c

Selamat

Kamis, 25 April 2024

OPINI

09 Agustus 2022

18:26 WIB

RSPO, Pelopor Kebun Sawit Berkelanjutan

Serfikasi RSPO meliputi seluruh kegiatan dalam rantai pasok minyak sawit dan produk-produk turunannya.

Penulis: Sakti Hutabarat,

Editor: Faisal Rachman

RSPO, Pelopor Kebun Sawit Berkelanjutan
RSPO, Pelopor Kebun Sawit Berkelanjutan
Petani mengumpulkan buah sawit hasil panen di perkebunan Mesuji Raya, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Senin (9/5/2022). ANTARA FOTO/Budi Candra Setya

Perkebunan kelapa sawit telah berkembang dengan pesat, sejak diusahakan secara komersial oleh perusahaan perkebunan milik negara pada tahun 1970-an. Pada 2022, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah mencapai 16,8 juta ha dengan produksi minyak sawit lebih dari 30 juta ton CPO.

Selanjutnya, produksi kelapa sawit meningkat tajam sejak tahun 2000-an, saat permintaan minyak sawit dunia melonjak tajam. Harga minyak sawit yang meningkat tajam pun berpengaruh terhadap permintaan dan harga TBS. Betapa tidak, dari semula sekitar Rp250-500 per kg, harga TBS terus meningkat hingga mencapai Rp 2000-3000 per kg pada tahun 2021. 

Prospek perkebunan kelapa sawit yang dinilai menguntungkan pun menjadi perhatian Pemerintah Indonesia. Khususnya, untuk meningkatkan kesempatan bekerja, peluang berusaha, peningkatan pendapatan pekebun dan masyarakat di sekitarnya, pertumbuhan ekonomi pedesaan, hingga meningkatkan devisa negara. 

Peningkatan harga TBS pun mendorong pelaku usaha perkebunan kelapa sawit untuk meningkatkan produksinya, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi. Ekspansi kebun kelapa sawit menjadi pilihan yang paling disukai, baik oleh perusahaan perkebunan maupun pekebun rakyat.

Bukan apa-apa, membuka kebun baru dianggap lebih mudah dibandingkan harus meningkatkan produktivitas kebun yang sudah ada. Efeknya, lahan-lahan mineral hampir seluruhnya sudah digunakan untuk perkebunan kelapa sawit. Dengan demikian, perluasan berikutnya diarahkan pada lahan gambut yang sebenarnya kurang produktif dan tidak cocok untuk tanaman kelapa sawit (Saharjo, B. H. et al., 2011). 

Sayangnya, pembukaan lahan baru yang tidak terkontrol ditambah dengan administrasi pertanahan yang kurang baik, mengakibatkan tidak sedikit kawasan hutan, kawasan lindung, kawasan gambut yang digarap untuk ditanami kelapa sawit. Alhasil, deforestasi yang sangat pesat menimbulkan berbagai dampak negatif yang menjadi sorotan publik internasional (Casson, A., 2000; McCarthy, J. F. et al., 2009).

Apalagi, pembukaan lahan perkebunan dan kawasan hutan dengan cara membakar yang tidak terkendali menyebabkan berbagai masalah sosial, ekonomi, lingkungan, dan kesehatan. Konflik sosial, tidak terhindarkan karena masalah pertanahan atau tata ruang yang tidak jelas (Colchester, M. et al., 2006; Marti, S., 2008). 

Di bidang ekonomi, sebagian masyarakat diuntungkan oleh adanya perkebunan kelapa sawit. Di sisi lain, ada juga masyarakat yang dirugikan akibat dampak eksternal kegiatan perkebunan kelapa sawit (Sayer, J. et al., 2012). 

Belum lagi, kondisi lingkungan terdegradasi akibat kegiatan perluasan perkebunan yang menghilangkan habitat berbagai satwa yang dilindungi (Fairhurst, T. et al., 2009). Kehilangan keragaman hayati menjadi perhatian serius oleh berbagai lembaga internasional (Edwards, F. A. et al., 2014). Pengaruh pembukaan lahan terhadap perubahan iklim, juga merupakan dampak negatif yang diklaim berbagai pihak (Carlson, K. M. et al., 2012; Koh, L. P. et al., 2008). 

Protes berbagai kalangan internasional terhadap dampak negatif perkebunan kelapa sawit, sebagian diklaim sebagai kampanye negatif oleh beberapa pihak. Namun, sebagian pihak lebih menyoroti kebijakan Pemerintah Indonesia yang seharusnya memperhatikan dan memperbaiki sistem produksi minyak sawit di Indonesia.

Pengawasan terhadap kegiatan produksi perkebunan kelapa sawit dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan, di rantai pasok minyak sawit sejak awal tahun 2000-an (ProForest, 2003; WWF-Malaysia, 2003). Berdirinya lembaga sertifikasi khusus untuk industri minyak sawit memperlihatkan betapa seriusnya dampak negatif yang harus dihindari dari kegiatan produksi minyak sawit. 

Lembaga sertifikasi untuk produk-produk yang diperdagangkan secara internasional sebenarnya bukan hanya untuk produk-produk minyak sawit saja, tetapi banyak produk-produk lain yang wajib memiliki sertifikat apabila diperdagangkan di pasar internasional, seperti tanaman coklat (Nelson, V. et al., 2013), kopi (Bacon, C. M. et al., 2008), teh (Nelson, V. et al., 2014), dan kapas (Ferrigno, S. et al., 2013). 

Berbagai lembaga dan forum telah dibentuk untuk mengurangi dampak negatif dari perkebunan kelapa sawit, seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), International Sustainable and Carbon Certificate (ISCC), UTZ Certified, Global GAP,  Rainforest Alliance (RA), Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), dan Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO).

Karenanya, usaha untuk memantau dan mengelola kegiatan rantai pasok minyak sawit secara berkelanjutan menjadi penting.  Hal pertama kali dilakukan sejak tahun 2004 dengan didirikannya lembaga sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) oleh lembaga swasta internasional, di antarnya AarhusKarlshamn (AAK), Migros, Malaysian Palm Oil Association (MPOA), Unilever, dan World Wildlife Fund (WWF) (Colchester, M. et al., 2005). 

Sertifikasi RSPO ditujukan untuk memastikan, produk-produk minyak sawit diproduksi dengan proses dan cara-cara yang berkelanjutan (Rumondang, T., 2017). Sertifikasi RSPO meliputi seluruh kegiatan dalam rantai pasok minyak sawit dan produk-produk turunannya. 

Sertifikat RSPO menjadi syarat untuk memasarkan minyak sawit di pasar internasional, terutama di kawasan Eropa. Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia menjadi tidak nyaman, karena harus tunduk pada aturan sertifikasi yang diterbitkan oleh RSPO.

 *) Penulis adalah Dosen Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Riau dan Anggota Tim Peneliti Kajian Strategi dan  Insentif ISPO

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan kebijakan institusi tempat penulis bekerja.

DAFTAR PUSTAKA

Bacon, C. M., Méndez, V. E., Gómez, M. E. F., Stuart, D., & Flores, S. R. D. (2008). Are sustainable coffee certifications enough to secure farmers livelihoods? The millenium development goals and Nicaragua's fair trade cooperatives. Globalizations, 5(2), 259-274. Retrieved from http://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/14747730802057688. doi: 10.1080/14747730802057688

Carlson, K. M., Curran, L. M., Ratnasari, D., Pittman, A. M., Soares-Filho, B. S., Asner, G. P., . . . Rodrigues, H. O. (2012). Committed carbon emissions, deforestation, and community land conversion from oil palm plantation expansion in West Kalimantan, Indonesia. In Committed carbon emissions, deforestation, and community land conversion from oil palm plantation expansion in West Kalimantan, Indonesia (Vol. 109, pp. 7559-7564): National Academy of Sciences.

Casson, A. (2000). The hesistant boom: Indonesia's oil palm sub-sector in an era of economic crisis and political change. Centre for International Forestry Research (CIFOR) Bogor, Indonesia. 

Colchester, M., & Lumuru, R. (2005). The Roundtable on Sustainable Palm Oil: Analysis, Prospects and Progress. Briefing Paper following Second Meeting of RSPO. Retrieved from: http://www.forestpeoples.org/documents/prv_sector/oil_palm/rspo_feb05_briefing_eng.shtml

Colchester, M., Norman, J., Andiko, Sirait, M., Firdaus, A. Y., Surambo, A., & Pane, H. (2006). Promised Land: Palm Oil and Land Acquisition in Indonesia - Implication for Local Communities and Indigeneous People. Forest People Program dan Sawit Watch Retrieved from: http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/publication/2010/08/promisedlandeng.pdf

Edwards, F. A., Edwards, D. P., Larsen, T. H., Hsu, W. W., Benedick, S., Chung, A., . . . Hamer, K. C. (2014). Does logging and forest conversion to oil palm agriculture alter functional diversity in a biodiversity hotspot? Anim. Conserv., 17(2), 163-173. doi: 10.1111/acv.12074

Fairhurst, T., & McLaughlin, D. (2009). Sustainable Oil Palm Development on Degraded Land in Kalimantan. World Wildlife Fund Washington, DC USA. Retrieved from: http://www.worldwildlife.org/what/globalmarkets/agriculture/WWFBinaryitem16231.pdf. Date Accessed: 22 September 2012.

Ferrigno, S., & Monday, P. (2013). The economic impact of sustainability standards in the cotton sector in Africa report. Study commissioned by GIZ (Deutsche Gesellschaft für International Zusammenarbeit), on behalf of

Koh, L. P., & Wilcove, D. S. (2008). Is oil palm agriculture really destroying tropical biodiversity? Conservation Letters, 1(2), 60-64. Retrieved from ://000207586900002

Marti, S. (2008). Losing ground: The human rights impacts of oil palm plantation expansion in Indonesia. Friends of the Earth, London, UK; LifeMosaic, Edinburgh, UK; and Sawit Watch, Bogor, Indonesia. 

McCarthy, J. F., & Cramb, R. A. (2009). Policy narratives, landholder engagement, and oil palm expansion on the Malaysian and Indonesian frontiers. Geographical Journal, 175, 112-123. Retrieved from ://000266173700003

Nelson, V., Martin, A., Stathers, T., Narayanan, L., Conroy, C., Saravanan, S., . . . Ojeda, A. (2014). Assessing the poverty impact of voluntary sustainability standards in global tea and cocoa supply chains: Key findings of a 4 year study. Natural Resources Institute (NRI), University of Greenwich Retrieved from: http://www.nri.org/images/Programmes/EquitableTrade/AssessingThePovertyImpactOfVoluntarySustainabilityStandardsInGlobalTeaAndCocoaSupplyCchains.pdf

Nelson, V., Opoku, K., Martin, A., J., B., & Posthumus, H. (2013). Assessing the poverty impact of sustainability standards: fairtrade in Ghanaian cocoa. NRI Kent, UK. 

ProForest. (2003). Defining Sustainability in Oil Palm Production: An Analysis of Existing Sustainable Agriculture and Oil Palm Initiatives. Paper presented at the The Roundtable on Sustainable Oil Palm. 

Rumondang, T. (2017). Transforming the market to make sustainable palm oil the norm. Paper presented at the RSPO General Lecture UNRI, Pekanbaru. 

Saharjo, B. H., Wasis, B., & Mulyana, D. (2011). Canal blocking of burnt peat swamp forest and it's future. Paper presented at the 5th International Wildland Fire Conference, South Africa. http://www.infopuntveiligheid.nl/Infopuntdocumenten/Dossier%20Natuurbranden/Wildfire%20Conference%20Zuid-Afrika%202011/62%20Bambang%20Hero%20Saharjo.pdf

Sayer, J., Ghazoul, J., Nelson, P., & Klintuni Boedhihartono, A. (2012). Oil palm expansion transforms tropical landscapes and livelihoods. Global Food Security, 1(2), 114-119. doi: 10.1016/j.gfs.2012.10.003

WWF-Malaysia. (2003). Forest Conversion Initiative. Foreign Exchange or a Sustainable Future for Malaysian Forests. WWF-Malaysia Retrieved from: http://www.wwf.org.my/about_wwf/what_we_do/forests_main/restore/project_forest_conversion_initiative/. Date Accessed: 20 September 2012.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar