c

Selamat

Rabu, 24 April 2024

OPINI

20 Oktober 2022

16:00 WIB

Tak Lagi Sekadar Menjual Bongkahan

Besarnya potensi penggunaan nikel sebagai salah satu lahan investasi sektor tambang membuat Indonesia sebagai produsen utama sangat beruntung. Hilirisasi, karenanya sangat diperlukan.

Penulis: Nugroho Pratomo

Editor: Rikando Somba

Tak Lagi Sekadar Menjual Bongkahan
Tak Lagi Sekadar Menjual Bongkahan
Ilustrasi pkerja mengeluarkan biji nikel dari tanur dalam proses furnace di sebuah smelter. ANTARA FOTO/Basri Marzuki

Pengembangan dan perluasan penggunaan tenaga listrik, khususnya untuk sektor transportasi tampaknya semakin terbuka lebar. Hal ini terjadi karena pemerintah Indonesia mulai mengeluarkan kebijakan untuk menggunakan mobil listrik untuk kebutuhan mobil-mobil dinas. 

Terkait pengembangan dan perluasan penggunaan mobil listrik tersebut, maka salah satu komponen utama di dalamnya adalah soal baterai. Karena, energi utama penggerak kendaraan itu memang berasal darinya.

Mencermati kebutuhan tersebut, maka sudah dapat dipastikan bahwa industri baterai akan menjadi industri yang menjanjikan di masa mendatang. Potensi meningkatnya permintaan akan baterai baik di dalam negeri dan juga ekspor, adalah penarik utama pada investor di sektor ini. 

Besarnya potensi investasi di sektor ini, tentu harus didukung oleh pasokan bahan baku utama yang cukup besar. Salah satu bahan baku utamanya adalah nikel.

Cadangan dan Produksi
Mencermati besarnya potensi penggunaan nikel sebagai salah satu lahan investasi sektor tambang, maka Indonesia dapat dikatakan sangat beruntung. Berdasarkan data USGS, Indonesia hingga tahun 2020 masih tercatat sebagai negara dengan cadangan logam nikel atau Ni terbesar di dunia. 

Total cadangan nikel dunia tercatat mencapai hampir 139,42 juta ton Ni. Sebanyak 72 juta ton atau 52%-nya berada di Indonesia, disusul oleh Australia sebesar 15% dari cadangan dunia. Kemudian, ada Brazil (8%) dan Rusia sebesar 5%. Sementara itu, yang masih dalam bentuk biji nikel, cadangan yang dimiliki Indonesia mencapai 4,5 miliar ton (Kementerian ESDM, 2020).

Secara umum, biji nikel terbagi menjadi 2 jenis, yaitu nikel sulfida dan nikel oksida. Nikel oksida ini juga sering dikenal dengan nama laterit. Nikel jenis sulfida biasanya banyak terdapat di daerah-daerah subtropis, sedangkan jenis oksida atau laterit, banyak terdapat di daerah tropis (Zaidan & Garinas, 2021).

Total sumber daya nikel yang dimiliki Indonesia hingga tahun 2020 mencapai 143 juta ton, sedangkan cadangan logam nikel sebesar 49 juta ton. Jumlah tersebut tersebar di beberapa daerah, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Selatan, Papua, dan Papua Barat. Tingkat produksi biji nikel Indonesia mencapai 0,76 juta ton-Ni, sedangkan tingkat serapan sekitar 0,70 juta ton-Ni (Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, 2021). 

Hingga Juni 2021, terdapat 27 pabrik pengolahan dan pemurnian nikel yang telah beroperasi di Indonesia. Pada umumnya, menggunakan teknologi pirometalurgi. Sementara itu, teknologi hidrometalurgi dalam pengolahan nikel baru digunakan oleh ada 2 pabrik. 

Industri hilir nikel yang telah terbangun adalah industri baja tahan karat dengan realisasi produksi sebesar 2,62 juta ton seri-300 dan sebesar 60 ribu ton baja seri-200 (Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, 2021).

Indonesia sendiri menghasilkan beberapa produk olahan nikel. Berdasarkan data Kementerian ESDM, tahun 2019 Indonesia menghasilkan nikel matte sebanyak 72 ribu ton. Feronikel sebanyak 1,1 juta ton, dan nickel pig iron (NPI) sebanyak 781 ribu ton. 

Jumlah produksi tersebut dihasilkan dengan difasilitasi melalui 11 smelter yang telah beroperasi di Indonesia dan 12 perusahaan yang menjadi pemasoknya (Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2020).

Secara umum, feronikel (FeNi) adalah salah satu bentuk logam paduan antara besi dan nikel yang mana dihasilkan dari proses peleburan reduksi bijih nikel oksida atau silikat yang mengandung besi. 

Feronikel pada umumnya memiliki kandungan yang terdiri dari kandungan bisa hampir 80% besi, sedangkan kandungan nikel di dalamnya hanya antara 20-45% nikel. Feronikel biasanya dimanfaatkan sebagai pemandu dalam pembuatan baja.

Nikel matte pada dasarnya adalah senyawa nikel sulfida (ni3s2) dengan komposisi kimia 76-80% Ni, 0,8% Co, 70%> fe, dan 18-22% S; banyak digunakan sebagai senyawa garam nikel seperti nikel klorida, nikel fluoborat, nikel sulfat, dan nikel sulfamat. 

Dalam pengelompokan produknya, nikel matte merupakan produk antara yang diperoleh dari pengolahan bijih nikel. Produk jenis ini memiliki kadar nikel 78%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kandungan nikel dalam produk ini nilainya lebih tinggi ketimbang feronikel. 

Ekspor dan Daya Saing
Sebagai salah satu produk hasil tambang, nikel memang telah lama dikenal di Indonesia. Bahkan, kini Indonesia  juga merupakan negara eksportir terbesar produk nikel. 

UN Comtrade mencatatnya, bahwa  Indonesia merupakan negara dengan nilai ekspor terbesar untuk produk feronikel (HS 720260) pada 2021. Nilai ekspor feronikel Indonesia ke dunia mencapai US$ 7,1 miliar. 

Meski demikian, secara lebih khusus dalam perdagangan internasional, produk-produk nikel dan turunannya diklasifikasi dalam kelompok komoditas khusus yang memiliki kode HS 75. 

Berdasarkan data UN Comtrade, untuk komoditas produk-produk nikel dan turunannya (HS 75), Indonesia merupakan negara eksportir terbesar ke 8, dengan nilai ekspor hampir sebesar US$1,3 miliar di tahun 2021.  

Masih berdasar data yang sama, jika dilihat atas produk-produk turunan nikel tersebut, maka ekspor terbesar Indonesia ke pasar dunia adalah nickel matte (HS 750110). 

Selama 5 tahun terakhir (2017-2021), nilai ekspor nikel matte Indonesia ke dunia terbesar pada 2021, yaitu mencapai US$953,17 juta. Sementara itu, volume ekspornya mencapai 82,7 ribu ton. 

Jika dibandingkan dengan 2017, volume ekspor Indonesia mencapai 96,5 ribu ton, sedangkan nilainya hanya mencapai US$629,3 juta. Berdasarkan data ini, tampak bahwa terdapat kenaikan harga atas komoditas ini.

Baca: Microfactory Dan Geliat Aliansi Demi Elektrifikasi

Pada 2021, ekspor terbesar feronikel Indonesia ditujukan ke China. Nilai ekspor tersebut hampir mencapai US$6,3 miliar, sedangkan volumenya sebesar 3,15 juta ton. 

Nilai ekspor tersebut adalah 88% dari keseluruhan ekspor feronikel Indonesia ke dunia. Negara tujuan ekspor feronikel Indonesia lainnya adalah ke India yang nilainya sebesar US$504,4 juta atau hanya sebesar 7,1% dari keseluruhan ekspor feronikel.

Sementara itu, untuk ekspor nikel matte Indonesia seluruhnya ditujukan ke negara Jepang. Masih berdasarkan data UN Comtrade, selama periode 2015-2021, nilai ekspor nikel matte ke Jepang meski mengalami fluktuasi, namun rata-rata naik sebesar 4,7% per tahun. 

Kenaikan tertinggi selama periode tersebut terjadi pada 2021, yakni nilai ekspor naik 24,7% dibandingkan tahun 2020.

Dengan menjadi salah satu negara eksportir produk-produk yang mengandung nikel tersebut, maka yang penting pula untuk dilihat adalah kemampuan produk-produk tersebut di pasar dunia. 

Salah satu metodenya adalah dengan melihat besaran nial RCA (Revealed Comparative Advantage). Perhitungan RCA mensyaratkan bahwa sebuah komoditas atau produk dianggap memiliki daya saing di pasar dunia. 

Nilai yang dihasilkan sejumlah 1,0 atau lebih dan sebaliknya tidak memiliki daya saing jika nilainya kurang dari 1,0. 

Satu yang bisa dilihat dari RCA adalah hitungan pangsa nilai ekspor suatu produk terhadap total ekspor suatu negara dibandingkan dengan pangsa nilai produk tersebut dalam perdagangan dunia. 

Terkait hal tersebut, maka hasil perhitungan RCA yang dilakukan oleh Visi Teliti Saksama menunjukkan bahwa  hanya feronikel dan nikel matte yang secara konsisten selama periode 2015-2021 memiliki tingkat daya saing yang cukup baik di pasar dunia.

 


Sementara itu, untuk beberapa produk atau komoditas yang mengandung nikel lainnya, tampak memiliki fluktuasi daya saing. Namun demikian, dari perhitungan tersebut tampak bahwa terdapat produk yang memiliki peningkatan hingga memiliki daya saing, yaitu produk sinter oksida (HS750120) serta tabung dan pipa (HS750712).

Potensi Hilirisasi 
Kembali kepada pengembangan baterai terlebih untuk memenuhi kebutuhan kendaraan listrik di masa depan, maka harus dipahami terlebih dahulu proses produksi baterai. Dalam rangkaian produksi baterai, nikel matte merupakan bahan utama yang kemudian dilanjutkan dengan proses pemurnian nikel kelas I hingga menghasilkan kadar nikel 99%. 

Dari produk inilah kemudian diolah untuk menghasilkan katoda  dan bubuk briket. Katoda menjadi salah satu bagian penting dari baterai. 

Bahan-bahan tersebut juga menjadi bahan untuk memproduksi stainless steel,  paduan nikel, serta berbagai produk lain yang memerlukan campuran nikel. Terkait dengan stainless steel, harus dipahami bahwa feronikel dan NPI adalah bahan utama proses produksinya. 

Hal ini sesungguhnya menunjukkan bahwa dari besarnya nikel yang dimiliki oleh Indonesia terdapat potensi yang besar untuk terus mengembangkan industri hilir. Keberadaan industri hilir terutama yang menghasilkan produk-produk akhir, selama ini diharapkan memang akan membawa peningkatan nilai tambah. Baterai terlebih untuk keperluan kendaraan listrik adalah salah satunya. 

Hingga 2022, dikenal sejumlah pemain utama dalam industri ini. Beberapa produsen tersebut adalah Contemporary Amperex Technology (CATL) dan BYD dari China, Panasonic, LG dan SKOn. 

Sementara itu, di dalam negeri, pembentukan perusahaan baterai yang bernama PT industri Baterai Indonesia (IBI), pada dasarnya merupakan salah satu upaya untuk hilirisasi atas kekayaan nikel yang dimiliki oleh Indonesia.

Baca: Kehadiran Pabrik Baterai Diharap Tekan Harga Mobil Listrik 

Namun demikian, untuk mendukung hal tersebut tentunya diperlukan keterjaminan atas pasokan bahan baku. Keterjaminan ini tentu salah satunya adalah adanya kebijakan untuk membatasi. Bahkan, mungkin melarang sama sekali atas produk-produk nikel yang selama ini dijual atau diekspor dalam keadaan mentah atau setengah jadi. 

Meski pada satu sisi mungkin akan berpengaruh pada kinerja ekspor atau bahkan daya saing produk ekspor Indonesia,  perubahan dan perkembangan teknologi yang menjanjikan perubahan Indonesia menjadi negara industri harus pula menjadi pertimbangan utama. 

Dengan demikian, Indonesia tidak lagi sekadar menghasilkan dan mengekspor berbagai komoditas mentah seperti yang selama ini terjadi. Jika ini yang terjadi, apa yang dilakukan bahkan tidak berbeda dengan masa-masa kolonial yang menetapkan tanam paksa di masa lampau. 

Referensi

Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara. (2021). Grand Strategy Mineral dan Batubara Arah Pengembangan Hulu-Hilir Mineral Utama dan Batubara Menuju Indonesia Maju. Jakarta, DKI: Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM.

https://www.kamustambang.com/nickel-matte.html. (n.d.). Retrieved Oktober 2022

Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral. (2020). Peluang investasi Nikel Indonesia. Jakarta: Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral. Retrieved from https://www.esdm.go.id/assets/booklet/tambang-2020/Booklet-Nikel-FA.pdf

Zaidan, M., & Garinas, W. (2021, Juni). Kajian Bahan Baku Mineral Nikel untuk Baterai listrik di Daerah Sulawesi Tenggara. Jurnal Rekayasa Pertambangan, 1(1), 49-57.

 



KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar