10 September 2021
18:30 WIB
Editor: Rikando Somba
Diantara banyak kutipan menarik soal anak, apa yang ditulis oleh seniman asal Irlandia, Stacia Tauscher menurut penulis, pas sekali menggambarkan kondisi kini dan harapan akan mereka di masa depan.
“We worry about what a child will become tomorrow, yet we forget that he is someone today,” kata Stacia Tauscher.
Ya, isu mengenai anak dan kekerasan belakangan mendominasi pemberitaan. Dua isu itu banyak pula yang berkelindan di beberapa peristiwa.
Di kasus perusakan dan pembakaran Masjid Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat, Polisi mengungkap, salah satu pelaku adalah anak di bawah umur. Namun, penyidik takkan mengadili anak itu. Terhadapnya, aparat menerapkan pendekatan di luar sistem peradilan pidana. Pelaku akan dimediasi dengan korban.
Di Gowa, seorang anak menjadi korban kekerasan kedua orang tua dan keluarganya. AP, seorang anak laki-laki berusia enam tahun, dicongkel matanya oleh pasangan suami-istri TT (45) dan HA (43). Konon, dua orang tua kandung si anak ini, berupaya menjadikannya tumbal pesugihan atau upaya ilmu hitam untuk mendapatkan kekayaan. Lebih miris lagi, kakak bocah ini, ditengarai juga meninggal juga disebabkan upaya sama dari orang tua mereka.
Di Jawa Tengah, wilayah Tegal, tepatnya, sejumlah anak diamankan Polisi. Mereka terlibat praktik prostitusi di sebuah karaoke.
Juga di provinsi yang sama, terjadi pencurian di sebuah sekolah, di SD N 2 Pucanganom, Kapanewon Rongkop, Gunung Kidul. Lima orang pelaku ditangkap dalam kasus tersebut. Mereka adalah anak-anak, siswa maupun mantan siswa dari SD N 2 Pucanganom.
Bersamaan, isu anak juga mewarnai penanganan covid-19. Ada tiga sub-isu dalam hal ini. Yang pertama, adalah anak-anak yang kehilangan orang tua karena pandemi. Kedua, pelaksanaan Pertemuan Tatap Muka di sekolah menimbulkan pro dan kontra. Di cluster isu yang sama, juga ada isu anak yang semestinya tak dilarang masuk pusat perbelanjaan atau mal.
Yang juga tak kalah menarik adalah isu paedofil dan perlindungan anak, beretaliasi dengan penolakan banyak pihak terhadap glorifikasi media atas bebasnya artis Saiful Jamil. Tindakan penyokong kembalinya Saipul Jamil ke pentas hiburan, menegaskan betapa minim dan kaburnya persepsi perlindungan anak di masyarakat kita.
Memang Penting
Semua hal di atas menunjukkan, isu anak sangat pelik dan beragam. Proporsi mereka dalam demografi penduduk memang besar.
Bappenas mengasumsikan proporsi anak-anak berumur 0-14 tahun turun dari 28,6 % pada tahun 2010 menjadi 21,5% pada tahun 2035. Sedang survei BPS pada tahun lalu, menyebutkan jumlah anak, usia dari 0 hingga 19 tahun ada 86 juta. Jumlah penduduk total, menurut sensus pada September 2020 mencapai 270.203.917 jiwa. Ya, porsi anak hampir sepertiga keseluruhan penduduk,
Bahkan, pada 10 tahun mendatang, Indonesia juga bakal menghadapi bonus demografi. United Nations Population Fund mengartikannya sebagai kondisi saat masyarakat berusia produktif lebih banyak daripada masyarakat berusia nonproduktif. Di dekade mendatang, jumlah masyarakat berusia produktif 15-64 tahun ini menguasai 70% atau lebih populasi. Pada dekade itu, penduduk usia produktif diprediksi akan mencapai 205 juta.
Tapi, bonus ini bersyarat. Warga usia produktif ini harus tertampung dalam beragam pekerjaan, dan punya pendidikan yang baik. Jika syarat terpenuhi, niscaya negara pasti kaya. Proporsi tenaga kerja yang besar, menangung beban sedikit yang nonproduktif. Jika sebaliknya yang terjadi, bisa dipastikan banyaknya pengangguran menimbulkan tingginya kejahatan.
Sayangnya, upaya meraih bonus ini kian terjal. Dalam laporan UNICEF perihal level malnutrisi anak edisi 2021, Indonesia mendapat perhatian khusus. Diperkirakan, ada 31,8% anak stunting atau kekerdilan di Indonesia. Dengan nyaris 1 dari 3 anak mengalami kekerdilan, negeri gemah ripah loh jinawi ini diberi cap prevalensi very high. Anak yang menderita stunting, dipastikan kesehatannya kerap terganggu saat dewasa.
Bahkan, dibandingkan dengan Malaysia dan Filipina, dua negara tetangga terdekat yang sebelas-dua belas kondisi kesejahteraannya, Indonesia lebih jeblok. Negeri jiran ada di 20,9%, sedang Filipina ada di 28,7%.

Beban Besar
Laporan bertajuk Towards a child-focused COVID-19 response and recovery: A Call to Action itu juga terang menyebutkan, kondisi pandemi kian membuat gizi dan pendidikan anak kian amsyong.
Kementerian Sosial juga mencatat, ada 25.202 anak yang orangtuanya meninggal akibat Covid-19 per tanggal 7 September 2021. Jumlah ini pasti bertambah, karena data masih dikumpulkan.
Buat para yatim dan piatu ini, Kementerian yang dipimpin Menteri Tri Rismaharini sudah menyiapkan dana Rp 24 mliar. Dana ini bakal diberikan kepada masing-masing anak Rp 300.000 per bulan selama setahun, bagi anak belum sekolah. Buat yang sudah sekolah diberikan Rp 200.000. Apakah di tahun kedua dan seterusnya anak-anak yang sama peroleh bantuan, pemerintah belum menegaskannya.
Yang masih saja ada, bahkan kian mengemuka adalah persoalan putus sekolah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencatat 157 ribu siswa SD hingga SMA putus sekolah pada tahun ajaran 2019/ 2020. Sebarannya ada di berbagai tingkatan pendidikan. Itu yang tercatat tahun lalu. Dengan pandemi berjalan hampir dua tahun, angka putus sekolah diyakini kian banyak.
Beban di pendidikan dan gizi ini diperberat dengan meningkatnya jumlah pernikahan anak. Dalam Catatan Tahunan, Komnas Perempuan mencatat peningkatan dari 2019, yang semulai ada 23.126 kasus pernikahan anak, menjadi 64.211 kasus pada 2020. Angka tersebut melonjak 500% lebih banyak dibandingkan angka dispensasi kawin pada tahun 2018.
Anak yang menikah, dipastikan punya potensi kegagalan rumah tangga. Orang tua yang tak berpendidikan tinggi dan bekerja di level bawah, berimbas pada gizi dan pendidikan anak yang dilahirkan. Semua bak lingkaran setan, berulang.
Kini, buat mengatasi persoalan gizi dan stunting, pemerintah menetapkan dana Rp40,33 triliun di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021. Jumlahnya sedikit meningkat dari Rp39,8 triliun pada APBN 2020.
Sedang untuk pendidikan, justru anggarannya naik 5 kali lipat menjadi Rp550 triliun. Namun, yang dikelola Kemendikbud hanya sebesar Rp 81,5 triliun. Sisanya ada di daerah dan kementerian lainnya. Jadi, sekitar 84% dana dari Rp 550 triliun itu tersebar di banyak pihak lain.
Meski dana kedua hal itu mengalami kenaikan, bisa dipastikan jauh dari ideal. Dari beragam masalah anak, pendidikan dan gizi sejatinya menjadi penentu masa depan. Anak yang nantinya jadi akan menjadi generasi penerus dan penentu, menjadi aset yang harus dijaga mutu, baik dari fisik maupun pendidikannya. Perubahan persepsi terhadap anak, juga masih menjadi ‘pekerjaan rumah’.
Kita tentu ingin pencanangan Indonesia Emas 2045 dengan SDM yang mumpuni, berhasil. Realokasi anggaran, seperti diterapkan dua tahun ini terhadap penanganan kesehatan karena pandemi, selayaknya bisa diterapkan ke depan terhadap hal-hal terkait anak.
Di bidang pendidikan, digitalisasi yang tak terelakkan, harus diantisipasi dan tidak disimplifikasi sekadar bisa menggunakan teknologi. Jangkauan pendidikan untuk anak-anak bangsa di Nusantara, sebagai dasar berpikir, adalah yang utama. Pendidikan yang baik juga menjauhkan anak dari potensi jatuh ke dunia kriminal.
Dengan gerakan masif meningkatkan gizi dan pendidikan anak, mimpi buruk gagal meraih bonus demografi sebagai bangsa yang didominasi pekerja kasar dengan rata-rata orang dewasanya bertubuh pendek dan kerap sakit, masih bisa dihindari.
Yuk, bisa yuk!