c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

OPINI

23 Oktober 2025

16:15 WIB

Penghambat Reformasi Cukai Itu Bernama Rokok Ilegal

Temuan PKJS UI terkait downtrading, memperlihatkan sebanyak 31,26% downtrader atau perokok yang beralih ke rokok murah didominasi dari keluarga pra sejahtera dan kelompok rentan seperti anak-anak.

Penulis: Ir. Aryana Satrya, M.M., Ph.D., I.P.U., ASEAN Eng.

Editor: Rikando Somba

<p id="isPasted">Penghambat Reformasi Cukai Itu Bernama Rokok Ilegal</p>
<p id="isPasted">Penghambat Reformasi Cukai Itu Bernama Rokok Ilegal</p>

Ilustrasi kemasan bungkus rokok. Sumber: Shutterstock/Juicy FOTO

Setiap tahun, perdebatan tentang kenaikan cukai hasil tembakau selalu berputar pada narasi yang sama, yakni adanya ancaman peredaran rokok ilegal dan pemutusan hubungan kerja (PHK). Sebenarnya, kedua persoalan tersebut sama sekali tidak terkait dengan kenaikan cukai.  

Kemunculan rokok ilegal akan tetap ada apabila pengawasan dan penegakan hukum tidak dilakukan secara masif. Di sisi lain, ada kerugian yang cukup nyata dalam pengendalian rokok ilegal apabila cukai rokok tidak naik.

Dalih yang Berulang dari Industri
Setiap kali rencana kenaikan cukai diumumkan, industri tembakau segera menyuarakan kekhawatiran soal rokok ilegal. Dari survei CISDI yang dilakukan di 6 kota besar di Indonesia, ditemukan bahwa 9,24% atau 755 kemasan rokok teridentifikasi ilegal terhadap total 8.172 kemasan rokok beredar. 

Bank Dunia menunjukkan bahwa peredaran rokok ilegal relatif lebih besar di negara-negara dengan cukai dan harga rendah. Sementara itu, pasar rokok ilegal relatif lebih kecil di negara-negara dengan pajak dan harga rokok yang lebih tinggi. 

Belum lagi. dengan agenda PHK industri untuk menekankan bahwa industri tercekik dengan kebijakan cukai. Selain itu, pemerintah pun diperingatkan akan kehilangan penerimaan akibat rokok ilegal dan diperburuk dengan bertambahnya angka kehilangan kerja.

Harga rokok yang relatif murah di Indonesia mendorong terjadinya fenomena downtrading, yakni ketika konsumen beralih ke merek dengan harga lebih rendah. Selain itu, konsumen dapat memperoleh rokok dengan diskon atau promosi harga sehingga tetap terjangkau bagi berbagai lapisan masyarakat. Kombinasi antara harga murah, alternatif produk, dan ketersediaan promosi ini menjadikan rokok legal masih mudah diakses dan dipilih oleh konsumen. 

Kondisi tersebut pula yang menjelaskan mengapa peredaran rokok ilegal di Indonesia relatif sedikit dibanding negara lain. Pasalnya, pasar rokok legal sudah mampu memenuhi kebutuhan konsumen dengan harga yang masih dianggap terjangkau.

Temuan PKJS UI terkait downtrading memperlihatkan sebanyak 31,26% downtrader didominasi dari keluarga pra-sejahtera dan kelompok rentan, seperti anak-anak. Perokok yang melakukan downtrading memiliki kecenderungan 5,75 kali lebih besar untuk tetap merokok dibandingkan memilih berhenti. 

Jika reformasi cukai ditunda dan rokok tetap dapat terbeli dengan harga murah, maka upaya pengendalian perokok, baik anak maupun dewasa, akan terus menjadi tantangan besar. Di samping itu, rendahnya harga rokok memperkuat aksesibilitas terhadap produk adiktif ini dan melemahkan efektivitas kebijakan kesehatan publik dalam menekan prevalensi merokok di Indonesia.


Evaluasi Penegakan Rokok Ilegal Selama Ini
Cukai tembakau merupakan salah satu instrumen fiskal penting karena berfungsi ganda, yaitu menekan konsumsi tembakau sekaligus menjadi sumber penerimaan negara. Dasar hukum Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cuka. Sementara itu, ketentuan pelaksanaannya diatur lebih rinci melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 215/PMK.07/2021 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi DBHCHT. 

DBHCHT digunakan untuk mendukung bidang kesehatan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta penegakan hukum. Termasuk, pembiayaan upaya pemberantasan peredaran rokok ilegal di daerah. Dari total DBHCHT, sejumlah 10% dialokasikan untuk program penegakan hukum, termasuk sosialisasi regulasi cukai dan pemberantasan rokok ilegal (misalnya operasi gabungan, penindakan, serta pengadaan sarana dan prasarana pendukung).

Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap dampak rokok ilegal, baik dari segi kesehatan maupun ekonomi, memengaruhi efektivitas penyerapan DBHCHT. Penelitian Ahsan et al. (2024) menyoroti pemanfaatan DBHCHT untuk penindakan rokok ilegal sebagai instrumen penguatan kebijakan fiskal dan perlindungan kesehatan masyarakat, dengan contoh penerapan di Kabupaten Malang, Pasuruan, dan Kudus, melalui operasi bersama Bea Cukai, polisi, dan pemerintah daerah. 

Pada penelitian Rahmadian et al. (2025), ditemukan banyak toko kelontong yang menjual rokok ilegal karena menganggap hanya produk biasa, dan dikenakan sanksi ringan serta minimnya proses pidana yang maksimal menyebabkan kurangnya efek jera. Temuan Suarda et al. (2024) menunjukkan bahwa rata-rata hukuman penjara bagi pelaku tindak pidana rokok ilegal hanya sekitar 18 bulan, menunjukkan risiko hukum yang rendah dibandingkan tindak pidana perdagangan gelap narkoba di Indonesia.

Penerapan Sistem Pelacakan dan Penelusuran (Track and Trace) menjadi krusial untuk mengamankan rantai distribusi dan mencegah masuknya produk ilegal ke pasar. Penelitian mengenai simulasi model jika sistem Track and Trace (T&T) diberlakukan di Afrika Selatan menunjukan konsumsi rokok akan menurun 5 - 10% . Selain itu jika efektivitas sistem T&T mencapai 60% maka Pemerintah akan mendapatkan tambahan sekitar 3 Triliun (Van Der Zee, 2024). 

Pengalaman Uni Eropa menunjukkan bahwa melalui CEPOL, pelatihan aparat hukum lintas negara yang mencakup penindakan produksi ilegal, penyelundupan lintas laut, hingga pelacakan aset kejahatan, telah menjadi strategi efektif dalam memberantas perdagangan rokok ilegal di tingkat global (Schröder et al., 2021). Persoalan utama terletak pada lemahnya pengawasan dan masih adanya celah dalam rantai pasok, termasuk praktik izin ilegal oleh oknum di pelabuhan. Oleh karena itu, solusinya bukan menahan kenaikan cukai, melainkan memperkuat sistem pengawasan.

Kerugian Jika Kenaikan Cukai Tertunda
Penundaan kenaikan cukai rokok dengan alasan maraknya rokok ilegal justru menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi publik:

1. Sisi kesehatan: Keterjangkauan harga rokok membuat prevalensi merokok remaja terus meningkat sehingga generasi muda kian terjebak dalam adiksi nikotin;
2. Sisi fiskal: Biaya pengobatan penyakit terkait rokok yang membebani jaminan kesehatan nasional jauhmelampaui penerimaan cukai sehingga penundaan hanya memperlebar defisit; dan
3. Sisi integritas kebijakan: sikap pemerintah yang terkesan tunduk pada narasi industri merusak kredibilitas kebijakan fiskal dan kesehatan publik, serta mengabaikan mandat konstitusi untuk melindungi segenap bangsa.

Dari ketiganya, kita bisa menyimpulkan bahwa komitmen pejabat publik untuk menjamin kesehatan masyarakat dan ekonomi makro adalah krusial, dan harus diperkuat. Kenaikan cukai harus terus berjalan, konsisten, dan signifikan. 

Rokok ilegal diberantas dengan sanksi serius bagi oknum yang terlibat dalam seluruh rantai peredaran dari supplier hingga konsumen rokok ilegal. Selain itu, penindakan di perbatasan wilayah sebagai pintu masuk produk oleh aparat penegak hukum yang tegas.


*Penulis adalah Ketua & Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI)
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan bukan merupakan cerminan institusi tempat penulis bekerja. 

 

 

Referensi:

  1.  Ahsan, A., Rahmayanti, K. P., Amalia, N., Veruswati, M., Prabandari, Y. S., Martini, S., ... & Diniary, A. (2024). Evaluation of Tobacco Tax Funding to Eradicate Illicit Cigarettes in Indonesia: A Qualitative Approach. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention: APJCP, 25(8), 2885 Rahmadian, N.,
  2. Erdiansyah, Andrikasmi, S. (2025). Penegakan Hukum Tindak Pidana Peredaran Rokok Ilegal oleh Bea dan Cukai Bengkalis. Jurnal Hukum Progresif, 8(6), 68-77
  3. Suarda, I. G. W., Hamman, E., Anggono, B. D., Setyawan, F., Taufiqurrohman, M., & Priambudi, Z. (2024). Illicit Cigarette Trade in Indonesia: Trends and Analysis from the Recent Judgments. Sriwijaya Law Review, 8(1), 38-59.
  4.  Schröder, D., Bóta, G., & Sierra, M. M. (2021). Combatting illicit tobacco trade: What is the role of EU law enforcement training?. Tobacco Prevention & Cessation, 7, 18.
  5.  Van Der Zee, K., Van Walbeek, C., & Ross, H. (2024). How much to pay for a track and trace system: a simulation model for South Africa. Tobacco Control, 33(2), 252-257.

KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar