c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

OPINI

16 November 2023

18:00 WIB

Pentingnya Transformasi Social License DI Industri Ekstraktif

Social license perlu diintegrasikan dalam program CSR yang penerapannya dapat dimulai sejak tahap pra-operasional.

Penulis: Mohammad Widyar Rahman

Editor: Rikando Somba

Pentingnya Transformasi <i>Social License</i> DI Industri Ekstraktif
Pentingnya Transformasi <i>Social License</i> DI Industri Ekstraktif
Ilustrasi aktivitas tambang emas di Kalimantan Barat. Shutterstock/Masmikha

Industri pertambangan mineral dan batu bara (minerba) berperan penting dalam kemajuan Indonesia atas kontribusinya yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data yang bersumber dari Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) melalui Portal Data Ekstraktif (2023), sektor pertambangan mengalami pertumbuhan positif. Produksi komoditas pertambangan minerba mengalami peningkatan hampir pada seluruh komoditas.
 
 Berdasarkan data tahun 2022, produksi tiga komoditas tambang teratas adalah batu bara dengan jumlah produksi 685,52 juta ton, bijih tembaga dengan jumlah produksi 123,62 juta ton, dan bijih nikel dengan jumlah produksi 103,25 juta ton. Apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, batu bara meningkat 13,07%, bijih tembaga meningkat 33,34% dan nikel meningkat 49,33%.
 
Kemudian, pertumbuhan produksi seluruh komoditas minerba memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan nasional. Sebagai gambaran, tercatat pada tahun 2022, dari penerimaan negara bukan pajak sebesar 222,29 triliun rupiah dan penerimaan pajak sebesar 5,98 triliun rupiah. 

Kontribusi ini diyakini akan kian signifikan. Apalagi, di era transisi energi menuju Net Zero Emission (NZE) 2060, ke depan kebutuhan logam dalam penerapan energi terbarukan seperti baterai, panel surya, turbin angin dan komponen lainnya akan meningkat tidak hanya di dalam negeri, tapi juga di tingkat global. Tentunya, produksi mineral logam akan semakin meningkat, otomatis penerimaan negara juga akan meningkat di sektor pertambangan ini.

Dengan kata lain, meski kebutuhan batu bara yang saat ini mencapai sekitar 67% untuk kebutuhan energi, faktanya ke depan dengan adanya program phase out pembangkit listrik yang mengakibatkan penurunan permintaan batu bara, aktivitas intensif pertambangan justru bergeser ke pertambangan mineral logam.   Di sisi lain, tidak dapat dimungkiri bahwa kondisi empiris hadirnya perusahaan tambang di suatu wilayah menjadi fenomena bernuansa konflik berkaitan dengan pemanfaatan ruang antara perusahaan dengan masyarakat terutama interpretasi yang berbeda tentang “hak atas tanah”. 

Misalnya, menurut laporan KPA (2023), sepanjang tahun 2022 konflik terkait agraria di sektor pertambangan sebanyak 21 letusan konflik dengan luasan mencapai 213.048 hektar dan melibatkan 122.082 Kepala Keluarga. Letusan konflik di sektor ini didominasi oleh pertambangan batu bara dan nikel masing-masing sebanyak 7 (tujuh) letusan konflik.

Belum lagi, dalam tahap operasinya kegiatan pertambangan berpotensi mengubah bentang alam dan kualitas lingkungan. Ini menyebabkan dampak terhadap lingkungan, antara lain pencemaran, penurunan kualitas air, erosi, banjir, dan permasalahan lingkungan lainnya yang dapat berdampak langsung pada masyarakat lokal. 

Aspek dampak lingkungan tersebut tidak akan lepas dari dimensi sosial. Secara geografis wilayah operasional pertambangan yang biasanya berada di remote area akan selalu dihadapkan pada kondisi masyarakat yang secara sosial-ekonomi dan politik termarginalkah. 

Kendati demikian, aspek dampak penting dari suatu kegiatan pertambangan akan berbeda-beda sehingga isu dalam industri pertambangan secara umum tersebut belum tentu relevan secara spesifik dari Perusahaan pertambangan tertentu.  

Yang jelas, upaya pengelolaan dampak melalui tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan bagian yang inheren dari suatu kegiatan usaha. Dalam hal ini, perusahaan membutuhkan apa yang dikenal sebagai social license sebagai dukungan dari masyarakat tempat perusahaan tersebut melakukan kegiatan usahanya.




Lisensi Sosial
Social license menjadi faktor penting agar kegiatan pertambangan dapat beroperasi. Hasil survei Ernst & Young (EY) selama periode 2019-2023, social license selalu berada di urutan 3 besar sebagai faktor paling berisiko di sektor pertambangan setelah Environmental Social Governance (ESG) yang menempati urutan pertama dan faktor modal di urutan kedua.

Secara sederhana, Social License (SL) atau disebut juga Social License to Operate (SLO) sebagai izin sosial yang mengacu pada kewajiban perusahaan untuk mencapai penerimaan masyarakat atas aktivitas usaha pertambangan. SLO merupakan perjanjian tidak tertulis antara perusahaan dan masyarakat (atau pemangku kepentingan) yang memerlukan dukungan masyarakat agar perusahaan dapat beroperasi secara sah (Heffron et. al., 2021). 

Istilah ini pertama kali diciptakan oleh seorang eksekutif pertambangan bernama Jim Cooney (Cooney, 2017). Ia menggunakannya sebagai metafora untuk menekankan bahwa penerimaan sosial terhadap kegiatan pertambangan sama pentingnya dengan perizinan hukumnya.

Meskipun tidak eksklusif untuk sektor sumber daya alam, SLO memang paling sering dikaitkan dengan industri ekstraktif, yang mencakup semua sumber daya alam, dalam hal ini termasuk mineral dan batu bara. SLO merupakan tambahan dari izin atau lisensi lingkungan (AMDAL) yang diberikan kepada perusahaan.

Secara luas, SLO cenderung dianggap sebagai penerimaan atau persetujuan berkelanjutan atas suatu operasi oleh pemangku kepentingan masyarakat lokal yang terkena dampaknya dan pemangku kepentingan lainnya yang dapat mengakibatkan kerugian lain dalam pelaksanaan operasi industri, terutama faktor ekonomi yang diharapkan dari kehadiran industri/proyek (Dare et. al., 2014). 

SLO ini dapat menciptakan proses holistik dan inklusif bagi masyarakat dalam memahami dampak tambang dan memenuhi kaidah apa yang disebut the principle of social justice yang meliputi access to resources (akses sumber daya), equity (keadilan), diversity (keberagaman), participation (partisipasi), dan human right (hak asasi manusia). Hal ini dapat mencegah konflik di masa depan jika isu-isu seperti pembangunan infrastruktur dan limbah diklarifikasi sejak awal melalui proses komunikasi dan perbaikan yang berkelanjutan.

Menurut Mulyana (2021), SLO cenderung lebih fleksibel dibandingkan dokumen legal sebagaimana AMDAL. Bahkan, SLO dapat menutupi isu keterwakilan sebagai salah satu permasalahan klasik dalam proses AMDAL. Dalam hal ini, SLO dapat berperan strategis untuk menangani isu-isu yang tidak representatif karena SLO berfokus untuk memahami karakteristik masyarakat dan dapat melakukan inventarisasi pemangku kepentingan. Dengan demikian, SLO dapat memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam proses AMDAL merupakan pemangku kepentingan yang berpengaruh dan relevan dalam masyarakat.

Konsep SLO ini dapat menjadi tools atas tanggung jawab bersama antara perusahaan tambang dan pemerintah dalam proses pembangunan masyarakat lokal yang dapat dilakukan sejak tahap pra-operasional pertambangan.

Bagaimanapun, pemerintah pun perlu hadir dalam mendorong pemberdayaan masyarakat terutama melalui peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan. Melalui kerja sama tersebut diharapkan masyarakat lokal mampu ikut serta berperan dalam pembangunan di daerah tersebut. 

CSR Jangan Hanya Sebatas Pro Forma
Salah satu aspek sosial penting adalah pemberdayaan perusahaan terhadap warga di sekitarnya. Wadah yang ditentukan oleh perundangan adalah corporate social responsibility (CSR).  Dasar penerapan CSR tertuang dalam UU Nomor 25 tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Pasal 15(b) yang menyebutkan setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Selanjutnya, dalam UU Nomor 4 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah menyebutkan secara eksplisit mengenai tanggung jawab sosial.  

Dalam implementasinya, penerapan tanggung jawab sosial tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2018 Tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara Pasal 38. Pasal ini  memuat hal-hal pokok dalam kaitannya dengan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (PPM). Di antara yang disebutkan adalah pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, dan IUPK Operasi Produksi wajib menyusun rencana induk program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat dengan berpedoman pada cetak biru (blue print) yang ditetapkan oleh gubernur. 

Selain itu, program PPM dilakukan bersamaan dengan penyusunan Studi Kelayakan dan dokumen lingkungan hidup, memuat rencana program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat selama masa Operasi Produksi sampai dengan program pasca tambang, berasal dari biaya operasional pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi. 

Saat ini, penerapan CSR masih bersifat sukarela (voluntary). Besaran dana yang dikeluarkan tidak diatur. Setiap perusahaan memiliki biaya sosial yang berbeda-beda sesuai dengan target yang harus dicapainya.  

Berdasarkan data yang bersumber dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Portal Data Ekstraktif (2023), selama periode 2012-2021, dari 155 perusahaan pertambangan minerba, total biaya sosial yang dikeluarkan per tahunnya berkisar antara 600 miliar rupiah hingga 6 triliun rupiah. 

Jika dirinci berdasarkan perusahaan, tidak semua perusahaan mengeluarkan biaya sosial setiap tahunnya. Selain itu, nilai biaya sosial dari setiap perusahaan sangat bervariasi, mulai dari ratusan ribu rupiah hingga 5,9 triliun rupiah per tahunnya.    

Hingga saat ini, banyak perusahaan yang masih menganggap CSR sebagai solusi jitu terhadap semua masalah sosial dan lingkungan yang dihadapi. Meski, investasi dalam CSR belum tentu mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Apalagi tanpa adanya monitoring dan evaluasi dari praktik CSR yang dilaksanakan. Hal ini disebabkan penerapan CSR juga dapat dilaksanakan secara pro forma, yakni masyarakat diajak berkonsultasi, namun masukan mereka tidak banyak mengubah operasi perusahaan atau mengarahkan investasi sosialnya untuk memenuhi pemberdayaan masyarakat.

Menurut hasil penelitian Akropriaye (2022), CSR versi pro forma telah menjadi strategi yang gagal dalam industri. Ini disebabkan kurangnya pemahaman pada permasalahan yang lebih kompleks dan akurat yang selaras dengan permasalahan komunitas lokal mengenai tata kelola. Ujungnya malah dapat memperlebar kesenjangan yang ada.

Akropriaye (2022) menggambarkan praktik pro forma CSR dari Royal Dutch Shell di Ogoni, Nigeria sejak awal tahun 1990-an. Sejak itu, Shell telah menghabiskan jutaan dolar setiap tahunnya untuk kegiatan CSR dan mengklaim bahwa pendekatan mereka terhadap CSR telah mencapai kesuksesan besar. 

Meski praktik CSR Shell terus berjalan, namun masyarakat tetap terus memprotes dampak kegiatan ekstraktif terhadap sosial-ekonomi dan lingkungan hidup, dan terkadang menggunakan kekerasan. Ternyata, belum berhasilnya program CSR Shell ini karena adanya perbedaan perspektif permasalahan antara Shell dan masyarakat lokal. 

Memang tidak mudah, mengingat dimensi sosial dalam pengelolaan lingkungan sangatlah dinamis. Konflik yang berpotensi muncul bukan hanya berasal dari pemicunya dan kepentingan dari luar, tapi juga faktor echo yang memungkinkan sebaran dan generalisasi isu-isu yang muncul. Shell juga sepertinya telah menyadari dampak risiko operasionalnya terhadap konflik. Tentunya, kegiatan pertambangan tersebut telah melewati fase penilaian risiko yang menentukan potensi dampak baik konflik terhadap investasi maupun investasi terhadap konflik sebagai faktor penentu keputusan investasi. 

Yang jelas, pada fase ketika kegiatan pertambangan akan berjalan, perlunya SLO dalam program CSR ditujukan untuk beberapa hal. SLO penting untuk mengintegrasikan kepedulian sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis pertambangan serta interaksi dengan para pemangku kepentingan. Di saat yang sama, ini ditujukan untuk dapat memastikan bahwa kegiatan yang dilaksanakan berdampak positif bagi masyarakat dan sebagai social mitigation dalam mencegah timbulnya konflik di kemudian hari.


Ternak warga berada di Pantai Batu Gong di Kecamatan Batu Sampara, Konawe, Sulawesi Tenggara, Selasa (13/10/2020). ANTARAFOTO/Jojon 

 

Perlunya Meningkatkan Peran Strategis EITI Indonesia
Sejatinya, dalam menjalankan bisnis, ada standar global diterapkan bagi pelaku di sektor ini. EITI (Extractive Industries Transparency Initiatives) merupakan standar global bagi transparansi di sektor industri ekstraktif yang meliputi minyak bumi, gas, mineral dan batu bara. 

Melihat sejarah pendiriannya, EITI di Indonesia didirikan atas kehendak atau inisiatif politis pemerintah Indonesia tahun 2010. Ini ditegaskan lewat terbitnya Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2010 Tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang Diperoleh dari Industri Ekstraktif. 

Dalam peraturan tersebut, makna transparansi meliputi: keterlibatan pemangku kepentingan, keterbukaan, dan prinsip pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Hal ini mengindikasikan pentingnya partisipasi aktif dari pemangku kepentingan yang luas baik sebagai perorangan, masyarakat, kelompok, dan organisasi yang memiliki kepentingan terhadap laporan EITI.

Perlu diingat bahwa industri ekstraktif yang semakin transparan belum tentu secara statistik memiliki korelasi signifikan dengan meningkatnya pertumbuhan industri ekstraktif. Secara lebih luas, tanpa transparansi akan berisiko menghilangkan trust dan menghentikan pertumbuhan industri ekstraktif.

Temuan menarik dari Marieta et. al. (2019), meski banyak konflik terkait sumber daya alam di dunia sangat bergantung pada pendekatan politik atau ekonomi (seperti di kawasan Afrika), namun Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar kedua di dunia telah menghadapi beberapa tantangan sosial yang lebih kompleks dalam pendekatan pengelolaan konflik terkait sumber daya alam. Melihat pada dimensi sosial, peningkatan participatory approach memang sangat diperlukan karena sektor pertambangan bukan hanya aktivitas menambang dan pencapaiannya yang diukur dari tingkat produksi dan penerimaan negara. 

Sektor pertambangan yang bersifat multidimensi memiliki beragam pemangku kepentingan terkait. Pembinaan hubungannya pun lebih bersifat jangka panjang dan dinamis, sehingga diperlukan strategi dan perencanaan baik mengacu pada standar internasional maupun best practice. Maka dari itu, dalam pembinaan hubungan dengan para pemangku kepentingan, komunikasi menjadi kuncinya. 

Melalui pembinaan hubungan, dapat mengurangi kesenjangan, meningkatkan koordinasi dan pengetahuan, serta menciptakan komunikasi yang efektif di antara para pemangku kepentingan. 

Dalam hal ini, EITI Indonesia berperan strategis sebagai mediator dan katalisator terbangunnya suasana transparansi dan akuntabilitas industri ekstraktif yang mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam gerakan reformatif ke arah tata kelola yang baik dan berkelanjutan (Kemenko Perekonomian RI, 2018). 

Apalagi, dengan adanya Forum Multi-Stakeholder Group (MSG), EITI Indonesia memiliki peran sentral sebagai media komunikasi yang dapat mendorong dialog dan membangun konsensus, bukan hanya sebagai tempat penerapan dan pengawasan kebijakan. 

EITI Indonesia juga dapat mendorong perusahaan pertambangan agar lebih baik dalam mengartikulasikan nilai finansial dan nonfinansial yang mereka berikan kepada masyarakat dan investor, bukan hanya sekadar memenuhi ekspektasi peraturan. Harapannya, perusahaan pertambangan melalui komitmen sosialnya dalam hubungannya dengan para pemangku kepentingan dapat menciptakan dan mengomunikasikan visi yang lebih besar, berkeadilan dan lebih bermakna bagi masyarakat.

Akhirnya, dalam rangka pencapaian target transisi energi berkeadilan menuju NZE 2060 ini, sektor pertambangan dapat mendukung dan meningkatkan upaya pencapaian pembangunan berkelanjutan, serta akuntabilitas publik menegaskan pentingnya peran Pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana tertuang dalam konstitusi.

Referensi:
Akropriaye A. 2022. Social License and CSR in Extractive Industries: A Failed Approach to Governance, Global Studies Quarterly, 2: 1–14.
Ernst & Young (EY). 2023. Top 10 business risks and opportunities for mining and metals in 2024. Ernst & Young.
Heffron R J, L Downes, O M R Rodriguez, D McCauley. 2021. The Emergence of the ‘Social Licence to Operate’ In the Extractive Industries? Resources Policy, 74: 1-15.
https://doi.org/10.1016/j.resourpol.2018.09.012
Jim Cooney (2017) Reflections on the 20th Anniversary of the Term ‘Social Licence’, Journal of Energy & Natural Resources Law, 35:2, 197-200, DOI: 10.1080/02646811.2016.1269472
Kementerian Perekonomian Republik Indonesia. 2018. Laporan Studi Dampak Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Indonesia. Kementerian Perekonomian Republik Indonesia, Jakarta.
[KPA] Konsorsium Pembaruan Agraria. 2023. Bara Konflik Agraria: PTPN Tak Tersentuh, Kriminalisasi Rakyat Meningkat Catatan Akhir Tahun 2022 Konsorsium Pembaruan Agraria. Konsorsium Pembaruan Agraria, Jakarta.
Marieta, J R, Takwin B. and Riantoputra, C D (2019), "Conflict Management in Extractive Industries in Indonesia: Leaders–Followers Dynamic to Achieve Perceived Social Justice in Communities", Peace, Reconciliation and Social Justice Leadership in the 21st Century (Building Leadership Bridges, Vol. 8), Emerald Publishing Limited, Bingley, pp. 279-293. https://doi.org/10.1108/S2058-880120190000008017
Melanie (Lain) Dare, J Schirmer & F Vanclay (2014) Community Engagement and Social Licence to Operate, Impact Assessment and Project Appraisal, 32:3, 188-197, DOI: 10.1080/14615517.2014.927108
Mulyana I. 2021. Securing Indonesia’s Extractive Industries Through Social License to Operate. Jurnal Bina Mulia Hukum, 6 (1): 141-160. DOI: https://doi.org/10.23920/jbmh.v6i1.645


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar