c

Selamat

Selasa, 4 November 2025

OPINI

16 Agustus 2021

13:00 WIB

Pentingnya Reaktualisasi Ekonomi Pancasila

Ekonomi Pancasila juga harus bertumpu pada nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, gotong royong, kesetiakawanan sosial, keadilan sosial, dan kewirausahaan.

Penulis: Andre Notohamijoyo

Editor: Rikando Somba

Pentingnya Reaktualisasi Ekonomi Pancasila
Pentingnya Reaktualisasi Ekonomi Pancasila
Dua bocah berlari mengibarkan bendera merah putih di Kampung Tema tik Teras Pancasila, Karang Tengah, Tangerang, Banten, Selasa (1/6/2021). ANTARAFOTO/Muhammad Iqbal

Sebagai ideologi negara, Pancasila selalu menjadi topik perdebatan yang tidak kunjung usai, bahkan hingga usia Republik ini mencapai 76 tahun. 

Jika pada era Orde Baru Pancasila menjadi senjata penguasa untuk menekan kelompok yang kritis terhadap pemerintah, pada era reformasi Pancasila nyaris terpinggirkan. Kebebasan berekspresi bahkan memberikan ruang bagi kelompok intoleran yang anti Pancasila. 

Pada era Presiden Joko Widodo, ideologi Pancasila kembali mendapatkan tempat dengan pembentukan Badan Pengamalan Ideologi Pancasila (BPIP). Sayangnya, lembaga tersebut belum dirasakan kehadirannya secara nyata oleh masyarakat. 

Di bidang ekonomi, konsep Ekonomi Pancasila belum pernah diterjemahkan secara utuh hingga sekarang. Resesi ekonomi yang dialami oleh Indonesia semasa pandemi Covid-19 seperti saat ini, menjadi sinyal adanya jurang dalam pembangunan nasional.

Nilai-nilai kemanusiaan, pemerataan kesejahteraan, dan keadilan sosial, seolah menghilang. Menguatnya oligarki, renten ekonomi, dan tindak pidana korupsi, membuat Pancasila mulai dirindukan. 

Namun demikian, tidak mudah untuk menggali kembali nilai-nilai Pancasila menjadi platform ekonomi. Platform tersebut harus mengacu pada kearifan lokal, keanekaragaman budaya dan hayati, kekayaan alam, serta hakekat Indonesia sebagai negara kepulauan.

Ekonomi Pancasila
Pada era ekonomi digital, platform Ekonomi Pancasila harus bergerak fleksibel. Di samping itu, reaktualisasinya bagi generasi milenial juga merupakan sebuah tantangan tersendiri.   

Ekonomi Pancasila tidak saja merupakan pengejawantahan sila-sila di dalamnya. Namun, juga harus bertumpu pada nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, gotong royong, kesetiakawanan sosial, keadilan sosial dan kewirausahaan. Hal-hal tersebut telah lama menghilang dari pembangunan nasional. 

Apabila ditelusuri lebih jauh, Dwitunggal Proklamator Soekarno-Hatta merupakan peletak dasar sistem Ekonomi Pancasila. 

Pertemuan Soekarno atau Bung Karno dengan petani bernama Marhaen di kawasan Bandung Selatan menjadi tonggak lahirnya konsep Marhaenisme. Sang petani Marhaen dipandang sebagai cermin karakter sebagian besar masyarakat Indonesia saat itu yang memiliki modal dan kapasitas ekonomi terbatas, namun memiliki kekuatan mandiri. 

Dalam ilmu ekonomi, konsep marhaen dikenal dengan proprietorship atau perusahaan perseorangan. Proprietorship adalah bentuk bisnis yang paling sederhana. Satu orang menjalankan dan memiliki kendali penuh bisnis serta tidak memiliki badan hukum formal. 

Bung Hatta kemudian menggali filosofi ekonomi berdasarkan asas kekeluargaan, sebagaimana tertera dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Asas kekeluargaan merupakan sebuah pengejawantahan sikap gotong royong yang menjadi basis kekuatan ekonomi nasional. 

Asas kekeluargaan dimaknai bukan sebagai family, melainkan sebagai sebuah brotherhood (Swasono: 2002)Inilah landasan dari bangun koperasi sebagai sokoguru ekonomi nasional dan menjadi wadah bagi para marhaen.

Pasca Bung Hatta, banyak akademisi yang menggali Ekonomi Pancasila. Dari semuanya, yang paling menonjol sekaligus saling berlawanan pemikirannya adalah Prof. Dr. Emil Salim dan Prof. Dr. Mubyarto. Keduanya saling berlawanan, baik secara historis dan maupun konseptual. 

Secara historis, gagasan Emil Salim adalah memberi dasar atau pijakan bagi jalan ekonomi Orde Baru. Adapun gagasan Mubyarto adalah kritik terhadap jalan ekonomi Orde Baru. 

Dilihat dari sisi konseptual, Emil Salim tidak menyusun teori atau sistem ekonomi baru dan tanpa koreksi atau kritik terhadap sistem ekonomi neoklasik. 

Sementara itu, Mubyarto mengoreksi sistem ekonomi neoklasik yang tidak dapat sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Banyak kegagalan dalam penerapannya (Nugroho: 2014). 

Pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada era Orde Baru tak lain disebabkan oleh kemampuan para ekonom, yang disebut dengan Mafia Berkeley, menjaga stabilitas makroekonomi. 

Sayangnya, disiplin anggaran tidak dijaga secara berkesinambungan. Di sisi lain, ketidakpuasan masyarakat semakin meningkat akibat pembangunan yang tidak merata, penindasan politik, dan pelanggaran hak asasi manusia (Thee: 2005). 

Hal tersebut diperparah dengan adanya kebijakan yang bersifat liberalisasi terpimpin atau liberalisasi yang dikendalikan dengan tujuan untuk menguntungkan kroni Orde Baru. Banyak kebijakan yang digulirkan justru merusak tatanan perekonomian termasuk kesejahteraan petani dan nelayan. 

Sejarah membuktikan bagaimana pondasi perekonomian tersebut rapuh dan menyebabkan Indonesia masuk dalam krisis ekonomi pada 1998. 

IMF/World Bank turut andil dalam kekeliruan pembangunan ekonomi nasional melalui Washington Consensus

Hal tersebut dipertegas oleh peraih Nobel Ekonomi, Joseph Stiglitz, dalam bukunya Globalization and Its Discontent (2003) yang menyatakan IMF dan Bank Dunia keliru mengarahkan pembangunan negara-negara berkembang sehingga banyak yang terjerumus dalam krisis ekonomi yang berkepanjangan. 

Peran Pembangunan Karakter
Salah satu hal yang harus digarisbawahi dalam menggali konsep Ekonomi Pancasila ini adalah membangun karakter bangsa. 

Pembangunan karakter adalah hal yang paling esensial dalam membangun sebuah negara. Karakter sebuah bangsa merupakan intangible asset yang sangat berharga untuk kemajuan suatu negara. Itulah yang dibangun oleh seluruh negara maju.

Kurun waktu 2020-2036, Indonesia memasuki periode yang disebut bonus demografi. Bonus demografi merupakan suatu keadaan atau kondisi komposisi jumlah penduduk yang berusia produktif (15-64 tahun) lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk usia tidak produktif. 

Komposisi tersebut diperlukan untuk akselerasi pembangunan nasional. Tanpa pembangunan karakter yang bagus, Indonesia akan kehilangan momentum tersebut (Notohamijoyo: 2018). 

Pada era Presiden Soekarno, nation character building atau pembangunan karakter menjadi fokus. Sayangnya, pembangunan itu tidak diteruskan pada era selanjutnya. Lemahnya karakter masyarakat Indonesia menjadi penyebab keengganan menggali konsep Ekonomi Pancasila.  

Lemahnya karakter membentuk sifat cenderung lebih mempercayai orang asing dan menerima sesuatu yang datang dari luar, tidak terkecuali para ekonom Indonesia (Nugroho: 2014). Ini terlihat dari proses amandemen Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada 2002. 

Sebelum amandemen, pasal tersebut merupakan perwujudan dari Ekonomi Pancasila. Pasca amandemen, penambahan ayat di pasal tersebut menyebabkan pergeseran ke arah ekonomi liberal. 

Kebersamaan dan asas kekeluargaan (mutualism and brotherhood) bergeser jauh dan ditinggalkan. Kearifan lokal, keanekaragaman budaya, adat istiadat dan hayati terpinggirkan. Akibatnya, ekonomi bertumpu pada aspek-aspek yang tidak sesuai dengan keunikan nasional. 

Tumpang tindihnya kebijakan di berbagai sektor, khususnya sektor vital seperti pangan, menunjukkan hal tersebut. Pengembangan sektor pangan dan pertanian hanya bertumpu pada sistem monokultur seperti padi. 

Tidak ada upaya lebih lanjut mengembangkan sistem multikultur dengan ekosistem hutan yang lestari. Tanaman pangan lain yang jauh lebih produktif, seperti sagu, sukun, dan lainnya, diabaikan. 

Belum lagi, potensi perikanan yang dahsyat di Indonesia sebagai negara kepulauan. 

Tingkat konsumsi ikan di Indonesia masih tergolong rendah. Kemiskinan pun masih menjadi istilah yang akbar bagi nelayan sebagai pejuang utama ketahanan pangan dari laut. Dengan kata lain, pembangunan nasional belum berpaling kepada kemaritiman. 

Tanpa memperhatikan pembangunan karakter, kearifan lokal, keanekaragaman budaya dan hayati, Indonesia hanya akan menjadi sasaran empuk dari negara lain sebagai target pasar berbagai produknya baik barang maupun jasa. Di sinilah Pancasila harus menjadi pedoman pembangunan nasional. 

Penerjemahan Ekonomi Pancasila harus terus dilakukan oleh segenap komponen bangsa ini. Pembangunan yang hanya bertumpu pada fisik (tangible) tanpa menyelami aspek budaya, kearifan lokal, dan kemandirian, tidak akan memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Terlebih, budaya korupsi telah terlanjur mengakar di Indonesia. 

Pembangunan karakter harus menjadi bagian dari implementasi Ekonomi Pancasila dalam struktur pembangunan nasional. Ekonomi Pancasila harus menjadi lentera bagi negara ini dalam membangun ekonomi yang berkeadilan dan bermartabat. 

Referensi:

As’ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2009
Dawam Rahadjo sebagai pengantar dalam buku “25 Koperasi Besar Indonesia” karangan Husni Rasyad, PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta 2011
Dumairy dan Tarli Nugroho, Ekonomi Pancasila: Warisan Pemikiran Mubyarto, Gadjah Mada University Press, 2014
Francis Wahono, Ekonomi Politik Daulat Rakyat Indonesia: Pancasila Sebagai Acuan Paradigma, Penerbit Buku Kompas, 2020
Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents, W.W. Norton & Company Inc, New York, 2003
Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) RI, Ekonomi Pancasila untuk mendukung tinggal landas dan Pembangunan Jangka Panjang Tahap II, PT Aries Lima, Jakarta, 1989
Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan, LP3ES, Jakarta, 1987
Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Landasan Pikir dan Misi Pendirian Pusat Studi Ekonomi Pancasila Universitas Gadjah Mada, BPFE UGM, Yogyakarta, 2002
Sagimun MD, Koperasi Indonesia, CV Haji Masagung, Jakarta, 1988
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1 dan 2, Panitiya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964
Sri-Edi Swasono, Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan, Universitas Negeri Jakarta Press, 2004
Thee Kian Wie, Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005

 

 



KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar