13 Januari 2022
19:22 WIB
Penulis: Mohammad Widyar Rahman
Dionysius Halicarnassus dari Thucydides, seorang sejarawan Yunani dan guru retorika, mengatakan, “History is the philosophy teaching by examples."
Ungkapan ini cukup relevan, ketika dikaitkan dengan banyaknya kejadian bencana alam yang berpotensi menimbulkan kerugian materiil maupun nonmateriil di nusantara.
Berbicara tentang bencana, pengetahuan dasar dari catatan masa lalu, memang memungkinkan kita untuk membuat rekonstruksi jangka panjang secara eksplisit dan sistematis dari bencana yang mungkin terjadi. Mulai dari dampak sosial, ekonomi, hingga budaya.
Namun, sepenting apa, sih, mitigasi bencana harus dilakukan?
Patut dicatat, menurut BNPB (2020) secara geologis, Indonesia rawan bencana gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung api. Secara geografis Indonesia juga rawan akan bencana banjir, tanah longsor, banjir bandang, cuaca ekstrem, gelombang ekstrem, abrasi, dan kekeringan yang juga dapat memicu kebakaran hutan dan lahan.
Sepanjang 2021 (dibi.bnpb.go.id) saja, tercatat jumlah bencana di Indonesia mencapai 1.954 kejadian. Bencana-bencana tersebut, menyebabkan 743 orang meninggal dunia; 69 orang hilang; dan 13.095 orang terluka. Sebagian besar lainnya harus jadi korban yang menderita dan mengungsi, masing-masing sebanyak 4,3 juta dan 522 ribu.
Selain itu, dari sisi infrastruktur, bencana selama 2021 lalu merusakkan 141,57 ribu unit rumah. Kemudian, kerusakan fasilitas pendidikan mencapai 1.393 unit; 1.235 rumah peribadatan; 502 perkantoran; 446 jembatan; 354 fasilitas kesehatan; dan 122 fasilitas umum.
Sebagai perbandingan, selama periode 2016-2020 (dibi.bnpb.go.id), jumlah kejadian dari berbagai jenis bencana rata-rata sebanyak 3.497 kejadian per tahun. Dari angka tersebut, tingkat kerusakan rumah rata-rata per tahunnya mencapai 117,28 ribu.
Sementara itu, pada fasilitas umum, rata-rata per tahun kerusakan fasilitas pendidikan mencapai 1513 unit; rumah peribadatan 852 unit; jembatan 369 unit; fasilitas kesehatan 198 unit; dan perkantoran 167 unit.
Terlihat banyak? Pastinya.
Sayangnya, beragam jenis bencana ditinjau dari skala, intensitas, dan frekuensinya tak bisa dengan tepat diprediksi, alih-alih hanya sebatas perkiraan dari membaca tanda-tanda alam. Karena itu, polanya pun tak bisa tergambarkan, layaknya analisis teknikal pada pergerakan harga saham di bursa efek.
Masalah lainnya, pertumbuhan permukiman informal yang cepat di daerah rawan bahaya terus terjadi. Tak jarang, keberadaan infrastruktur modern dan sistem sosial ekonomi di suatu daerah justru membuat potensi kerusakan akibat bencana menjadi lebih kompleks.
Pendeknya, badai paling dahsyat sekalipun, apabila terjadi di wilayah tak berpenghuni tidak akan menjadi bencana. Sebaliknya, tsunami kecil yang menghantam kota padat penduduk tanpa sistem peringatan dini yang mumpuni, dengan cepat bisa menjadi bencana besar.
Dampak Ekonomi
Menteri Keuangan, Sri Mulyani, pernah menyebut gempa di Indonesia berpotensi menyebabkan hilangnya Gross Domestik Product (GDP) hingga 3% atau sekitar $30 miliar. Ambil contoh, bencana tsunami Aceh yang biaya mengatasi bencananya mencapai $4,5 miliar. Sementara itu, saat mengalami gempa bumi Yogyakarta harus kehilangan 30% dari GDP daerahnya.
Terkait dampak sekunder ini, Artiani (2011) menambahkan, dampak terhadap sisi keuangan publik seperti penurunan pendapatan pajak atau peningkatan pengeluaran dapat menjadi sangat penting. Dampak sekunder ini akan sangat dirasakan pada tahun fiskal di mana bencana terjadi dan tahun fiskal selanjutnya.
Tak ayal, bencana akan mengurangi kemampuan pemerintah untuk berinvestasi dalam proyek-proyek pembangunan, karena menurunnya basis pajak sebagai dampak turunnya produksi. Di tambah lagi, ada beban tambahan dari penanganan bencana, pengelolaan bantuan, dan rekonstruksi.
Menurunnya daya beli masyarakat dan investasi yang tertunda, juga akan berimplikasi pada pembangunan jangka panjang. Hal ini digambarkan oleh menurunnya permintaan dan depresi disektor produksi.
Di samping itu, apabila merunut pada dampak langsung, menurut Vorheis (2012), dampak langsung termasuk kerusakan rumah, bangunan komersial dan publik, kendaraan, infrastruktur (termasuk jalan dan utilitas umum), lahan pertanian, area rekreasi, dan hutan.
Selain itu, ada pula biaya cedera manusia dan hilangnya nyawa serta dampak pada ekosistem dan satwa liar, serta biaya tindakan tanggap darurat dan operasi pembersihan pascabencana.
Hallegatte & Przyluski (2010) memperkirakan, hanya menghitung dampak langsung dari bencana tidaklah cukup. Pasalnya, ada dampak tidak langsung yang juga perlu diperkirakan. Bagaimanapun, bencana mengakibatkan turunnya persediaan modal suatu daerah yang meliputi modal fisik, finansial, alam, dan manusia.
Dampak tidak langsung tersebut, antara lain terganggunya kegiatan komersial dan pelayanan publik, menurunnya produktivitas ekonomi akibat kerusakan fisik atau emosional, dan faktor multiplier effect dari berkurangnya kegiatan ekonomi.
Keandalan Infrastruktur
Dalam menghadapi bahaya alam, infrastruktur bisa dibilang jadi faktor penentu apakah suatu situasi menjadi bencana atau tidak. Dalam mitigasi bencana, tidak hanya kemampuan sosial dalam hal ini kesiapan masyarakat dan aparat pemerintah yang diandalkan, tapi juga kesiapan infrastruktur dalam menghadapi bencana.
Infrastruktur, di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, telekomunikasi, keagamaan, sosial dan lainnya, memang menjadi instrumen yang mempengaruhi kualitas hidup masyarakat. Tanpa infrastruktur memadai, suatu peristiwa alam yang terjadi bisa benar-benar berubah menjadi bencana.
Sayangnya, di hampir banyak wilayah berisiko tinggi, masih banyak pihak yang berfokus pada penanganan pascabencana. Padahal, tanpa backup dari infrastruktur mumpuni, yang juga memperhitungkan jika terjadi bencana, penanganan pascabencana, seperti pengiriman bantuan sampai proses rekonstruksi, juga dipastikan bakal menemui kendala.
Catatan saja, berdasarkan data BNPB (2020), dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, 237 di antaranya masuk kategori wilayah risiko tinggi bencana, sedangkan sisanya masuk kategori risiko sedang. Hal ini mengindikasikan pentingnya daerah untuk mendesain pembangunan yang resilience dalam upaya mengurangi risiko bencana.
Namun, menurut Sofi (2020), hal tersebut tak terlihat dari data belanja daerah di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dari tahun ke tahun. Belanja modal yang di dalamnya termasuk anggaran pembangunan infrastruktur, persentasenya masih terbilang kecil jika dibandingkan dengan belanja pegawai serta belanja barang dan jasa.
Karena alasan-alasan inilah, pemerintah daerah sudah seharusnya tak hanya terfokus pada proses pemulihan jangka pendek yang terlihat saja. Justru, kejadian bencana harus menjadi momentum membangun infrastruktur yang resilience, dalam upaya mengurangi risiko bencana jangka panjang.
Risiko di Masa Depan
Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015–2030 (SFDRR) menjelaskan, perencanaan proaktif dan investasi dalam pengurangan risiko bencana berdasarkan penilaian risiko yang tepat, dapat menghemat biaya. Termasuk mencegah kerugian terkait bencana di masa depan sambil berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan.
Infrastruktur yang tangguh, misalnya, jembatan yang dapat menahan banjir yang sering datang; penahan gempa dan pembangunan tanggul sungai; pipa air yang dapat menahan gempa; atau tiang listrik yang lebih kokoh dalam menghadapi badai yang lebih kuat, bisa dibilang sudah menjadi keniscayaan. Manfaatnya, akan langsung terasa dengan berkurangnya biaya untuk pemulihan dan rekonstruksi tatkala bencana harus terjadi.
Hal ini juga sebagai bagian dari upaya memastikan masyarakat tidak akan kehilangan mata pencahariannya atau tak bisa bekerja akibat infrastruktur yang hancur lebur. Infrastruktur yang mumpuni juga bisa memastikan masyarakat dapat memperoleh perawatan medis yang mendesak kala bencana. Bahkan, anak-anak tetap dapat bersekolah.
Oh, ya. Ada hal menarik lainnya selain hal-hal di atas.
Berdasarkan temuan Bank Dunia (Hallegatte, et. al., 2019), keuntungan bersih rata-rata dari berinvestasi di infrastruktur yang lebih tangguh di negara-negara berkembang nilainya mencapai sekitar $4,2 triliun, dengan keuntungan $4 dari setiap $1 yang diinvestasikan. Sebuah Return On Investment (ROI) yang menarik, bukan?
Referensi:
Artiani L E. 2011. Dampak Ekonomi Makro Bencana: Interaksi Bencana dan Pembangunan Ekonomi Nasional. Dalam Seminar Nasional Informatika 2011 (semnasIF 2011), UPN ”Veteran” Yogyakarta, 2 Juli 2011.
[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2020. Indeks Risiko Bencana Indonesia Tahun 2020. Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Jakarta.
Data Korban dan Kerusakan menurut Bencana 2016-2021, https://dibi.bnpb.go.id/kbencana/index [diakses pada tanggal 12 januari 2022]
Hallegatte, S. & Przyluski, V. 2010. The Economics of Natural Disasters: Concepts and Methods. Policy Research Working Paper 5507. The World Bank, Washington D.C.
Hallegatte, Stephane; Rentschler, Jun; Rozenberg, Julie. 2019. Lifelines: The Resilient Infrastructure Opportunity. Sustainable Infrastructure. Washington, DC: World Bank. © World Bank.
https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/31805 License: CC BY 3.0 IGO.
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/menkeu-tekankan-pentingnya-pembangunan-infrastruktur/ [diakses pada tanggal 11 Januari 2022]
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/bencana-alam-dan-pengaruhnya-terhadap-perekonomian/ [diakses pada tanggal 12 Januari 2022]
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel-dan-opini/pemenuhan-anggaran-infrastruktur-di-daerah-dan-tantangannya/ [diakses pada tanggal 12 Januari 2022]
Vorheis F. 2012. The Economics of Investing in Disaster Risk Reduction. Working Paper, UN International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR), Geneva.