c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

OPINI

12 September 2025

18:00 WIB

Panacea Untuk Yang Muda

Dari kesemua korban meninggal dunia, mereka yang berusia muda mendominasi. Pelajar, mahasiswa, dan pekerja muda, ada di antara mereka yang berpulang, luka-luka, serta ditangkap.  

Editor: Rikando Somba

<p><em>Panacea</em> Untuk Yang Muda</p>
<p><em>Panacea</em> Untuk Yang Muda</p>
Seorang peserta aksi mengibarkan bendera Merah Putih di tengah hujan deras saat demonstrasi berlangsung di Jakarta (30/08/2025). Validnews/Hasta Adhistra.

Beberapa pekan pasca-demonstrasi bernuansa kekerasan yang meluas dari Jakarta ke sejumlah daerah, polisi masih mencari pelaku utama dan otak di belakangnya. Hingga kini, aparat hukum ini  terus berupaya mengejar aktor utama di balik kerusuhan yang memboncengi demonstrasi pada akhir Agustus 2025 ini. 

Upaya tersebut merupakan manifestasi pelaksanaan instruksi Presiden Prabowo Subianto dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo, untuk memburu para pelaku yang melakukan aksi kekerasan, tindakan anarkis, dan yang menyebabkan terjadi kerusuhan.

Dukungan datang dari banyak kalangan dan lembaga. Salah satunya, dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).  Polisi diyakini bisa melakukannya, bukan sekadar menangkapi para pelaku di lapangan, kebanyakan warga yang tertangkap saat melakukan aksi vandalisme atau aksi demonstrasi. 

Ya, kerusuhan telah menyebabkan kerugian sangat besar. Menteri Pekerjaan Umum (PU), Dody Hanggodo menaksir, total kerugian akibat aksi unjuk rasa di berbagai daerah di Indonesia diperkirakan mencapai hampir Rp900 miliar. Padahal, pemerintah tengah menggembar-gemborkan upaya penghematan. Kerusuhan jelas menafikan upaya tersebut.

Jawa Timur disebut sebagai wilayah dengan kerugian terbesar.  Beragam bangunan terbakar dan ludes. Tak terhitung juga fasilitas umum yang rusak dan hancur di berbagai daerah dan kota.  

Ada pula peristiwa rangkaian penjarahan yang sebelumnya belum pernah terjadi. Rumah anggota dewan;  Ahmad Sahroni, Eko Patrio, dan Uya Kuya, hingga Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dijarah dan dirusak massa. Sejumlah toko berlokasi di dekat fasilitas umum, juga jadi sasaran. 

Korban Sipil
Lebih miris lagi, kerusuhan dari aksi demonstrasi juga memakan terlalu banyak korban, terutama kalangan masyarakat sipil dan kelompok rentan. Komisi ini mencatat, ada sepuluh korban meninggal dunia. Di Jakarta, ada Affan Kurniawan, pengemudi ojek daring yang tewas terlindas kendaraan taktis polisi, dan Andika Lutfi Falah. 

Di Makassar, ada Sarina Wati,  Saiful Akbar, Muhammad Akbar Basri, dan Rusdamdiansyah. Sementara itu, di Solo ada Sumari; di Yogyakarta ada Rheza Sendy Pratama; di Semarang ada Iko Juliant Junior; dan di Manokwari ada Septinus Sesa.

Dari kesemua korban meninggal dunia,  mereka yang berusia muda mendominasi. Pelajar, mahasiswa, dan pekerja muda, ada di antara mereka yang berpulang dan yang luka-luka.

Dari rangkaian peristiwa beberapa hari itu, sebanyak lebih dari 3.000 individu telah diamankan oleh pihak kepolisian karena diduga terlibat dalam kerusuhan sepekan itu. Bisa ditebak, kebanyakan yang ditangkap juga adalah mereka yang muda, bahkan sebagiannya masih remaja belia. Banyak pula yang berasal dari daerah, didatangkan ke Jakarta dengan iming-iming rupiah. 

Kenyataan ini tentu mengusik benak kita. Bukan soal keikutsertaan yang muda dalam gerakan aksi demonstrasi, yang jadi pertanyaan. Soal kiprah pemuda, Indonesia punya catatan sejarah nan keren. Kemerdekaan bangsa ini tidak akan terwujud jika tak ada anak-anak muda nan bernas dan berani.

Kita punya Bung Hatta yang pada usia 21 tahun, telah menulis Indonesia di Tengah-tengah Revolusi Asia. Ada pula Tan Malaka yang pada usia 27 menerbitkan risalah Menuju Republik Indonesia yang memuat konsep negara Indonesia yang tengah diperjuangkan. Bung Karno, Agus Salim, Sjahrir, dan banyak lagi tokoh muda, sudah berjuang dan berorganisasi memperjuangkan kemerdekaan sejak umur belasan.


Pengangguran dan Ketersediaan Lapangan Kerja
Hal yang jadi persoalan dan mengenaskan, adalah kebanyakan anak-anak muda yang berani ini, justru dimanfaatkan pihak tertentu, untuk lebih bertindak vandal, merusak, dan berhadapan dengan aparat sebagai saluran manifestasi rasa marah dan frustrasi terhadap kondisi bangsa dan apa yang dihadapi masing-masing individu ini. 

Memang, tak mudah menyigi penyebabnya. Beragam faktor bisa melatarbelakangi alasan tiap individu melakukan kekerasan atau aksi pengrusakan. Kita bicara soal anak-anak muda itu, bukan para aktor utama dan yang mengerahkan massa. Namun, dari keikutsertaan anak-anak muda itu, kita bisa menyebut dua faktor; ketersediaan lapangan kerja dan minimnya ragam kegiatan yang didukung pemerintah.

Merujuk data BPS,  pengangguran di Indonesia per Februari 2025 mencapai 7,28 juta orang, dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) 4,76%. Di samping itu, pengangguran di rentang usia 15-24 tahun merupakan kontributor terbesar dalam jumlah pengangguran total. 

Data BPS menyebutkan, sekitar 15% dari populasi usia kerja Gen Z tidak memiliki pekerjaan. Tingkat pengangguran ini lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya.

Mereka yang belum bekerja, didominasi lulusan sederajat SMA, yang mencapai porsi sekitar 28% atau 2,04 juta orang per Februari 2025. Angka pengangguran kaum muda bahkan jauh di atas rata-rata nasional.  

Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk muda Indonesia adalah 44,26 juta orang. Bila dibandingkan populasi penduduk umur muda, maka tingkat pengangguran anak muda mencapai 8,01%.

Ini menunjukkan bahwa dari 100 orang penduduk berumur 15 -24 tahun, ada 16 di antaranya yang menganggur.  Sementara itu, tingkat pengangguran nasional untuk semua umur per Februari 2025 adalah 4,76% dari 153,05 juta angkatan kerja, atau 7,26 juta. Angka pengangguran berusia muda mencapai 16% jauh lebih besar. 

Merujuk data Saskernas,  tersimpul bahwa anak muda mengisi hampir setengah dari total jumlah penganggur di Indonesia. Sebanyak 48,77% penganggur merupakan anak muda. Ini merupakan alarm buat kita semua, terutama penyelenggara negara. 


Mengutip laporan Jobstreet bertajuk Hiring, Compensation, and Benefits 2025, memang 94% perusahaan di Indonesia tetap merekrut tenaga kerja tahun lalu. Akan tetapi, meningkatnya porsi pekerja paruh waktu kontraktual, justru naik dari 17% pada 2023 ke 32% pada 2024.  Buat sebagian Gen Z, pekerjaan paruh waktu memang didamba. Tapi, banyak pula yang menginginkan ketetapan kerja, bukan sebagai freelancer.

Sebuah survei dari Segara Research Institute pada 2024 menunjukkan, pengemudi taksi online dan ojol memiliki proporsi lulusan S1 (sarjana) yang tinggi dibandingkan pekerjaan informal lainnya. Hasil survei menunjukkan bahwa 26,53% pengemudi taksi online dan 17,42% pengemudi ojol adalah sarjana. Bahkan, pengemudi taksi daring, tak sedikit yang berpendidikan S2.

Miris, bukan?

Dari fakta ini, selayaknya kita tak lagi berdebat dalam polemik tinggi tidaknya pengangguran, atau cukup atau tidak tersedianya lapangan kerja. Debat kusir soal siapa yang salah dan ada-tidaknya kekuatan asing dan mafia dalam pengerahan massa yang merusak itu, juga tak menjadi solusi permanen. Meskipun, itu juga diperlukan untuk menegaskan adanya hukum dan penghargaan atas keberadaannya di tanah air.  

Kaitan tingginya angka pengangguran dengan kriminalitas dan stabilitas politik juga  sudah banyak yang menelitinya. Salah satunya diulik Applied Spatial Analysis and Policy, yang mencatat ketidakseimbangan ekonomi berhubungan linear terhadap tingkat kejahatan.

Seruan agar politisi tidak flexing, reformulasi fasilitas DPR, pencopotan anggota DPR yang dinilai melukai hati rakyat, juga  bantuan untuk pengunjuk rasa dan keluarganya, hanyalah placebo atau obat palsu yang sifatnya sementara. Negeri ini, khususnya anak-anak muda penerus bangsa, perlu panacea, obat sejati yang menyembuhkan. Tentu, kita tidak mau bonus demografi ini malah menjadi masalah, bukan keuntungan. 

Perbaikan tata kelola negara yang lebih bersih dan komprehensif, kanal demokrasi yang terbuka, dan perbaikan ekonomi dengan ketersediaan lapangan kerja, adalah yang utama. Para muda-muda ini perlu pekerjaan dan penghasilan, agar bisa membentengi diri dari hasutan dengan iming-iming uang. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar