23 Juni 2025
17:00 WIB
Isu Jakarta Tenggelam; Mengulang Sejarah Atau Menemukan Solusi?
Isu Jakarta tenggelam sudah berkali-kali menggema karena masalah banjir yang tak kunjung usai. Kini, ternyata Jawa Barat ikut terancam mengalami masalah serupa.
Penulis: Handoyo
Editor: Rikando Somba
| Sejumlah kendaraan menerobos banjir di Jalan Perjuangan, Kebon Jeruk, Jakarta, Selasa (4/3/2025). AntaraFoto/Fathul Habib Sholeh |
Jakarta pernah menjadi ikon modernisasi yang menarik perhatian dunia. Dalam periode kepemimpinan Ali Sadikin tahun 1966 hingga 1977, kota ini tumbuh tidak sekadar dari segi infrastruktur, tapi juga dalam kehidupan sosial dan kebudayaannya.
Perkembangannya persis seperti imajinasi Silver (2008) tentang kota ideal yang tidak sekadar berorientasi pada beton, tetapi juga pada manusianya. Namun, warisan tersebut perlahan luntur oleh tekanan kapitalisme kota yang semakin agresif.
Kini Jakarta justru identik dengan krisis ekologis perkotaan, terutama banjir. Masalah banjir ini bukan fenomena alam belaka, tetapi akibat dari ketimpangan sosial dan tata kelola lingkungan yang buruk yang diwariskan sejak era kolonial. Tata ruang Batavia dengan kanal-kanal bergaya Amsterdam, menurut Van Roosmalen (2014), lebih banyak menciptakan segregasi sosial ketimbang solusi nyata mengatasi banjir.
Apa jadinya kota jika sejak awal dirancang untuk membatasi, bukan melindungi? Mungkin jawabannya terlihat dari pergerakan masyarakat kelas bawah yang terus terdorong ke lokasi-lokasi yang paling rentan bencana, seperti bantaran sungai atau pesisir yang selalu terendam air laut.
Dalam beberapa dekade terakhir, ruang terbuka hijau Jakarta terus berkurang secara drastis akibat ekspansi urban yang tak terkendali. Hilangnya area resapan air ini, sebagaimana dilaporkan Firman (2009), mempercepat aliran air permukaan dan memperburuk banjiran di ibu kota.
Lebih parah lagi, Abidin dkk. (2015) menemukan bukti empirik eksploitasi air tanah yang berlebihan telah menyebabkan turunnya permukaan tanah secara drastis, mencapai lebih dari sepuluh sentimeter per tahun. Ini bukan lagi persoalan teknis yang bisa diselesaikan sekadar dengan pompa atau tanggul. Lebih jauh, kita ditunjukkan lemahnya tata kelola kota yang cenderung bias pada kepentingan investasi, sebuah kondisi yang sudah lama gaungkan oleh Harvey (2012).
Di Jawa Barat, situasi yang hampir sama mulai terasa. Provinsi ini menghadapi urbanisasi yang liar, eksploitasi sumber daya yang tak terkendali, dan peralihan fungsi lahan hijau yang drastis.
Kawasan konservasi seperti Puncak sudah berubah menjadi pusat wisata dan hunian elite yang mempersempit ruang ekologis.Demikian pula dengan Bekasi, Karawang, hingga Cirebon yang kini dipadati kawasan industri yang mengabaikan aspek ekologis. Apakah ini sekadar gejala modernisasi, atau tanda kegagalan memaknai ruang sebagai hak publik?
Di tengah ancaman tersebut, Gubernur “Kang” Dedi Mulyadi (KDM) tampil dengan kebijakan berbasis lingkungan yang pada pandangan pertama tampak inovatif dan progresif. Ia dikenal dengan langkah-langkah langsung dan lugas—merapikan bantaran sungai, menindak bangunan ilegal, hingga menghentikan aktivitas tambang-tambang liar yang merusak kawasan lindung.
Namun, dalam praktik kebijakan publik, tindakan cepat tidak selalu linier dengan keberhasilan jangka panjang. Abidin Kusno (2011) mengingatkan bahwa kebijakan lingkungan yang bergerak secara sepihak dan koersif tanpa membangun ruang partisipasi warga sering kali justru menimbulkan gesekan sosial baru. Kebijakan yang dilaksanakan tanpa dialog cenderung menciptakan keterputusan antara negara dan masyarakat, suatu kondisi yang tidak hanya melemahkan legitimasi kebijakan, tetapi juga menyisakan trauma kolektif.
Anggota Kopasgat TNI AU mengevakuasi warga menggunakan perahu karet di Perumahan Pondok Gede Permai, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (4/3/2025). AntaraFoto/Jasmine Nadhya Thanaya
Studi AbdouMaliq Simone (2010) memberi konteks penting dalam hal ini. Ia menunjukkan bahwa masyarakat miskin di wilayah urban kerap menggantungkan kehidupannya pada jaringan sosial informal yang dibangun dari waktu ke waktu, bukan dari akses formal atas tanah atau hunian. Maka, penggusuran tanpa perlindungan sosial atau skema relokasi yang adil bukan hanya memindahkan orang dari satu titik ke titik lain, tetapi turut meruntuhkan struktur solidaritas dan ekonomi yang menopang kehidupan mereka.
Ruang bisa dibangun ulang. Tapi jaringan hidup? Tidak semudah itu. Dalam konteks Jawa Barat, bila kebijakan ekologis hanya dimaknai sebagai urusan teknis dan estetika ruang, tanpa menyentuh dimensi hak sosial warga, maka kita hanya akan mengulang kekeliruan Jakarta, mengatur ruang, tapi melupakan penghuni.

Kepemimpinan semacam ini tentu mengundang apresiasi, tetapi juga membutuhkan dukungan kelembagaan yang luwes dan berorientasi pada pemecahan masalah struktural.
Pemimpin dapat bergerak cepat, tetapi tanpa arsitektur kebijakan yang tanggap dan berkelanjutan, langkah-langkah tersebut akan mudah terhenti atau bahkan berbalik arah saat rezim berganti. Dalam konteks inilah pentingnya membangun apa yang oleh beberapa pemikir tata kelola kota disebut sebagai ekologi kelembagaan, yakni ekosistem regulasi, birokrasi, dan partisipasi warga yang saling menopang, bukan saling menegasikan seperti yang dikemukakan oleh Hajer & Wagenaar (2003) dan Ostrom (2005).
Sejalan dengan hal itu, Healey (1997) dan Evans (2011) juga melihat bahwa struktur kelembagaan yang demikian memungkinkan kebijakan berkembang bukan hanya karena figur pemimpinnya, tetapi karena adanya daya lenting kelembagaan yang mampu belajar, beradaptasi, dan bertransformasi bersama masyarakatnya. Tanpa ini, inovasi kebijakan akan selalu bergantung pada keberadaan satu tokoh, alih-alih menjadi praktik yang melembaga secara luas.
Sebagian pihak menilai, mitigasi bencana dan kebijakan lingkungan sesungguhnya adalah seni mengelola ruang hidup warga secara adil dan demokratis, sebagaimana argumentasi Padawangi (2019). Tanpa partisipasi warga dalam perencanaan ruang dan kebijakan lingkungan, maka semua kebijakan yang tampak progresif di permukaan hanya akan menjadi proyek populis yang tidak menyentuh akar persoalan. Kota yang gagal mengintegrasikan kepentingan ekologis dengan kebutuhan masyarakatnya akan terus dihantui oleh krisis lingkungan yang tidak berkesudahan, sebuah peringatan yang berulang kali diungkapkan oleh Brenner (2014).

Keberhasilan kebijakan publik di Jawa Barat kini sangat bergantung pada keberanian pemimpin sebagai agen inovatif yang mampu mengubah paradigma pembangunan secara fundamental, persis seperti yang diumpamakan oleh Giddens (1984;1991) sebagai agen perubahan yang futuristis dan transformatif. Tanpa paradigma seperti ini, Jawa Barat berpotensi jatuh dalam jebakan yang sama seperti Jakarta: tumbuh pesat secara ekonomi tetapi terpuruk secara ekologis dan sosial.
Sejarah telah mengajarkan bahwa kota bukan sekadar ruang fisik yang tumbuh secara mekanis sebagaimana digambarkan Dunn (2018), melainkan entitas sosial-ekologis yang kompleks, yang keseimbangannya harus terus dijaga. Oleh karena itu, mitigasi bencana tidak bisa lagi dipandang sebagai masalah teknis semata, melainkan harus menjadi bagian integral dari transformasi sosial-ekologis yang berkelanjutan.
Di titik inilah tantangan besar Jawa Barat berada. Apakah provinsi ini akan sekadar mengulang sejarah kelam Jakarta, atau mampu menemukan solusi berkelanjutan yang berbasis keadilan sosial dan ekologis?
Kini, arah sudah terbuka. Tapi apakah kita cukup berani memilih jalur yang tidak populer? Pilihan ini tidak mudah, tetapi perlu segera diambil. Jika tidak, Jawa Barat hanya akan menjadi babak baru dalam sejarah panjang kota-kota yang tenggelam karena melupakan keseimbangan lingkungan dan hak warga negaranya.
*) Handoyo merupakan peneliti BRIN.
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili institusi tempat penulis bekerja.
Referensi: