c

Selamat

Jumat, 7 November 2025

OPINI

24 Agustus 2024

15:30 WIB

Problematika Nelayan Kecil Di Negara Maritim Indonesia

Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan laut dan sumber daya ikan yang melimpah. Sudah seharusnya kelimpahan itu dapat menyejahterakan nelayan kecil dan tradisional.

Penulis: Dwiditya Pamungkas

Editor: Rikando Somba

<p id="isPasted">Problematika Nelayan Kecil Di Negara Maritim Indonesia</p>
<p id="isPasted">Problematika Nelayan Kecil Di Negara Maritim Indonesia</p>

Nelayan membawa ikan hasil tangkapan untuk dibawa ke tempat pelelangan ikan di Desa Teluk, Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten, Senin (19/8/2024). Antara Foto/Angga Budhiyanto

Negara Indonesia memiliki lautan seluas 3.257.357 km² dan daratan seluas 1.922.570 km². Luas tersebut membuat Indonesia terdiri dari sekitar 70% berupa lautan dan sekitar 30% lainnnya berupa daratan. Indonesia juga memiliki lebih dari 17.000 pulau, dengan garis pantai lebih dari 99.000 km. Kondisi tersebut membuat Indonesia layak dikatakan sebagai negara maritim.  

Dengan luas laut yang luas, tentu saja membawa berkah pada sektor perikanan laut. Merujuk pada potensi perikanan menjadi cukup besar, merujuk pada data Kementerian dan Kelautan Republik Indonesia (KKP RI), diketahui bahwa potensi sumber daya ikan Indonesia lebih dari 12 juta ton pertahun yang tersebar di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Sedangkan produksi perikanan tangkap Indonesia tahun 2023 hanya mencapai 7.248.410 ton.  

Mengacu pada World Bank, sektor perikanan di Indonesia bernilai sekitar 27 miliar dolar AS, selain itu, sektor ini memenuhi lebih dari 50% kebutuhan protein hewani di Indonesia

Dari sisi capaian ekspor, diketahui bahwa nilai ekspor produk perikanan Indonesia tahun 2023 belum mencapai target.  Realisasi nilai ekspor produk perikanan tahun 2023 hanya berada di angka US$5,6 miliar, sedangkan targetnya ialah sebesar US 6,7 miliar. Pada tahun 2022, nilai ekspor perikanan mencapai USD 6,2 miliar. 

Kondisi tersebut menunjukkan terjadinya penurunan capaian nilai ekspor perikanan Indonesia.  Dengan potensi yang melimpah, capaian ekspor perikanan Indonesia belum mencapai target dan di tengah masalah tersebut, Indonesia juga dihadapkan dengan masalah illegal fishing. Dari kegiatan illegal fishing yang dilakukan oleh negara lain di dalam wilayah perairan Indonesia menyebabkan kerugian ekonomi dengan perkiraan kerugian mencapai sekitar 3-4 miliar dolar AS per tahun.

Lalu, apa kabar nelayan kecil kita?

Kekayaan laut dan potensi sumber daya ikan yang besar sudah seharusnya dapat membawa kesejahteraan untuk nelayan kecil di Indonesia. Faktanya, Badan Pusat Statistik mencatat, pada tahun 2018, sekitar 48%  nelayan di Indonesia masih hidup dalam kemiskinan. Pada tahun 2019,  BPS menunjukkan bahwa 14,58 juta jiwa atau sekitar 90%  dari 16,2 juta nelayan belum berdaya secara ekonomi maupun politik, dan berada di bawah garis kemiskinan. 

NIlai Tukar Nelayan
Kemudian, pada tahun 2022, jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir Indonesia mencapai 17,74 juta jiwa. Sebanyak 3,9 juta jiwa di antaranya masuk kategori miskin ekstrem. Jika penduduk miskin di Indonesia pada 2022 berjumlah 26 juta jiwa, maka kemiskinan wilayah pesisir menyumbang 68% dari total angka kemiskinan di Indonesia. 

Perlu diketahui bahwa 96% kapal penangkap ikan di Indonesia berukuran di bawah 10 gross ton (10 GT). Namun hanya 20%  tangkapan ikan Indonesia berasal dari mereka. Sisanya berasal dari perusahaan perikanan berskala besar.

Untuk melihat tingkat kesejahteraan nelayan maka kita dapat merujuk pada Nilai Tukar Nelayan (NTN). NTN merupakan indikator kesejahteraan nelayan yang mengukur perbandingan antara indeks harga yang diterima dan dibayar nelayan. NTN sama dengan 100 (NTN=100) menandakan bahwa kenaikan harga produksi sama dengan kenaikan harga konsumsi sehingga nelayan mengalami impas.  

Diketahui bahwa Nilai Tukar Nelayan (NTN) selalu mengalami penurunan setiap tahunnya. Pada Juli 2022, NTN berada di angka 107,10, kemudian pada Juli 2023, NTN berada di angka 106,03. Sedangkan Juli 2024 NTN berada di angka 101,34. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan nelayan khususnya nelayan perikanan tangkap berskala kecil terus mengalami penurunan. 

Jika dibandingkan dengan Nilai Tukar Petani (NTP), diketahui bahwa Juli 2024, NTP berada di angka 118,73, angka tersebut meningkat dari bulan Juli 2023 dengan NTP sebesar 110,64. Secara singkat, dapat diketahui bahwa NTN jauh lebih rendah daripada NTP, selain itu, diketahui pula bahwa pada periode Juli 2023 hingga Juli 2024 NTN tidak mengalami peningkatan seperti NTP.

Dari segi tingkat pendidikan, diketahui bahwa rata-rata nelayan kecil hanya memiliki pendidikan setara dengan sekolah dasar, yaitu sekitar 6,98 tahun. 

Merujuk pada BPS RI, Badan Pusat sekitar 50-60% nelayan kecil di Indonesia hanya menamatkan pendidikan dasar. Di sisi lain, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyampaikan bahwa 80% nelayan di Indonesia hanya  berpendidikan SMP ke bawah.  Kondisi tersebut membuat nelayan memiliki tingkat membaca dan menulis yang rendah. Hal tersebut membuat nelayan menjadi sulit untuk mengakses berbagai informasi bantuan dan program dari pemerintah. Tak jarang pula nelayan memiliki kesulitan mengakses modal perbankan karena ketidakmampuan mereka dalam literasi terkait sistem keuangan perbankan.

Kebijakan dan Nelayan Kecil
Pengaturan terkait kategori nelayan kecil diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia. Perubahan setiap Undang-Undang terkait dengan nelayan kecil menuai pro dan kontra bagi kehidupan nelayan kecil. Pada Undang-undang RI Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan menyebutkan bahwa nelayan kecil ialah “orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari hari”.  

Kemudian, pengertian mengenai nelayan kecil diubah dalam Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang menyebutkan Nelayan Kecil sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima) gross ton (GT). Dengan kata lain, nelayan perikanan laut pinggir yang tidak menggunakan kapal menjadi terpinggirkan. Padahal, di berbagai wilayah pesisir di Indonesia, banyak nelayan kecil yang menangkap ikan tidak menggunakan kapal perikanan karena tidak memiliki kemampuan memiliki kapal.

Pengertian mengenai nelayan kecil kemudian berubah pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam. Pada UU tersebut menyebutkan bahwa nelayan kecil ialah “nelayan yang melakukan Penangkapan Ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak menggunakan kapal penangkap Ikan maupun yang menggunakan kapal penangkap Ikan berukuran paling besar 10 (sepuluh) gros ton (GT)”. 

Pada saat diberlakukannya kebijakan tersebut, banyak nelayan yang memiliki kapal di atas 5 GT menjadi nelayan kecil dan berbondong-bondong mengakses berbagai program nelayan kecil yang sebetulnya lebih tepat diberikan kepada nelayan kecil dengan kapasitas kapal di bawah 5 GT. Perlu diketahui bahwa ukuran gross ton (GT) kapal akan sangat mempengaruhi modal dan kapasitas seorang nelayan dalam mencari sumber daya ikan. Dengan semakin besar GT, maka semakin besar kemampuan dan modal yang dibutuhkan oleh seorang nelayan. 

Perbedaan ukuran antara yang di bawah 5 GT dengan yang di atas 5 GT menyebabkan kesenjangan yang semakin jauh di antara nelayan kecil. Kesenjangan tersebut berdampak pada kurang berjalannya dinamika kelompok di antara nelayan kecil.

Permasalahan tidak sampai di situ, berlakunya Undang-undang RI Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, mengubah pengertian Nelayan Kecil menjadi “orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan kapal penangkap Ikan maupun yang tidak menggunakan kapal penangkap Ikan”. Implikasinya ialah sudah tidak ada lagi batasan gross ton untuk menentukan sipa yang disebut sebagai nelayan kecil. Hal tersebut dapat dimanfaatkan oleh perusahaan perikanan besar untuk memanfaatkan peran nelayan kecil sebagai buruh untuk mengoperasikan kapal besar. 

Di samping itu, mereka dapat dimanfaatkan untuk melakukan penangkapan ikan secara bebas di seluruh wilayah perikanan di Indonesia. Kondisi tersebut membuat nelayan kecil menjadi lebih sulit untuk mandiri dan berkembang,

Dengan adanya Undang-undang RI Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, makanperbedaan penafsiran mengenai pengertian nelayan kecil, berbagai porgram-program yang memihak pada nelayan kecil akan mudah dimanipulasi serta dalam penerapan hukumnya dapat menguntungkan bagi perusahaan perikanan besar, akan timbul. Selain itu, dampak dari UU Cipta Kerja tersebut berpotensi mendegradasi posisi nelayan kecil sebagai produsen pangan menjadi buruh yang memproduksi pangan.

Akar Masalah Nelayan Kecil
Berbagai penelitian menyatakan bahwa terdapat beberapa masalah yang dihadapi oleh nelayan kecil di Indonesia, antara lain ialah

  1. Rendahnya pendidikan nelayan kecil menyebabkan kemampuan mereka dalam literasi terhadap kebijakan dan berbagai program  rendah. Padahal, banyak program-program yang dapat dimanfaatkan oleh nelayan kecil.
  2. Akses yang terbatas terhadap teknologi. Nelayan kecil cenderung menggunakan teknologi yang tradisional menyebabkan mereka kesulitan untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan. Padahal banyak teknologi perikanan seperti fish finder yang dapat mereka manfaatkan. Selain itu, penggunaan alat tangkap ilegal juga masih digunakan karena menjadi cara turun temurun yang mereka pelajari.
  3. Keterbatasan waktu untuk terlibat dalam berbagai program pemerintah lokal membuat nelayan tidak memiliki posisi dalam pembangunan. Nelayan kecil yang menghabiskan waktu mencari nafkah di laut cenderung terlupakan dalam kegiatan seperti musrenbang ditingkat desa.
  4. Banyak kebijakan yang diterapkan namun memberatkan nelayan kecil. Salah satu contoh kebijakan yang diterapkan ialah Penangkapan Ikan Terukur berbasis kuota dan zona yang masih belum banyak dipahami oleh nelayan. Dibalik kebijakan terdapat berbagai izin yang cukup rumit harus diurus oleh nelayan kecil.
  5. Keterbatasan akses terhadap modal dan kurangnya kemampuan untuk berinvestasi.

Di tengah kondisi nelayan kecil yang belum mencapai kesejahteraan, pemerintah mengeluarkan pendekatan pembangunan ekonomi biru sebagai acuan utama untuk membuat laut Indonesia berkelanjutan dan kemakmuran bagi rakyat yang sebesar-besarnya.


Peran Ekonomi Biru
Ekonomi biru adalah suatu pendekatan untuk meningkatkan pengelolaan kelautan yang berkelanjutan dan konservasi sumberdaya kelautan serta pesisir  untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi dengan prinsip-prinsip antara lain keterlibatan masyarakat, efisiensi sumberdaya, meminimalkan limbah, dan meningkatkan nilai tambah dari sektor kelautan. Terkait dengan hal tersebut, Indonesia telah bergegas untuk melakukan adaptasi demi mencapai pembangunan ekonomi biru. 

Dalam Pasal 14 ayat 1, Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan menyebutkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan kewenangannya melakukan pengelolaan kelautan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui pemanfaatan dan pengusahaan sumberdaya kelautan dengan menggunakan prinsip “Ekonomi Biru”.

Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, pilar ekonomi biru akan menjadi dasar kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Pilar ekonomi biru yang terdiri dari ekologi, ekonomi dan sosial ini melandasi lima  program utama. Bagaimana lima program tersebut dampaknya bagi nelayan kecil?

Program pertama adalah perluasan wilayah konservasi, di mana Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan dua target utama dalam pengelolaan kawasan konservasi yakni meningkatkan keanekaragaman hayati dan meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat. Namun, pengelolaan kawasan konservasi perairan belum banyak memenuhi indikator efektivitas pengelolaan. Ini terjadi karena orientasi dan target pengelolaan masih lebih berfokus pada perluasan wilayah dan penetapan administratif tanpa memperhatikan ekosistem dan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. 

Program kedua yakni penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota dan zona yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur menjadi awal dari  era baru keterbukaan dan persaingan bebas kegiatan penangkapan ikan di Indonesia oleh industri perikanan dalam negeri melalui Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA). Keleluasaan industri perikanan sejatinya akan mengancam keberadaan nelayan kecil sebagai produsen ikan skala kecil. 

Sedang, program ketiga ialah pengembangan perikanan budidaya berkelanjutan di laut, pesisir, dan tawar yang berorientasi ekspor nyatanya membutuhkan pendekatan teknologi yang tinggi. Dibutuhkan pendampingan yang berkelanjutan dan konsisten terhadap nelayan kecil untuk dapat berhasil dalam program ini. Selain itu, perlunya dinamika kelompok untuk mencapai keberlanjutan sangat dibutuhkan dalam program ini, padalah, masih banyak kelompok nelayan kecil yang belum mampu mengelola kelompok dan berakhir pada matinya kelompok usaha bersama nelayan. 

Kemudian, program keempat ialah pengendalian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan laut dari kegiatan ekonomi yang merusak. Selama ini, upaya untuk memanfaatkan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil seringkali menghadapi masalah konflik terkait pemanfaatan dan alokasi ruang yang saling tumpang tindih antara sektor-sektor dan pelaku yang berbeda. Undang-undang dan regulasi yang ada tampaknya belum berhasil mengharmonisasikan kepentingan masing-masing sektor, bahkan cenderung saling melemahkan. Akibatnya, banyak kasus pemanfaatan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil tidak dapat diselesaikan dengan baik, meskipun telah melalui proses mediasi hingga ke pengadilan tingkat akhir. 

Program kelima ialah penanganan sampah plastik di laut. Program ini diharapkan dapat mengurangi polusi di laut dan dapat menguntungkan bagi ekosistem laut yang nantinya akan memberikan keuntungan bagi nelayan kecil. Namun, selama ini upaya tersebut berupaya mengandalkan nelayan untuk melakukan pengangkutan sampah di laut, perlu adanya kerjasama lintas sektor untuk mengatasi permasalahan sampah plaslk dari hulu hingga hilir.

Pendekatan ekonomi biru Indonesia harus memfokuskan pada kesejahteraan nelayan kecil, masyarakat lokal, dan masyarakat adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Prinsip dasar dari ekonomi biru harus mengacu pada pemanfaatan sumber daya yang berlandaskan pada kearifan lokal. Ironisnya, kebijakan menyoal nelayan malah kian meminggirkan mereka.

 

Referensi:

Anas Tain. 2011.  Penyebab Kemiskinan Rumah Tangga Nelayan di Wilayah Tangkap Jawa Timur. Journal Humanity. Volume 7, Nomor 1, September 2011: 01 - 10
Dahlia, Anggoro S., Gunawan B. I., 2022 Factors affecting the small-scale fishermen welfare in Bontang, Indonesia. AACL Bioflux 15(2):893-899.
Kusnadi.2002. Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan Dan Persebutan Sumber Daya Perikanan. Yogyakarta: LKIS
Wibowo, Ari, Moh. Abdi Suhufan dan Bellicia A. 2023. Rambu-Rambu Kebijakan Ekonomi Biru di Indonesia. Jakarta: Transparency International Indonesia
https://wri-indonesia.org/id/wawasan/nelayan-kecil-masih-terpinggirkan-pengelolaan-laut-harus-diperbaiki-demi-mendukung-ekonomi
https://knti.or.id/outlook-knti-2023/
https://kkp.go.id/setjen/satudata/artikel/9669-kelautan-dan-perikanan-dalam-angka-2018-telah-terbit
https://kkp.go.id/news/news-detail/kkp-perbarui-data-estimasi-potensi-ikan-totalnya-1201-juta-ton-per-tahun65c1b1dfcd9b1.htmlhttps://www.worldbank.org/in/news/press-release/2021/03/25/sustainable-ocean-economy-key-for-indonesia-prosperity
https://www.reportingasean.net/illegal-fishing-costs-indonesia-3-billion-dollars-a-year/

 

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar