berbagai sektor industri pengolahan lainnya, memiliki tantangan dan persoalan yang tidak jauh berbeda. Ekonomi biaya tinggi yang ditandai dengan masih adanya berbagai pungutan liar, penyediaan lahan untuk ekspansi bisnis, isu perburuhan, hingga isu pencemaran lingkungan, menjadi hambatan dan masalah umum yang harus diselesaikan.

Sebagaimana kita ketahui, secara umum industri TPT terbagi dalam tiga sektor industri yang terintegrasi secara vertikal, meliputi sektor industri hulu (upstream), sektor industri menengah (midstream), dan sektor industri hilir (downstream). 

Pada bagian hulu (upstream), industri yang berkembang adalah industri yang lebih bersifat padat modal serta berskala besar. Adapun industri yang dikembangkan di dalamnya, antara lain industri yang memproduksi serat/fiber alami atau sintetis (natural fiber dan man-made fiber atau synthetic) dan industri yang melakukan proses pemintalan (spinning) menjadi produk benang (unblended dan blended yarn).

Di bagian tengah (midstream) merupakan industri yang bersifat semi padat modal, didukung oleh teknologi madya dan modern yang berkembang terus. Industri tersebut melibatkan tenaga kerja yang lebih banyak dibandingkan industri hulu (upstream). 

Industri yang dikembangkan di dalamnya berkaitan dengan proses penganyaman (interlacing) benang menjadi kain mentah lembaran (grey fabric) melalui proses pertenunan (weaving) dan rajut (knitting) yang kemudian diolah lebih lanjut melalui proses pengolahan pencelupan (dyeing), penyempurnaan (finishing), dan pencapan (printing) menjadi kain jadi.

Sementara itu, di bagian hilir (downstream) industri yang dikembangkan adalah industri pakaian jadi (garment), yang bersifat padat karya. Terkait hal tersebut, keberadaan industri hilir menjadi sangat penting usaha penyerapan tenaga kerja. Dalam industri hilir, tenaga kerja sangat dibutuhkan dalam melakukan proses cutting, sewing, washing, dan finishing yang menghasilkan ready-made garment

Adanya struktur inilah yang sebenarnya menjadikan industri TPT menjadi salah satu sektor yang cukup strategis, terlebih bila dikaitkan dengan jumlah penyerapan tenaga kerja. 

Pada tahun 2021, berdasarkan data BPS, jumlah tenaga kerja yang terserap dalam industri tekstil mencapai 391 ribu orang. Sementara itu, dalam industri pakaian jadi, tenaga kerja yang terserap mencapai 749,2 ribu orang (Badan Pusat Statistik, 2023). Tahun 2022, jumlahnya meningkat menjadi 424,5 ribu orang yang bekerja pada industri tekstil dan 852,55 ribu orang di industri pakaian jadi. 

Dalam perkembangannya, pada tahun 2023, jumlah tenaga kerja, industri tekstil lebih mendominasi adalah skala usaha besar dan sedang, yakni 382.005 orang. Sementara itu, untuk industri mikro jumlah tenaga kerja mencapai 334.356 orang dan 55216 orang yang bekerja di sektor industri tekstil skala kecil. 

Pada industri pakaian jadi, jumlah tenaga kerja lebih didominasi oleh industri mikro. 

Jumlah tenaga kerja yang terserap dalam industri pakaian jadi skala mikro mencapai 871197 orang, sedangkan untuk skala besar dan sedang mencapai 854203 orang. Di sisi lain, untuk industri pakaian jadi skala kecil, jumlah tenaga kerja yang terserap sebanyak 388.636 orang (Khaira Ummah Junaedi Putri, 2025).  

Terkait adanya ancaman impor pakaian bekas terhadap industri TPT nasional, sebenarnya telah ada beberapa regulasi yang berupaya melindungi industri dalam negeri. 

Dari sisi hukum sebenarnya telah ada ancaman hukuman yang dapat dikenakan. Pelaku dapat dipidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 huruf g Undang-Undang nomor 17 Tahun 2006, yaitu dengan ancaman dipidana penjara dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah Terdakwa tetap ditahan. Selain itu juga membebankan kepada Terdakwa untuk membayar denda sebesar Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan (Kurniawan, 2025).

Selain itu, pelarangan atas perdagangan pakaian bekas tersebut juga diperkuat dengan Peraturan Menteri Perdagangan 51/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas. 

Beleid tersebut, diperkuat dengan Peraturan Menteri Perdagangan 40/2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18/2021 Tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Dalam aturan tersebut, pakaian bekas dan barang bekas lainnya termasuk dalam barang yang dilarang impor dengan pos tarif/ HS 6309.00.00, dan tertera di bagian IV jenis kantong bekas, karung bekas, serta pakaian bekas. 

Regulasi lain yang secara tidak langsung melindungi terhadap ancaman tersebut dapat dilihat dengan adanya beberapa kebijakan impor yang diberlakukan setelah tahun 2000-an bertujuan mengawasi jenis impor produk tekstil yang masuk. Misalnya, pada tahun 2002, pemerintah menetapkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.732 Tahun 2002. Kepmen ini bertujuan untuk memberikan izin impor hanya kepada importir terdaftar. Dengan kata lain, produk TPT hanya boleh diimpor oleh perusahaan yang mendapatkan pengakuan sebagai importir produsen (IP). 

Namun, kebijakan tersebut hingga 2025 masih tidak berjalan secara efektif. Praktik thrifting juga masih banyak terjadi di Indonesia. Bahkan, proses praktik tersebut juga menjamur, terjadi di dunia maya. 

Perdagangan pakaian bekas impor secara daring bahkan digunakan dalam jumlah besar (ball). Karenanya, diperlukan berbagai tindakan lebih tegas terhadap praktik-praktik tersebut.

Studi yang dilakukan oleh (Soga, Almoravid, & Abdussamad, 2024) menyebutkan bahwa kurangnya koordinasi antar instansi, rendahnya kesadaran masyarakat, dan adanya konflik norma yang menciptakan ketidakpastian hukum. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pengawasan yang lebih ketat, edukasi kepada masyarakat, dan insentif bagi UMKM tekstil agar mampu bersaing di pasar domestik. 

Selain itu, harmonisasi regulasi dan penerapan sanksi tegas terhadap pelanggaran menjadi kunci dalam memastikan keberhasilan kebijakan larangan impor pakaian bekas. Dengan langkah-langkah tersebut, berbagai kebijakan diharapkan dapat mendukung pertumbuhan industri lokal, melindungi konsumen, dan menciptakan ekosistem perdagangan yang berkelanjutan. 

Kembali pada fenomena thrifting, hal yang harus dipahami bagaimanapun juga para konsumen pakaian bekas di Indonesia adalah kelompok masyarakat yang masih berusaha memenuhi kebutuhan dasarnya di bidang sandang. Pemenuhan tersebut bagaimanapun juga harus dapat dipenuhi oleh pemerintah. 

Sejatinya, tugas pemerintah bagaimanapun juga adalah menjamin pemenuhkan kebutuhan dasar masyarakat. 

Namun, apabila masyarakat masih harus terpaksa memenuhinya dengan cara membeli pakaian bekas, maka diakui atau tidak, hal tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa proses pememenuhan kebutuhan dasar masyarakat belum seluruhnya tercapai. Karenanya, diperlukan upaya yang lebih dari sekedar melarang importasi pakaian bekas. 

Harus diingat pula, adalah suatu kenyataan bahwa impor pakaian bekas sendiri adalah hal yang lumrah meski itu terjadi di negara-negara maju semisal Amerika Serikat dan Inggris sekalipun.   

 

Referensi:

  1. Badan Pusat Statistik. (2023, Oktober 2). https://www.bps.go.id/id/statistics-table. Retrieved November 2025, from https://www.bps.go.id: https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/NzMwIzI=/jumlah-tenaga-kerja-industri-besar-dan-sedang-menurut-sub-sektor-kbli-2009-.html
  2. Khaira Ummah Junaedi Putri. (2025, Mei 29). https://id.techinasia.com/data. Retrieved November 2025, from https://id.techinasia.com: https://id.techinasia.com/data-industri-tekstil-indonesia-panduan-lengkap#Gambaran-umum-industri-tekstil-Indonesia
  3. Kurniawan, G. (2025). Tinjauan Hukum Pidana Pelaku Thrifting di Indonesia. Ilmu Hukum. Magelang: Universitas Muhammadiyah Magelang.
  4. Soga, I., Almoravid, W., & Abdussamad, Z. (2024, November). Dampak dan Tantangan Hukum Impor Pakaian Bekas Di Indonesia. Sinergi, 1(11), 1027-1039.
  5. UN Comtrade. (2025). https://comtradeplus.un.org/TradeFlow. Retrieved November 2025, from https://comtradeplus.un.org/: https://comtradeplus.un.org/TradeFlow?Frequency=A&Flows=X&CommodityCodes=TOTAL&Partners=0&Reporters=360&period=2024&AggregateBy=none&BreakdownMode=plus
  6. Visi Teliti Sakasama. (2025). Kajian Industri Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia. Jakarta: Visi Teliti Saksama.

KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar