09 Oktober 2025
18:00 WIB
Quo Vadis Agensi Pengetahuan Lokal Dalam Penerapan Nature-based Solutions (NbS)
Berdasarkan pengalaman Desa Sungai Sayang, Kecamatan Sadu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, interaksi antara Nature based Solutions (NbS) dan pengetahuan lokal menampilkan ambiguitas.
Penulis: Maharani Hapsari
Editor: Rikando Somba
Foto udara saat warga berjalan di tepi Pantai Sungai Sayang, Sadu, Tanjungjabung Timur, Jambi. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan.
Semakin mengemukanya Nature-based Solutions (NbS) sebagai bagian dari upaya global mengatasi krisis lingkungan serta mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, memunculkan berbagai tantangan bagi kolaborasi pengetahuan multipihak. Salah satunya adalah bagaimana mendayagunakan pengetahuan lokal ke berbagai level tata kelola.
Tulisan ini ingin menunjukkan berdasarkan pengalaman Desa Sungai Sayang, Kecamatan Sadu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, interaksi antara Nature based Solutions (NbS) dan pengetahuan lokal menampilkan ambiguitas. Di satu sisi, NbS sebagai klaim pengetahuan diperlukan dan digunakan untuk mendukung konservasi ekosistem lokal. Di sisi lain, keberadaannya berpotensi menggerus pengetahuan lokal, terutama ketika proses produksi pengetahuan tidak dikaitkan secara sistematis dengan mekanisme bekerjanya relasi sosial dan rasa kepemilikan masyarakat setempat terhadap sumber daya ekologis.
Pengetahuan di Balik NbS
Perangkat pengetahuan yang berkembang dalam payung NbS mengasumsikan bahwa gangguan keseimbangan sistem sosial ekologis bisa diatasi dengan mengembalikan prinsip-prinsip bekerjanya sistem tersebut kepada proses-proses yang sifatnya alamiah (Sowińska-Świerkosz dan Garcì, 2022; Fernandez dan Guiomar, 2018) Intervensi teknologi yang membutuhkan sumber daya finansial dan mobilisasi material dalam jumlah yang besar merupakan aspek yang sifatnya komplementer untuk merespons krisis ekologis.
Memberdayakan pengetahuan lokal disebut-sebut sebagai pilar bagi bekerjanya berbagai potensi kolaborasi di antara masyarakat terdampak krisis ekologis dan sumber-sumber pengetahuan yang melekat pada berbagai lembaga terkait. Meskipun kesadaran ini secara eksplisit kerap ditemukan dalam berbagai dokumen lembaga-lembaga pendana program-program NbS, satu hal yang kurang mendapat perhatian adalah bagaimana proses merekognisi problema ekologis datang dari keprihatinan lokal alih-alih sesuatu yang sifatnya eksternal.
Pengetahuan lokal diasumsikan memiliki peran yang esensial dalam kelola sumber daya ekologis. Namun demikian, keberadaannya sering dikesampingkan oleh intervensi pengetahuan yang datang secara top-down. Sejumlah tradisi budaya lokal di Indonesia seperti sistem Subak di Bali, Tradisi Lubuk Larangan (Gunawan, 2024), Tano Behuma (Abdullah, 2022) dan Beburu di Jambi (Kurniawan dkk, 2019), bisa dipahami sebagai wujud pengetahuan lokal yang dimaksud.
Tergerusnya Bakau, Tergerusnya Pengetahuan Lokal
Sejak lama ekosistem bakau menjadi bagian kehidupan masyarakat Desa Sungai Sayang. Bakau identik dengan kemanfaatan jalur transportasi sungai. Bakau melindungi masyarakat dari ancaman abrasi. Wilayah berbakau juga merupakan zona bagi masyarakat memanen beragam biota untuk keperluan pangan sehari-hari dan transaksi ekonomi di pasar lokal.
Bakau di sepanjang pesisir juga memberikan kemanfaatan ekologis yang menunjang penghidupan masyarakat setempat yang umumnya berprofesi sebagai nelayan. Hasil observasi lapangan mengindikasikan bahwa masyarakat Desa Sungai Sayang menerima ekosistem bakau sebagai sesuatu yang sudah ada tanpa lebih jauh mendokumentasikan dan melestarikan pengetahuan terkait bakau sebagai referensi bagi perkembangan sosial dan ekonomi.
Dalam perkembangannya, terjadi ekspansi perubahan tata guna lahan di kawasan pesisir yang didorong kepentingan agroindustri sawit dan rencana pembangunan pelabuhan internasional. Lahan bakau ditebang menyisakan hamparan lahan pantai yang kosong diiringi menghilangnya kemanfaatan ekologis bakau dan aktivitas sosial ekonomi yang menyertainya.
Di level produksi pengetahuan, hampir-hampir tidak ada praktik pelembagaan pengetahuan akan bakau yang cukup kuat untuk mempertahankan keberadaannya di lanskap pesisir lokal. Sementara itu, bakau menjadi semakin tidak signifikan ketika pola-pola mobilitas masyarakat yang semula mengandalkan jalur air beralih ke darat.
Pengetahuan akan bakau sejauh ini terkonsentrasi di kalangan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, lembaga donor, dan lembaga pemerintah dan kebanyakan dari lembaga ini tidak secara langsung hadir di Desa Sungai Sayang.
Hilangnya bakau oleh karenanya bisa dimaknai sebagai sebuah titik balik produksi pengetahuan yang meninggalkan kesenjangan besar untuk diisi kembali. Penebangan lahan bakau bukan hanya menghilangkan fitur-fitur biologis dari keanekaragaman hayati. Akan tetapi, ia juga menghilangkan pengetahuan lokal tentang bakau. Karena sifat bakau sebagai sumber daya dalam konteks Indonesia pada umumnya dikelola secara komunal dalam skala yang tidak masif dan bukan industrial, nilai ekonomi bakau pun oleh masyarakat setempat dan para pemangku kepentingan hanya dilihat sebelah mata.
Menemukan Agensi Pengetahuan Melalui NbS
Dalam kondisi ini, NbS datang sebagai sebuah bentuk intervensi pengetahuan yang mendorong masyarakat lokal memproduksi pengetahuan tentang bakau dan konservasinya seperti bagaimana diasumsikan berbagai konsep dan teorisasi NbS, yang umumnya asing terhadap pengetahuan dan kebiasaan lokal. Salah satu konsekuensinya, dalam rangka melakukan konservasi, perlu ada proses menanamkan pengetahuan yang bisa jadi tidak dikenal sebelumnya. Hal ini memunculkan kesenjangan pengetahuan, terlebih lagi bahwa kondisi saat ini tidak menyisakan basis pengetahuan yang memadai untuk bisa melakukan kolaborasi multipihak.
Apakah NbS bertumpu pada pengetahuan lokal atau justru menggantikannya? Potensi peminggiran pengetahuan lokal terjadi ketika NbS hadir sebagai pengetahuan yang benar-benar berbeda dengan apa yang selama ini dikenal oleh masyarakat setempat. NbS juga bisa menciptakan standarisasi yang kemudian menjadi patokan bagi pengetahuan lokal untuk bisa diterima secara luas.
Pengetahuan baru ini bisa jadi sangat berguna bagi konservasi. Namun demikian, keberadaannya yang tidak dikenali oleh masyarakat lokal. Pengetahuan semacam ini sering hadir sebagai kebenaran yang tidak dipertanyakan lagi dan penyerapannya dilakukan melalui proses pengaturan dan pendisiplinan. Jika ternyata jauh sebelum ada ekspansi sawit, di masyarakat lokal telah berkembang gagasan atau tradisi yang memperlakukan bakau sebagai basis konservasi, maka keseluruhan skema NbS menjadi kekuatan yang menyingkirkan atau setidaknya menggerus pengetahuan lokal yang semakin melemah pelembagaannya.
Dengan berbagai tantangan dalam proses produksi pengetahuan yang bisa diterima oleh masyarakat lokal, sangat penting bagi skema NbS untuk mengidentifikasi, menelusuri, dan menemukan kembali pengetahuan lokal tentang bakau.
Apa yang diperlukan NbS adalah membangun skema konservasi yang bertumpu pada lokalitas. NbS perlu dijadikan sebagai skema yang memantik, mendorong, dan memfasilitasi tumbuhnya inisiatif dan kreativitas yang kontekstual dan berbasis pada kebiasaan-kebiasaan setempat.
Sudah tentu, lokalitas atau kebiasaan setempat tidak bersifat terberi atau utuh. Di dalamnya selalu berlangsung dinamika untuk menentukan apa sesungguhnya lokalitas. Ketika NbS harus bertumpu pada pengetahuan lokal, hal ini perlu juga dipahami sebagai tekanan yang besar terhadap inklusivitas produksi pengetahuan. NbS harus membuka diri terhadap berbagai macam cara pandang yang secara historis, kultural maupun ekologis membentuk jati diri masyarakat setempat dengan berbagai karakteristiknya.
*) Penulis adalah Sekretaris Eksekutif, Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) Universitas Gadjah Mada
Tulisan ini merupakan tulisan terakhir dari tiga rangkaian tulisan mengenai upaya penerapan nature-based solution untuk mengatasi bencana ekologis yang terjadi di Desa Sungai Sayang, Kecamatan Sadu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi Sebagai luaran dari kegiatan penelitian nature-based solution yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Perdagangan Dunia – UGM dengan dukungan FINCAPES.
Referensi: