c

Selamat

Kamis, 25 April 2024

OPINI

08 Agustus 2022

19:15 WIB

Koperasi Dan Tantangan Global

Koperasi harus dipahami sebagai usaha kerjasama ekonomi yang bertujuan memperbaiki tingkat hidup serta kesejahteraan anggota-anggotanya.

Penulis: Andre Notohamijoyo,

Editor: Faisal Rachman

Koperasi Dan Tantangan Global
Koperasi Dan Tantangan Global
Ilustrasi Logo Koperasi. Sumber: ANTARA FOTO

Dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong, koperasi lahir dengan tujuan menjadi usaha bersama yang sangat kental nuansa Indonesia. Namun, sejak amandemen UUD 1945 tahun 2002, peran koperasi nyaris hanya sebagai pelengkap kebijakan ekonomi Indonesia. 

Penambahan ayat di Pasal 33 UUD 1945 menyebabkan pergeseran dari ekonomi Pancasila ke arah ekonomi liberal. Berbagai platform yang melingkupi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), perusahaan rintisan (start up), dan lainnya, justru menggeser peran koperasi dalam pembangunan nasional di abad ke-21.  

Saat ini, masyarakat Indonesia bisa dibilang mulai merasakan dampak proses pembangunan yang tidak merata. Padahal, tekanan ekonomi yang dialami oleh Indonesia saat ini, akibat pandemi covid-19, krisis pangan, energi dan ekonomi global, hingga perang Rusia-Ukraina, merupakan tanda bahaya dalam pembangunan nasional. 

Menguatnya oligarki, rente ekonomi, dan tindak pidana korupsi menjadi sinyal adanya masalah besar dalam perekonomian Indonesia. Kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng sebagai akumulasi permasalahan rantai pasar industri kelapa sawit, menjadi bukti konkret pilihan pembangunan nasional yang tidak lagi berpihak kepada rakyat kecil. Di sinilah momentum koperasi untuk bangkit kembali.  

Pemahaman masyarakat tentang koperasi perlu dibangun kembali. Koperasi harus dipahami sebagai usaha kerja sama ekonomi yang bertujuan memperbaiki tingkat hidup, serta kesejahteraan anggota-anggotanya yang terbatas kemampuan ekonominya. 

Tujuan koperasi adalah memajukan kesejahteraan dan kemakmuran bersama, bukan untuk kepentingan perorangan yang memiliki modal saja (Sagimun MD:1985). 

Sekadar mengingatkan, sejarah koperasi berawal dari Kota Rochdale, Inggris pada 12 Desember 1844 yang diinisiasi para  buruh dari sebuah perusahaan tekstil. Mereka menyadari perlunya upaya yang lebih efektif untuk memperbaiki kondisi ekonomi selain menuntut kenaikan upah. 

Mereka membentuk perkumpulan bernama The Rochdale Equitable Pioneers Society. Perkumpulan tersebut bergotong royong mendirikan sebuah toko koperasi yang melayani kebutuhan sehari-hari di Toad Lane, Rochdale. 

Toko koperasi tersebut kemudian berkembang pesat dan memenuhi kebutuhan hidup anggota-anggotanya, mulai dari kebutuhan sehari-hari, pengobatan, perumahan hingga pendidikan. 

Keberhasilan Koperasi Rochdale menjadi inspirasi dan diikuti kesuksesan gerakan koperasi di berbagai negara, antara lain Denmark dan Jerman.

Di Indonesia, koperasi sendiri mulai berkembang sejak akhir abad ke-19. Saat itu, Pamong Praja Patih Purwokerto, Raden Aria Wiriaatmadja, beserta para pamong praja mendirikan bank simpan pinjam, untuk membantu para pegawai pribumi melepaskan diri dari lilitan utang. Asisten Residen saat itu, De Wolf Van Westerrode, menganjurkan agar Bank tersebut menjadi koperasi (www.kemendikbud.go.id). 

Selanjutnya, Organisasi Boedi Oetomo turut berperan dalam membangun koperasi di awal abad ke-20. Demikian pula dengan kehadiran Serikat Dagang Islam (SDI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI). 

Wakil Presiden pertama Republik Indonesia, Drs. Mohammad Hatta atau akrab dipanggil Bung Hatta kemudian memperkuat koperasi dengan menggali filosofi asas kekeluargaan. 

Asas kekeluargaan merupakan sebuah pengejawantahan sikap gotong royong yang menjadi basis kekuatan ekonomi nasional. Asas kekeluargaan harus dimaknai bukan sebagai family, melainkan sebagai sebuah brotherhood (Swasono: 2004). 

Kongres Koperasi pertama yang diselenggarakan di Tasikmalaya, Jawa Barat pada tanggal 12 Juli 1947 kemudian ditetapkan menjadi Hari Koperasi. 

Kini, setelah digitalisasi melanda semua aspek kehidupan, koperasi harus dapat berselancar menghadapi berbagai tantangan disrupsi yang timbul. Mereka harus sadar, perkembangan ekonomi digital saat ini cenderung menjadikan masyarakat sebagai konsumen dan target pasar semata. 

Koperasi harus dapat menjadi solusi untuk mengoptimalkan peran serta masyarakat secara produktif. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menimpa perusahaan rintisan/start up di bidang teknologi informasi, seharusnya merupakan blessing in disguise bagi koperasi. 

Dalam kondisi ini, koperasi bisa menjadi alternatif dalam mendongkrak perekonomian dengan berlandaskan pada kemanusiaan, gotong royong, kesetiakawanan sosial, keadilan sosial dan kewirausahaan. Hal-hal yang telah lama menghilang dari pembangunan nasional. 

Hal yang harus diwaspadai juga adalah terulangnya kekeliruan pembangunan ekonomi di era Orde Baru yang berujung pada krisis ekonomi tahun 1997-1998. Disiplin anggaran yang tidak dijaga secara ketat, liberalisasi terpimpin, pembangunan yang tidak merata, penindasan politik, dan pelanggaran hak asasi manusia di era tersebut harus dijadikan pembelajaran (Thee: 2005).      

Demikian pula dengan kebijakan yang merusak tatanan perekonomian dan meminggirkan masyarakat termasuk petani dan nelayan. IMF/World Bank turut andil dalam kekeliruan pembangunan ekonomi nasional tersebut melalui Washington Consensus yang mengarahkan pembangunan negara-negara berkembang hingga terjerumus dalam krisis ekonomi yang berkepanjangan (Stiglitz: 2003). Pemerintah perlu mengevaluasi pembangunan ekonomi nasional saat ini. 

Reaktualisasi koperasi harus dapat diwujudkan selaras dengan semangat gotong royong yang saat ini mulai terkikis oleh individualisme di Indonesia. Gotong royong (mutual cooperation) merupakan sebuah intangible asset yang sangat berharga dan merupakan pondasi pembangunan yang kuat dalam menghadapi tantangan global. 

Memang, membangun semangat gotong royong bukan hal yang mudah, terlebih kesetiakawanan sosial masyarakat saat ini justru melemah. Tapi, apapun kondisinya, Indonesia perlu segera berbenah. 

Tahun 2020-2036, Indonesia memasuki periode bonus demografi, suatu keadaan dengan komposisi jumlah penduduk yang berusia produktif (15-64 tahun) lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk usia tidak produktif. Tanpa pembangunan ekonomi yang tepat dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat, bonus demografi dapat berubah menjadi bonus masalah, seperti pengangguran, putus sekolah, dan lain-lain.

Yakinlah, segenap komponen bangsa ini harus bergotong royong membangun kembali platform koperasi. Membangun kemandirian ekonomi melalui koperasi, merupakan salah satu kunci utama dalam menyukseskan pembangunan nasional. Pengelolaan koperasi yang bagus pun dapat mejadi jalan dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.




KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar