c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

OPINI

03 Januari 2025

15:00 WIB

Pentingnya Kesehatan Tanah Demi Mengejar Ketahanan Pangan

Soil Health atau kesehatan tanah harus menjadi perhatian utama bagi pemerintah untuk mengejar ketahanan pangan di Indonesia. Masyarakat selayaknya memahaminya.

Penulis: Besyandi Mufti

Editor: Rikando Somba, Besyandi Mufti,

<p>Pentingnya Kesehatan Tanah Demi Mengejar Ketahanan Pangan</p>
<p>Pentingnya Kesehatan Tanah Demi Mengejar Ketahanan Pangan</p>

Sepeda motor melintasi akses jalan darurat yang dibuat di lahan bekas tambang pasir. (6/9/2012). AntaraFoto/Asep Fathulrahman

Kebijakan swasembada pangan pada era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto membawa dampak besar terhadap kesehatan tanah di Indonesia. Pada 1984, Indonesia berhasil mencapai swasembada beras dan mendapatkan pengakuan internasional dari Food and Agriculture Organization (FAO). Bahkan, Indonesia sempat mengirim bantuan beras ke negara-negara Afrika yang dilanda kelaparan. 

Sayangnya, pencapaian tersebut tidak bertahan lama. Kurang dari satu dekade kemudian, Indonesia kembali mengimpor beras dan hingga kini masih bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, nilai impor beras mencapai 212.393,4 juta USD, sedangkan total produksi beras dalam negeri hanya sebesar 52,6 juta ton. Selain itu, luas panen padi juga mengalami penurunan, dari 10,2 juta hektare pada 2023 menjadi 10,04 juta hektar pada 2024. Hal ini mencerminkan tantangan serius dalam menjaga keberlanjutan produksi pangan nasional.

Penurunan Produksi Pertanian Indonesia
Penurunan hasil panen padi dan tanaman pertanian lainnya sangat terkait dengan semakin menurunnya kualitas dan kesehatan tanah. Menurut Prof. Dr. Ir. Rachmat Pambudy, MS., Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, dalam kegiatan "Expert Group Meeting: Towards Soil Health Policy for Improved Food Security in Indonesia", dunia saat ini menghadapi tantangan besar berupa krisis planet yang mencakup tiga isu utama: perubahan iklim, degradasi serta polusi tanah dan air, dan hilangnya biodiversitas.

Ketiga masalah ini saling berkaitan, memperburuk dampaknya satu sama lain, dan memerlukan pendekatan yang holistik serta terintegrasi untuk mengatasinya secara efektif. Pendekatan ini menjadi kunci dalam menjaga keberlanjutan sumber daya alam sekaligus meningkatkan ketahanan pangan

Soal ketahanan pangan, jelas berkaitan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 yang menyebutkan, sebanyak 89,5% lahan pertanian di Indonesia berada dalam kondisi tidak berkelanjutan (unsustainable). Hal ini disebabkan oleh penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan dan tidak sesuai dengan anjuran, yang berdampak pada penurunan produktivitas lahan. 

Selain itu, isu kepemilikan lahan juga turut memperburuk situasi. Semakin luas lahan yang menjadi tidak produktif, semakin besar pula kerusakan lingkungan, termasuk perubahan iklim, akibat rendahnya kadar karbon organik tanah (Soil Organic Carbon atau SOC) yang berkisar antara 1,29–1,91% dan terus menurun setiap tahunnya. 

SOC sendiri merupakan penyimpan karbon terbesar di ekosistem darat dan berperan penting dalam mengatur kadar karbon dioksida di atmosfer. Penurunan SOC berkontribusi pada pemanasan global, mempercepat peningkatan suhu atmosfer bumi. 

Menurut Prof. Dr. Ir. Arief Hartono, M.Sc.Agr., Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, bersama tim penelitinya, lebih dari sepertiga tanah di dunia telah mengalami degradasi akibat aktivitas manusia yang berlebihan. Padahal, tanah merupakan penyedia lebih dari 95% makanan yang dikonsumsi manusia, menjadikannya sumber daya yang sangat penting untuk keberlanjutan kehidupan.

Ketika tanah mengalami degradasi, kemampuannya untuk mendukung kehidupan hewan dan tumbuhan menurun drastis.  Degradasi ini menyebabkan tanah kehilangan kualitas kimia dan biologis yang sangat penting bagi kehidupan jutaan organisme yang hidup di dalamnya. 

Tanah yang sehat tidak hanya menjadi dasar bagi ekosistem, tetapi juga berperan penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Oleh karena itu, menjaga kesehatan tanah seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah dalam upaya mengatasi krisis global, termasuk perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan hilangnya biodiversitas.

Tanah Tak Sehat, Kehidupan Terganggu
Penurunan produktivitas pertanian, erosi tanah, dan dampak perubahan iklim yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi tantangan serius yang memengaruhi tidak hanya kehidupan manusia, tetapi juga makhluk hidup lain seperti hewan dan tumbuhan. Salah satu solusi untuk mengatasi masalah ini adalah dengan meningkatkan kadar karbon organik dalam tanah (Soil Organic Carbon atau SOC). 

Peningkatan SOC dapat memperbaiki kualitas tanah, meningkatkan kesuburannya, dan berpotensi meningkatkan hasil produksi berbagai tanaman pertanian. Hal ini tidak hanya berdampak positif bagi pertanian di Indonesia, tetapi juga berkontribusi secara global dalam mendukung keberlanjutan sistem pangan dunia.

Dan, untuk meningkatkan kandungan karbon organik dalam tanah (Soil Organic Carbon atau SOC) ada beberapa langkah yang diperlukan. Langkah pertama adalah memahami kondisi kesehatan tanah yang ada saat ini. Dampak dari praktik pertanian ekstrem masa lalu Indonesia masih dirasakan hingga sekarang, meninggalkan tantangan besar bagi generasi saat ini untuk merehabilitasi tanah yang telah rusak. 

Kerusakan ini sebagian besar disebabkan oleh praktik pertanian yang tidak berkelanjutan, seperti penanaman monokultur secara masif dan intensif, penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan, minimnya penggunaan bahan organik, serta tekanan sosial-ekonomi yang dihadapi masyarakat. Akibatnya, kadar karbon organik dalam tanah menurun, mengganggu siklus daur ulang nutrisi yang sangat penting untuk menjaga tanah tetap sehat dan produktif.

Penggunaan pupuk nitrogen berbasis amonium dan pestisida yang berlebihan dapat menyebabkan peningkatan keasaman tanah. 

Kondisi tanah yang semakin asam ini mengganggu kelangsungan hidup mikroorganisme tanah, yang berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem tanah. Akibatnya, siklus alamiah yang melibatkan mikroba tanah menjadi terhambat, mempengaruhi kualitas tanah dan keberlanjutan pertanian.

FAO menyebutkan bahwa tanah memiliki kemampuan untuk menyimpan karbon hingga tiga kali lebih banyak daripada atmosfer, menjadikannya fokus utama dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Namun, kandungan karbon organik tanah di seluruh dunia terus mengalami penurunan. Berdasarkan data global, penurunan ini terjadi dengan laju sekitar 10% per tahun, dengan lahan basah kehilangan sekitar 1 hingga 5 ton karbon per hektar setiap tahun, sementara lahan mineral kehilangan kurang dari 1 ton karbon per hektar per tahun. 

Idealnya, tanah yang mengandung karbon organik seharusnya berada dalam keseimbangan positif. Tetapi kenyataannya, penurunan kandungan karbon lebih luas terjadi dibandingkan dengan wilayah yang mengalami peningkatan.

Dalam kondisi seperti ini, penggunaan pupuk dalam jumlah yang tinggi tidak akan memberikan peningkatan signifikan pada hasil produksi, malah menyebabkan penurunan hasil yang lebih besar. Oleh karena itu, penerapan pertanian regeneratif untuk memulihkan kesehatan tanah sangat penting. 

Yang harus dipahami juga, kesehatan tanah berhubungan erat dengan perubahan iklim. Karena tanah yang sehat mendukung proses perombakan karbon dan dapat menyediakan cukup bahan pangan bagi kehidupan. 

Tanah pertanian yang sehat dan produktif menjadi fondasi utama ketahanan pangan global, karena tanah yang subur adalah kunci untuk sistem pertanian yang stabil dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Salah satu cara untuk meningkatkan kesehatan tanah adalah dengan menambahkan bahan organik ke dalam tanah.

Solusi Yang Mudah Diterapkan
Untuk meningkatkan produktivitas lahan, ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan, seperti kadar C-organik tanah, ketebalan solum, dan tekstur tanah. 

Jika karakteristik tanah sudah baik, dengan solum yang tebal yang menunjukkan proses pembentukan tanah yang sudah berlangsung lama, serta tekstur tanah yang gembur, maka tanah tersebut memiliki potensi besar untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang subur. Salah satu cara untuk meningkatkan kandungan bahan organik tanah adalah dengan memberikan pupuk organik yang mengandung mikroba, serta bahan pembenah tanah lainnya seperti biochar dan Fly Ash dan Bottom Ash (FABA). 

Biochar dapat meningkatkan luas permukaan partikel tanah, menambah ruang pori, serta meningkatkan kadar kalium dan pH tanah. FABA yang merupakan sampah atau limbah dari produksi PLTU berbahan bakar batu bara  juga efektif sebagai bahan pembenah tanah yang dapat mengurangi kehilangan unsur hara akibat pencucian, serta meningkatkan populasi cacing tanah dan mikroba, seperti Pseudomonas dan Bacillus

FABA ternyata kaya akan unsur hara makro dan mikro yang penting bagi kesuburan tanah. Berdasarkan uji mutu dan efektivitas yang dilakukan oleh PT PLN dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), FABA mengandung unsur hara penting seperti kalsium (Ca), magnesium (Mg), dan silikon (Si), menjadikannya bahan yang sangat cocok untuk digunakan sebagai pupuk, baik itu pupuk tunggal maupun pupuk majemuk. 

Selain itu, FABA juga bermanfaat untuk memperbaiki struktur tanah, terutama pada tanah mineral dan gambut. FABA memiliki peran yang sangat penting dalam proses restorasi tambang, di mana bahan ini membantu menstabilkan lahan bekas tambang dan mengembalikannya menjadi lahan yang produktif. Dengan berbagai manfaat tersebut, FABA bukan hanya membantu mengurangi limbah industri, tetapi juga mendukung penerapan teknologi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Dengan meningkatnya penggunaan bahan pembenah tanah, diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tanaman pertanian seperti padi, jagung, dan gandum. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk menyadari bahwa lahan pertanian di Indonesia sangat beragam, yang mengharuskan penanganan yang berbeda-beda untuk setiap jenis lahan. 

Pemerintah perlu mengembangkan formulasi pupuk yang direkomendasikan dan melakukan pengawasan, bukan hanya memenuhi unsur hara utama seperti N, P, dan K, tetapi juga memperhatikan aspek lain seperti perbaikan pH tanah, peningkatan karbon organik tanah (melalui pemberian biochar, kompos, atau zat humik), serta pemenuhan kebutuhan mikronutrien yang cukup. 

Di saat sama, masyarakat juga harus terlibat dalam memahami teknik pemupukan yang tepat agar tidak terjadi kerusakan tanah yang berkelanjutan. Selain itu, pemerintah diharapkan dapat menyediakan data tentang kondisi tanah dan tanaman agar rekomendasi pemanfaatan lahan pertanian dapat dilakukan secara tepat dan mendukung keberlanjutan pertanian. Ketahanan pangan sejatinya bukan cuma beban pemerintah. Semua warga selayaknya mendukung dengan melakukan apa yang bisa dilakukan dalam keseharian.

 

Referensi

Badan Pusat Statistik (BPS). 2024. [web]: https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/NDk3IzI=/nilai-impor--mei-2024.html

Badan Pusat Statistik. 2024. [web]: https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTQ5OCMy/luas-panen--produksi--dan-produktivitas-padi-menurut-provinsi.html

Kementerian Pertanian RI. 2024. [web]: https://bdsp2.pertanian.go.id/bdsp/id/home.html

Museum Kepresidenan RI. 2022. [web]: https://museumkepresidenan.id/artikel/swasembada-pangan/

IPB University – Departemen Ekonomi dan Manajemen. 2024. [web]: https://fem.ipb.ac.id/antara-swasembada-ketahanan-dan-kedaulatan-pangan/

CRI Online. 2024. [web]: https://indonesian.cri.cn/2024/11/05/ARTI60vLZ09wAD8PgP8cStcd241105.shtml

Savills. 2024. [web]: https://www.savills.com/impacts/environment/self-sufficiency-in-food-production-an-international-comparison.html

Brankov T, Matkovski B, Jeremi´c, M, Ðuri´c I. 2021. Food Self-Sufficiency of the SEE Countries - Is the Region Prepared for a Future Crisis?. Sustainability. 13: 8747

Baer-Nawrocka A, Sadowski A. 2019. Food security and food self-sufficiency around the world: A typology of countries. PLoS ONE. 14(3): e0213448.

Nishina K, et al. 2013. Quantifying uncertainties in soil carbon responses to changes in global mean temperature and precipitation. Earth Syst. Dynam. 5 (1): 197-209.

Edwin M. 2016. Penilaian Karbon Tanah Organik Pada Beberapa Tipe Penggunaan Lahan di Kutai Timur, Kalimantan Timur. Jurnal AGRIFOR. 15 (2): 279-288.

Syawaliani W, Utomo S. 2024. Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) Sebagai Solusi Inovasi Pengolahan Limbah Dalam Mendukung Keberlangsungan UMKM Dalam Bidang Pembuatan Batako, Paving Blok Dan Pengecoran. Jurnal Bisnis dan Pembangunan. 13 (01): 97-108.

Balai Pengujian Standar Instrumen Tanah dan Pupuk (BPSI). 2024. [web]: https://tanahpupuk.bsip.pertanian.go.id/berita/bsip-berkarya-menuju-standar-pemanfaatan-faba-untuk-pembenah-tanah

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanah (KLHK). 2021. [web]: https://ppid.menlhk.go.id/berita/siaran-pers/5864/fly-ash-dan-bottom-ash-faba-hasil-pembakaran-batubara-wajib-dikelola

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). 2021. [web]: https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/tekmira-faba-efektif-sebagai-bahan-pembenah-tanah

Faoziah N, Iskandar, Djajakirana G. 2022. Pengaruh Penambahan Kompos Kotoran Sapi dan Fly Ash-Bottom Ash (FABA) Terhadap Karakteristik Kimia Pada Tanah Bertekstur Pasir dan Pertumbuhan Tomat. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 24 (1): 1-5.

Tasya, Ardiansyah, Albar J MA. 2023. Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) Sebagai Media Netralisasi Air Asam Tambang. SATERA: Jurnal Sains dan Teknik Terapan. 1 (1): 1-10.

IPBES. The Global Assessment Report on Biodiversity and Ecosystem Sevices, Summary for Policymakers. 2019. Bonn (DE): IPBES Secretariat.

UNFCCC. United Nations Climate Change : Annual Report 2022. 2022. Swiss (CH): UN Press.

IPCC. IPCC Sixth Assessment Report. 2022. [web]: https://www.ipcc.ch/report/ar6/wg2/

Wulansari R, Athallah FNF, Pambudi SWL. 2022. Status Kesehatan Tanah Dengan Metode Selidik Cepat di Areal Pertanaman Teh. Jurnal Ecosolum. 11 (2): 168-178.

Putra DP, Nugraha NS, Yuniasih B, Suparyanto T. 2023. Program Pakar untuk Penentu Kesehatan Tanah dengan Metode Backward Chaining berbasis Landsat Normalized Difference Vegetation Index. Jurnal Pengelolaan Perkebunan. 4 (2): 26-37.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar