19 Juni 2025
19:30 WIB
Lulusan Bekerja Tak Sesuai Jurusan, Cerminan Pendidikan Tinggi Indonesia
Sarjana Teknik jadi sales, lulusan Pertanian kerja di bank—kenapa banyak lulusan pendidikan tinggi kerja tak sesuai jurusan? Mungkin jawabannya ada pada kampus, bukan sekadar nasib.
Penulis: Besyandi Mufti
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi Pendidikan. Shutterstock/Urbanscape
Setiap tahun, jutaan mahasiswa di Indonesia diwisuda dengan penuh haru-biru, kebanggan, dan harapan. Namun, ketika mereka keluar dari gerbang kampus, kenyataan sering kali tak seindah ijazah yang baru diterima.
Tidak sedikit dari mereka yang kemudian bekerja di bidang yang sama sekali tak ada hubungannya dengan jurusan yang mereka ambil selama empat tahun (atau lebih) di perguruan tinggi. Itu masa bagus. Banyak juga yang sabar menganggur bertahun karena belum diterima kerja.
Bahkan, lebih membingungkan lagi, banyak lulusan mengaku tak paham kenapa gelar yang mereka dapatkan tidak mencerminkan apa yang mereka pelajari. Fenomena ini bukan hal baru, tapi kenapa seolah menjadi "normal" di Indonesia?
Pertanyaan awalnya sederhana: kenapa lulusan sarjana banyak yang tidak bekerja sesuai jurusan? Jawaban cepatnya mungkin karena kurangnya lapangan pekerjaan di bidang tersebut. Tapi mari kita telusuri lebih dalam: mengapa lapangan kerja dan sistem pendidikan kita tidak sejalan?
Ada Apa dengan Pendidikan Indonesia?
Setiap tahun, ribuan sarjana di Indonesia mendapati kenyataan pahit: pekerjaan yang mereka jalani tak mirip sedikit pun dengan jurusan kuliah.
Tracer Study dan Badan Pusat Statistik mencatat, lebih dari 60% lulusan di 2023 bekerja di luar bidang studi. Bahkan, mantan Mendikbud Nadiem Makarim pernah menyebut bahwa 80% mahasiswa hanya meniti karier di luar prodinya. Ini bukan sekadar angka — ini cerminan sistem pendidikan yang gagal menjembatani teori dan praktik di dunia kerja.
Fenomena ini dipicu oleh struktur kurikulum yang sering kali berjalan lambat terhadap perubahan industri. Kampus masih menerapkan metode dan teori lama sementara dunia kerja kini menuntut kemampuan digital, pemecahan masalah, dan adaptabilitas. Hasilnya, lulusan merasakan gap signifikan antara apa yang dipelajari dan kompetensi yang dibutuhkan di lapangan. Akhirnya, banyak sarjana dari teknik, pertanian, bahkan sastra terpaksa banting setir: dari sales, bank, sampai content creator.
Lebih jauh, orientasi sistem pendidikan kita masih sangat terpusat pada gelar—S1 tidak jarang mendominasi pencapaian akademis mahasiswa. Hal ini mendorong budaya mahasiswa kuliah hanya demi selembar ijazah, bukan penguasaan ilmu. Sistem evaluasi yang mengutamakan hafalan juga tidak mendukung. Padahal, kemampuan berpikir kritis dan keahlian praktis adalah modal utama di era modern.
Kalau kampus terus memproduksi lulusan yang siap cekal ijazah namun tak siap kerja, itu tanda alarm.
Sistem perlu dirombak: dari kurikulum responsif, sinergi universitas–industri lewat program magang dan pembaruan metode pengajaran, hingga sistem akreditasi yang menitikberatkan output kompetensi nyata, bukan sekadar dokumen formal. Tanpa pembaruan ini, kita hanya akan terus menciptakan sarjana “melek gelar” tanpa arah karier yang jelas.
Imbas Nama “Keren” Sebuah Jurusan
Lebih jauh lagi, permasalahan juga muncul dari desain program studi yang membingungkan. Tidak sedikit jurusan di kampus-kampus ternama yang memiliki nama "unik", namun tidak jelas fokusnya. Misalnya, ada jurusan bernama "Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat" di salah satu kampus ternama Indonesia dengan branding terbarunya, IPB University (digagas pada era kepimimpinan Prof. Dr. Arif Satria, S.P., M.Si. sebagai Rektor IPB University tahun 2017.red).
Di atas kertas terdengar keren, tapi lulusannya justru mendapat gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (S.KPm), alih-alih mendapatkan gelar Sarjana Komunikasi atau Sarjana Sains. Atau jurusan dengan kurikulum dominan teknik, tetapi lulusannya diberi gelar Sarjana Pertanian. Ini membuat banyak mahasiswa bingung menjelaskan ke HRD saat melamar kerja.
Ketidaksesuaian antara nama jurusan, isi kurikulum, dan gelar yang diberikan tidak hanya membingungkan mahasiswa, tapi juga calon pemberi kerja. HRD pun jadi ragu untuk memahami kompetensi riil lulusan. Apalagi tidak semua jurusan punya standar nasional yang seragam. Di satu kampus, jurusan Ekonomi bisa lebih mirip Ilmu Sosial, sementara di kampus lain ia bisa seperti jurusan Matematika Terapan.
Masalah berikutnya adalah sistem akreditasi dan pembukaan program studi yang terlalu longgar. Banyak kampus membuka jurusan-jurusan baru demi menarik calon mahasiswa, tanpa kesiapan infrastruktur dan dosen yang memadai. Akibatnya, mahasiswa menjadi "kelinci percobaan" yang belajar tanpa arah yang jelas. Setelah lulus, mereka tidak punya daya saing di pasar kerja.
Selain itu, sistem tracking lulusan (tracer study) yang seharusnya menjadi alat evaluasi kampus pun tidak berjalan efektif. Banyak kampus mengisi laporan tracer study sekadar formalitas akreditasi, bukan sebagai alat refleksi untuk memperbaiki kurikulum dan metode pengajaran. Akibatnya, tidak ada mekanisme perbaikan yang memadai dalam sistem pendidikan tinggi kita.
Hard Skill dan Soft Skill Kurang Relevan
Peran jurusan kuliah terhadap ketersediaan pekerjaan di Indonesia sejatinya sangat besar—namun sayangnya, jurusan yang diambil terlalu sering tak sejalan dengan kebutuhan nyata di pasar kerja.
Data Kemendikbudristek (2022) menunjukkan hanya sekitar 30% lulusan merasa siap menghadapi tuntutan industri. Ini menunjukkan bahwa jurusan semata tidak cukup jika struktur kurikulumnya tidak diperbarui untuk mencerminkan perkembangan pasar; spesialisasi yang ditawarkan kampus seringkali lebih bersifat teoretis daripada praktis, sehingga menciptakan jurusan yang “nyambung di nama” tapi mandul dalam implementasi di lapangan.
Kondisi ini semakin diperparah oleh minimnya pelatihan keterampilan (skill training) bagi mahasiswa dan pekerja. Sebelum lewat program seperti Kartu Prakerja, lebih dari 90% tenaga kerja di Indonesia tidak pernah mendapatkan pelatihan resmi. Lebih parahnya, data Balai Latihan Kerja (BLK) menunjukkan bahwa 1,18 juta orang tetap menganggur meski telah mengikuti pelatihan, karena materi yang diajarkan tidak relevan atau terlalu dangkal. Ini bukti nyata bahwa tanpa pelatihan praktis yang terstruktur dan tepat sasaran, jurusan kuliah saja tidak mampu membentuk kompetensi yang siap kerja.
Lebih jauh, gap antara lulusan dan dunia industri juga terlihat dari tuntutan skill yang berubah cepat akibat digitalisasi. Banyak perusahaan menyebut kualifikasi calon pegawai tidak memadai—baik dari aspek teknis maupun soft skill, seperti kemampuan berpikir kritis dan beradaptasi. Sementara kampus dan pelatihan formal masih bertumpu pada metode kuno, yakni hafalan dan teori. BIsa ditebak, akibatnya lulusan seringkali memiliki ‘ijazah tebal, tapi tangan kosong.’
Untuk memperbaiki situasi, perlu reformasi dua arah: pertama, jurusan kuliah harus disusun ulang agar relevan dengan sektor-sektor yang berkembang, misalnya teknologi digital, manufaktur berteknologi tinggi, dan jasa kreatif. Kedua, pelatihan keterampilan harus menjadi bagian tak terpisahkan dari pendidikan tinggi dan vokasi, bukan sekadar opsi tambahan.
Model seperti Kartu Prakerja yang menggabungkan voucher pelatihan dengan insentif tunai perlu dikembangkan ke dalam sistem akademik agar lulusan benar-benar memiliki kompetensi siap pakai—bukan hanya gelar di tangan, tapi skill di langit.
Efek Kebingungan
Dari sisi mahasiswa, ada juga yang asal memilih jurusan karena tekanan sosial atau ketidaktahuan sejak awal. Banyak siswa SMA memilih jurusan hanya karena ikut-ikutan teman, saran orang tua, atau karena “katanya gampang masuk.” Saat sudah duduk di bangku kuliah, baru terasa bahwa mereka tidak cocok dengan bidang tersebut. Tapi terlambat untuk berbalik arah.
Fenomena ini diperparah oleh kurangnya bimbingan karier sejak sekolah menengah. Bimbingan konseling yang seharusnya membantu siswa mengenali minat dan potensi diri sering kali hanya berfungsi administratif. Padahal, kesesuaian antara minat, bakat, dan jurusan kuliah sangat menentukan efektivitas pendidikan tinggi.
Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap fakta bahwa banyak mahasiswa yang bekerja di luar jurusan karena sektor informal dan industri digital membuka peluang lebih luas. Misalnya, menjadi YouTuber, desainer lepas, freelancer, atau pengembang aplikasi tidak memerlukan ijazah tertentu. Ini membuat banyak lulusan merasa bahwa gelar sarjana tidak lagi relevan di dunia kerja yang fleksibel dan berbasis skill.
Namun, ini justru menjadi alarm keras bagi sistem pendidikan tinggi. Jika mahasiswa bisa sukses tanpa kompetensi dari jurusannya, lalu untuk apa sebenarnya kampus mempersiapkan mereka? Haruskah kampus hanya menjadi tempat menunggu dewasa dan menerima ijazah?
Solusinya tidak cukup hanya merevisi kurikulum. Diperlukan pendekatan menyeluruh, mulai dari reformasi dalam proses pemilihan jurusan, pembaruan sistem pembelajaran, keterlibatan industri dalam pendidikan, hingga peninjauan ulang sistem pemberian gelar akademik. Kampus harus menjadi tempat yang mengembangkan kompetensi nyata, bukan sekadar mencetak gelar.
Pendidikan tinggi seharusnya menjembatani antara potensi individu dan kebutuhan pasar kerja. Jika jembatan ini retak—bahkan tak terhubung—maka lulusan akan terus berjalan di jalur yang tak sesuai arah. Dan selama kita terus menganggap ini sebagai hal biasa, maka pendidikan tinggi kita hanya akan menghasilkan kebingungan yang lebih besar di masa depan.
Referensi: