13 Desember 2024
17:00 WIB
Kemudahan Di Balik Paylater: Peluang atau Lingkaran Utang Baru?
Kini, kian banyak perusahaan fintech dan perbankan yang ikut menyediakan layanan paylater. Tren ini mengikuti layanan paylater yang kian digandrungi.
Penulis: Aloysius Elan Satria Wijaya
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi layanan paylater. Shutterstock/dok
Paylater mulai hadir di Indonesia sekitar tahun 2016 - 2017, bersamaan dengan berkembangnya platform e-commerce dan teknologi finansial (fintech). Kehadirannya menjadi opsi pembayaran yang lebih fleksibel dan menawarkan kemudahan dalam berbelanja online.
Layanan kredit digital mulai diperkenalkan oleh fintech, yang menyediakan opsi pembayaran dengan cicilan tanpa kartu kredit pada 2016. Pada saat yang sama, layanan e-wallet juga mulai berkembang, menciptakan ekosistem pembayaran digital yang mendukung pertumbuhan paylater. Kemudian, pada 2018–2019 e-commerce besar mulai mengintegrasikan fitur paylater di platform mereka.
Pada dasarnya, paylater adalah bentuk kredit jangka pendek yang dirancang agar mudah diakses tanpa memerlukan proses kompleks seperti pinjaman konvensional. Beberapa ciri paylater, antara lain persetujuan yang cepat; tidak menggunakan kartu kredit, bunga, dan pinalti; serta terintegrasi dalam ekosistem digital.
Kehadiran paylater bertujuan meningkatkan daya beli pengguna, mempercepat transaksi di platform digital, dan menyediakan solusi kredit bagi pengguna yang belum terjangkau oleh perbankan konvensional. Kehadiran layanan ini juga tidak lepas dari gaya hidup masyarakat dan perkembangan teknologi yang kini menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, bisa dibilang paylater berperan sebagai pendorong transformasi perilaku utang tradisional menjadi utang digital.

Hadirnya utang digital mulai menggantikan praktik utang tradisional yang biasanya melibatkan interaksi sosial yang juga disertai dengan norma, etika, dan kontrol sosial. Paylater menggeser interaksi sosial menjadi ranah personal yang melibatkan algoritma platform digital dan kontrak legal.
Sejatinya, penggunaan kontrak legal dalam paylater, sebenarnya sudah ada saat mengakses pinjaman konvensional seperti bank. Tidak bisa dipungkiri, paylater memang memberikan sejumlah kelebihan jika dibandingkan dengan pinjaman konvensional.
Kebutuhan vs. Keinginan
Paylater memudahkan pengguna untuk mendapatkan suatu barang dan melakukan pembayaran. Penggunaan paylater seolah meningkatkan daya beli konsumen terhadap suatu barang, baik barang yang dibutuhkan atau yang diinginkan. Perilaku pembelian barang karena keinginan atau kebutuhan tentu saja bergantung pada keputusan pengguna layanan dengan slogan Buy Now Pay Later (BNPL).
Pembelian barang menggunakan paylater karena keinginan sering kali merujuk pada gaya hidup; produk-produk yang dibeli terintegrasi dengan e-commerce, seperti pakaian, alat kecantikan, dan pembelian gadget; atau sekadar mengikuti tren.
Studi kasus yang dilakukan oleh Siti Marisa Bila dan Novi Marlena (2024) menunjukkan bahwa gaya hidup dan perilaku konsumtif memengaruhi keputusan penggunaan layanan tersebut dengan pemberian barang, seperti pakaian, tas, dan aksesoris. Hal ini sejalan dengan penelitian Indrawati (2015), bahwa pengguna e-commerce rela menggunakan paylater untuk membeli produk-produk yang tengah trending di lingkungan pergaulannya. Keputusan pembelian seperti ini biasanya menyasar barang-barang sekunder atau tersier.
Pengguna paylater dengan perilaku demikian biasanya didorong oleh hasrat seperti kesenangan atau kebahagiaan. Meskipun belum tentu relevan, terdapat kecenderungan adanya keinginan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain, termasuk mendapatkan status sosial dan prestise.
Sementara itu, faktor eksternal yang menguatkan keputusan tersebut adalah paparan iklan dari media sosial yang menawarkan promosi diskon jika menggunakan paylater, kemudahan membayar dengan cicilan lebih dari tiga bulan, dan lingkungan pergaulan penggunanya.
Perilaku yang berbeda dari studi kasus yang dilakukan oleh Azzami Amatulloh dkk (2024). Dalam analisisnya, ia menyebutkan bahwa terdapat pula pengguna paylater membeli kebutuhan sehari-hari mereka.
Perilaku pembelian barang melalui e-commerce untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari berasal dari individu miskin dan rentan, karena tidak bisa memenuhi persyaratan administrasi pinjaman konvensional lalu menjadikan paylater sebagai alternatif. Misalnya, yang terjadi di Amerika. Kebanyakan pengguna paylater di Amerika merupakan anak muda yang tidak punya akses keuangan, dan berasal dari kelompok rentan miskin.
Federal Reserve Bank of New York (2023) menunjukkan bahwa 60% pengguna paylater di Amerika adalah kelompok rentan atau memiliki masalah dengan skor kredit. Termasuk, pernyataan dari Financial Health Network (2024) yang menyampaikan bahwa kelompok rentan miskin lebih sering menggunakan paylater dan berpotensi tidak mampu melunasi pinjamannya.
Perilaku lain yang berbeda dari dua perilaku di atas menggunakan paylater sebagai alat fleksibilitas dan produktivitas. Pengguna dengan perilaku ini cenderung memiliki pendapatan yang stabil, sehingga mengakses paylater tanpa mengganggu arus keuangan mereka. Selain itu, kebutuhan fisiologis mereka sudah terpenuhi dan tidak tertarik mengikuti tren.
Paylater memang bagian integral dari struktur masyarakat yang menyentuh dimensi ekonomi, sosial, dan budaya para penggunanya. Tentu saja paylater bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, memenuhi gengsi, atau sebagai alat fleksibilitas dan produktivitas. Namun, tiap pengguna berdasarkan karakteristiknya juga memiliki risiko yang tidak bisa digeneralisasi.
Paradoks Kemudahan Dan Bahaya
Penggunaan paylater mencerminkan ironi yang cukup signifikan, terutama dalam konteks sosial dan ekonomi masyarakat. Pada intinya, layanan BNPL dihadirkan sebagai solusi inovatif untuk memberikan fleksibilitas pembayaran bagi masyarakat yang belum memiliki akses ke fasilitas kredit konvensional seperti kartu kredit.
Paylater didesain untuk membantu pengguna mengatur pembayaran kebutuhan tertentu secara bertahap. Mirisnya, paylater justru sering kali memunculkan masalah baru, terutama bagi kelompok rentan. Pasalnya, kemudahan ini sering kali dimanfaatkan untuk pembelian barang-barang konsumtif, seperti gadget, fesyen, atau hiburan, yang sebenarnya bukan kebutuhan mendesak. Hal ini berpotensi menciptakan perilaku konsumtif di kalangan pengguna muda dan masyarakat dengan kemampuan finansial terbatas.
Proses pendaftaran yang cepat tanpa verifikasi ketat menarik masyarakat dari kelompok ekonomi rentan. Mereka yang seharusnya berhati-hati dalam pengelolaan keuangan, justru tergoda oleh ilusi kemampuan finansial, yang sering kali berakhir dengan tumpukan utang dan denda tinggi akibat gagal bayar. Akibatnya, alih-alih meningkatkan kesejahteraan, paylater sering digunakan oleh kelompok masyarakat berpenghasilan rendah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Hal ini menunjukkan ketidakseimbangan akses ke sumber daya finansial, di mana mereka tidak memiliki pilihan lain selain bergantung pada layanan seperti paylater, yang sering kali memiliki suku bunga atau biaya tersembunyi yang membebani.
Meskipun paylater memberikan manfaat seperti membantu masyarakat memenuhi kebutuhan mendesak atau memenuhi kebutuhan sehari-hari, risiko yang ditanggung pengguna sering kali lebih besar dibandingkan manfaatnya. Buat penyedia layanan, pastinya diuntungkan dari bunga dan denda yang dikenakan. Sebaliknya, pengguna berisiko terjebak dalam lingkaran utang.
Penggunaan paylater di Indonesia menunjukan hal paradoksal. Kemudahan yang ditawarkan mengakibatkan bahaya laten. Akibatnya, layanan ini dapat mendorong inklusi keuangan.
Tanpa edukasi dan regulasi yang tepat, paylater berpotensi memperburuk kesenjangan ekonomi dan meningkatkan risiko kemiskinan bagi kelompok rentan. Oleh sebab itu, sudah seharusnya pengawasan terhadap penyedia layanan dan edukasi pengguna untuk memastikan penggunaan yang bijak, lebih dipertegas intensitasnya, sebagaimana derasnya iklan terhadap layanan ini sendiri.
Referensi:
Astuti, M. D., & Dasman, S. (2024). Pengaruh Kemudahan Penggunaan Paylater Terhadap Perilaku Konsumtif Dengan Lifestyle Sebagai Variabel Moderasi. Jurnal Ekonomi, Manajemen, Dan Akuntansi, 10(5), 2893–2899.
Chernovita, H. P. (2020). The Role of Financial Literacy to Suppress Temptation of Using PayLater Service. Universitas Kristen Satya Wacana.
Erlita, Ridanasti. Jundiy, Aqilla, Abdurrahman. 2023. Understanding the Influence of Perceived Usefulness, Perceived Ease of Use, and Perceived Enjoyment on Attitude and Byung Intention Usin Buy Now Pay Later Service. Journal of Economics, Business and Accounting. 7 (6).
Landsel, D. (2022). How Buy Now, Pay Later is changing how consumers think about travel. Fast Company. https://www.fastcompany.com/90749906/buy-now-pay-later-travel-industry
Lingga, D. (2023). PayLater untuk Perjalanan. Bisnis Indonesia. %https://bisnisindonesia.id/article/paylater-untuk-perjalanan
Novendra, Bayu. Safira, Sarah. 2020. Konsep dan Perbandingan Buy Now, Pay Later Dengan Kredit Perbankan di Indonesia: Sebuah Keniscayaan di Era Digital dan Teknologi. Jurnal RechtsVinding 9(2).
Sari, R. (2021). Pengaruh Penggunaan Paylater Terhadap Perilaku Impulse Buying Pengguna E-Commerce di Indonesia. Jurnal Riset Bisnis Dan Investasi, 7(1), 44–57.
Salahudin, Salahudin. Pratika Yeyen. Riyanto, Usdek. Ambarwati, Titiek. 2021. Analysis of Pay Later Payment System on Online Shopping in Indonesia. Jurnal of Economics Business and Accountancy Ventura. 23(3).
Widyanti, N. N. W. (2022). 4 Layanan Paylater untuk Liburan, Jalan-jalan Dulu Bayar Kemudian. Kompas.Com. https://travel.kompas.com/read/2022/07/22/181742427/4-layanan-paylater-untuk-liburan-jalan-jalan-dulu-bayar-kemudian?page=all