c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

OPINI

27 Desember 2023

16:30 WIB

Aspek Ekonomi Agroforestri Sebagai Model Jangka Benah Di Kawasan Hutan

Bagaimana aspek ekonomi dari agroforestri berbasis kebun sawit sebagai model jangka benah di kawasan hutan?

Penulis: Ismatul Hakim

Editor: Rikando Somba

Aspek Ekonomi Agroforestri Sebagai Model Jangka Benah Di Kawasan Hutan
Aspek Ekonomi Agroforestri Sebagai Model Jangka Benah Di Kawasan Hutan
Ilustrasi pekerja menyusun tandan buah segar (TBS) kelapa sawit hasil panen. Antara Foto/Wahdi Septiawan

Sawit telah lama berkontribusi terhadap perekonomian nasional. Bahkan, saat ini menjadi komoditas penyumbang devisa negara terbesar diluar sektor migas. Kondisi booming ekonomi kelapa sawit ini terus berkembang seiring peningkatan variasi produk turunan minyak CPO (Crude Palm Oil). 

Sejak dulu, dampak peningkatan luas perkebunan sawit terjadi secara eksponensial di seluruh wilayah Indonesia terutama terkait tumpang tindih areal perkebunan sawit dan kawasan hutan. Semakin bertambah rumit ketika menyangkut penguasaan tanah oleh masyarakat yang masih beririsan dengan kawasan hutan. 

Luas perkebunan sawit rakyat terus meningkat. Kini telah mencapai kurang lebih 41% dari luas total perkebunan sawit nasional. Sengkarut masalah agraria yang telah terjadi puluhan tahun ini masih tak kunjung menemukan titik temu. Apalagi, dilihat dari basis data spasial yang belum tersedia dan tingkat akurasinya yang juga masih menjadi permasalahan. 

Meski demikian, produktivitas kebun sawit rakyat tersebut masih tertinggal sangat jauh dibandingkan dengan produktivitas sawit berskala besar yang dikelola oleh perusahaan secara komersial. Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial yang berujung pada ekstensifikasi lahan sawit guna mencapai skala ekonomi yang menguntungkan (Budiadi et al. 2018).   

Beragam upaya telah dilakukan terutama melalui pendekatan regulasi yang terus berkembang. Upaya-upaya pencarian solusi utamanya untuk pemulihan fungsi ekosistem hutan dengan kebun-kebun kelapa sawit yang sudah “terlanjur” berada di dalamnya. Salahsatu upaya yang dilakukan saat ini melalui strategi jangka benah.

Jangka Benah merupakan periode yang dibutuhkan untuk memperbaiki struktur dan fungsi hutan yang rusak akibat ekspansi budidaya secara monokultur untuk kembali menjadi hutan dalam kondisi normal atau mendekati normal, dalam bentuk model kebun campur atau agroforestri.

Jangka Benah telah menjadi kebijakan nasional sejak diterbitkannya PP No.23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja. Hadirnya regulasi ini harus dapat menjadi instrumen transformasi sosial, ekonomi dan lingkungan dalam menghadapi posisi sawit sebagai komoditas andalan untuk menopang perubahan ekonomi lokal.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana aspek ekonomi dari agroforestri berbasis kebun sawit sebagai model jangka benah di kawasan hutan?


Truk bermuatan kelapa sawit menuju pabrik Permata Bunda di Pematang Panggang, Mesuji, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Senin (17/7/2023). Antara Foto/Budi Candra Setya 

 


Agroforestri Berbasis Perkebunan Sawit
Pada dasarnya praktek agroforestri ini secara luas telah lama dipahami masyarakat di berbagai wilayah dan telah memiliki istilah tersendiri, misalnya simpukan di Kalimantan Timur, tembawang di Kalimantan Barat, repong di Lampung Barat, dan sebagainya. 

Pola agroforestri dapat dianggap berhasil apabila mampu meningkatkan produktivitas, berkesinambungan dan mudah diterapkan petani sehingga dapat dikembangkan pada skala yang luas. Terlebih petani cenderung berminat pada tanaman yang bisa dikomersialkan dalam waktu singkat karena lebih cepat berkontribusi terhadap pendapatan (Diniyati et al. 2013).

Hal tersebut telah didukung beberapa hasil penelitian yang menyebutkan pengembangan multiusaha kehutanan dengan pola agroforestri berbasis kelapa sawit dinilai dapat meningkatkan pendapatan masyarakat (Muryunika 2015; Yuniati 2018) dan juga dapat mengakomodir kepentingan ekologi (Gérard et al. 2017; Teuscher et al. 2016).

Menurut Muryunika (2015), strategi prioritas dalam pengelolaan dan pengembangan agroforestri berbasis kelapa sawit memerlukan pendidikan dan pelatihan penyuluh, agar menciptakan penyuluh-penyuluh yang profesional, sehingga mampu menjembatani hubungan antara kepentingan pemerintah dengan harapan masyarakat dan berbagai elemen terkait lainnya. 

Kemudian, penelitian pada lokasi yang sama, Gérard et al. (2017) mendapatkan hasil studi bahwa pada kurun waktu satu sampai dua tahun setelah penerapan penanaman pengayaan di sela kelapa sawit, tidak terjadi penurunan hasil panen kelapa sawit yang berada di dalam plot eksperimen. 

Faktanya memang tingginya variasi pada berbagai tipologi kebun sawit di kawasan hutan menyebabkan pentingnya pola pertanaman dan pemilihan jenis pengkaya pada kebun sawit perlu dikembangkan supaya bisa adaptif dengan berbagai tipologi biofisik lahan yang ada. Misalnya, pengembangan pola agroforestri yang mencampur lahan kebun sawit dengan pohon tembesu (Fagraea fragrans). Tembesu merupakan salah satu jenis kayu andalan yang populer di Sumatera bagian selatan (Sumatera Selatan, Jambi dan Lampung), memiliki nilai ekonomi dan nilai budaya yang tinggi bagi masyarakat lokal (Nursanti et al., 2017). 

Pada umumnya, pilihan komoditas yang sesuai menurut kesesuaian lahan lebih banyak dibandingkan komoditas yang diinginkan petani. Kadang-kadang ada ketidaksesuaian antara pilihan petani dengan kesesuaian lahan. 

Berdasarkan pertimbangan kemudahan pemasaran, tingkat harga jual dan kemudahan pemeliharaan menjadi penentu preferensi petani. Petani juga berkeyakinan bahwa pilihan mereka sesuai untuk lingkungan setempat. Dari hasil penelitian Nurida et al. (2020) di Kabupaten Berau Kaltim, komoditas perkebunan yang dapat dikembangkan berdasarkan kesesuaian lahan dan preferensi petani adalah lada, karet dan kelapa sawit. 

Komoditas kehutanan pilihan petani adalah gaharu, mahoni, sengon dan akasia. Petani menyukai tanaman sengon karena pertumbuhannya cepat, mudah dibudidayakan dan kayunya diterima di industri panel dan kayu pertukangan (Krisnawati et al. 2011). 

Namun demikian, sengon tergolong komoditas yang tidak direkomendasikan karena tidak sesuai dengan karakteristik lahan terdegradasi di Berau. Ditinjau dari kesesuaian lahan, leucaena (lamtoro) merupakan salah satu komoditas yang direkomendasikan baik sebagai tanaman kayu maupun sebagai sumber pakan ternak.

Berdasarkan penelitian-penelitian terkait penerapan agroforestri berbasis kelapa sawit yang telah dilakukan sebelumnya, jelas bahwa praktek agroforestri sawit memberikan manfaat konservasi, baik sebagai cadangan hutan dan sumber kebutuhan masyarakat (Bhagwat dan Willis 2009). 

Tentunya, agroforestri akan sesuai untuk pelaksanakan jangka benah jika praktek agroforestri sawit memiliki penutupan tajuk pohon > 40% memenuhi kaidah budidaya hutan. Sementara itu, apabila agroforestri sawit dengan penutupan tajuk pohon < 40% tidak memenuhi kaidah budidaya hutan, sehingga tidak dapat diimplementasikan dalam kegiatan jangka benah.


Kelayakan Ekonomi Agroforestri Sawit 
Terkait kelayakan ekonomi, Yuniati (2018), menilai kelayakan finansial pola agroforestri berbasis kelapa sawit lebih menguntungkan secara ekonomi daripada pola kelapa sawit monokultur. Penerapan agroforestri secara umum akan menghasilkan diversifikasi produk dari suatu pengelolaan lahan, sehingga berpotensi meningkatkan pendapatan yang akan diterima oleh pengelolanya (Muryunika 2015; Phimmavong et al. 2019; Wanderi et al. 2019).

Untuk melihat sejauh mana suatu usaha agroforestri memberikan kentungan, maka digunakan analisis berbasis finansial. Analisis finansial dilakukan untuk membandingkan biaya dan manfaat dan keuntungan yang akan didapat berdasarkan ukuran yang umum digunakan seperti nilai Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR) dan Internal Rate of Return (IRR). 

Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai NPV>0, BCR>1, dan IRR> 1. Hal tersebut berarti pola agroforestri berbasis kelapa sawit layak secara finansial (Kadariah et al. 1999). Pendapatan terbesar dari pola ini akan didapatkan pada tahun ke-25 atau akhir periode perencanaan. 

Pola agroforestri berbasis kelapa sawit akan menghasilkan rata-rata potensi pendapatan per tahun sebesar Rp 105.519.905/ha, atau rata-rata potensi pendapatan per bulan sebesar Rp 8.793.325/ha. Biaya yang dikeluarkan untuk penerapan pola ini cukup besar dengan rata-rata biaya per tahun sebesar Rp 42.404.307/ha, atau biaya rata-rata per bulan sebesar Rp 3.533.692/ha. 

Oleh karena itu, potensi keuntungan bersih dari penerapan agroforestri berbasis kelapa sawit adalah sebesar Rp 5.259.633/ha/bulan. Pola agroforestri berbasis kelapa sawit secara umum lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan pola kelapa sawit monokultur (Rahmani, 2020).

Selain itu, dalam agroforestri berbasis kelapa sawit ini, akan diperoleh beberapa produk samping hasil olahan kelapa sawit dari pabrik kelapa sawit. Produk samping yang akan diperoleh dari minyak sawit adalah Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS), serat perasan lumpur sawit (solid dan bungkil kelapa sawit). 

Setiap 1.000 kg tandan buah segar (TBS) dapat diperoleh minyak sawit sejumlah 250 kg, lumpur sawit 294 kg, bungkil sawit 35 kg, serat perasan 180 kg dan 21-23% tankos kelapa sawit (Kresnawaty et. al., 2017).  Komponen terbesar dari TKKS adalah selulosa (40-60%), disamping komponen lain yang jumlahnya lebih kecil seperti hemiselulosa (20-30%) dan lignin (15-30%) (Asmawit dan Hidayati, 2016).  Limbah tanaman sawit tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kompos dan bahan baku untuk pembuatan asap cair.  

Pelepah dan daun kelapa sawit sebagai produk samping dari kebun kelapa sawit potensial dimanfaatkan sebagai sumber pakan serat untuk ternak ruminansia (Mathius 2003). Setiap satu pohon dapat menghasilkan 22 pelepah atau setara 8 kg bahan pakan pertahun. 

Sebagai perbandingan, kebutuhan pelepah untuk satu ekor sapi dapat dipenuhi dari 1,5 ha kebun (Diwyanto et al. 2004). Pelepah dapat menggantikan rumput sampai 80%, namun perlu pakan tambahan berupa rumput atau limbah pabrik kelapa sawit. Pemberian pelepah sebagai bahan dasar ransum dalam jangka panjang mampu menghasilkan kualitas karkas yang baik.

Atas dasar tersebut, agroforestri sawit sebagai bagian dari upaya penerapan jangka benah bagi pemulihan ekosistem hutan, harapannya tidak hanya akan terbentuk lanskap agroekosistem baru berupa hutan kebun. Akan tetapi, masyarakat masih terus mendapat manfaat ekonomi dari seluruh tanaman yang ada pada lahan kelolanya dan memperoleh peningkatan manfaat ekologis secara optimal.


*) Penulis merupakan peneliti dari Lembaga INRISE
Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Universitas Tanjung Pura (UNTAN) Kalimantan Barat tahun 2022-2023 yang dibiayai oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS)

 

Referensi:

Asmawit, & Hidayati. (2016). Karakteristik Destilat Asap Cair dari Tandan Kosong Kelapa Sawit Proses Redistilasi. Majalah BIAM, 12(02): 8–14.
Bhagwat SA dan Willis KJ. (2009). Agroforestry as A Solution to the Oil-Palm Debat. Conservation Biology. 22(6):1368–1370.
Budiadi, M A Imron, H Marhaento, A Susanti, D B Permadi, Hermudananto. 2018. Strategi Jangka Benah Penanganan Tanaman Sawit di Dalam Kawasan Hutan. Tim Fakultas Kehutanan UGM.
Diniyati D, Achmad B, Santoso HB. 2013. Analisis Finansial Agroforestri Sengon di Kabupaten Ciamis (Studi Kasus di Desa Ciomas Kecamatan Panjalu). Jurnal Penelitian Agroforestri, 1(1):13-30.
Diwyanto, Sitompul, Manti, Mathius dan Soentoro. 2004. Pengkajian Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Pros. Lokakarya Nasional. Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Bengkulu 9 – 10 Sept. 2003. Departemen Pertanian dengan PT Agricinal.
Gérard A, Wollni M, Hölscher D, Irawan B, Sundawati L, Teuscher M, Kreft H. 2017. Oil-Palm Yields in Diversified Plantations: Initial Results from A Biodiversity Enrichment Experiment in Sumatra, Indonesia. Agriculture, Ecosystems and Environment, 240:253–260.
Kadariah, Karline L, Gray C. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta (ID): Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI
Kresnawaty, I., Putra, S. M., Budiani, A., & Darmono, T. (2017). Konversi Tandan Kosong Kelapa Sawit (Tkks) Menjadi Arang Hayati Dan Asap Cair. Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian, 14(3), 171–179. https://doi.org/10.21082/jpasca.v14n3 .2017.171-179
Krisnawati H, Varis E, Kallio M, Kanninen M. 2011. Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen. Ekologi, Silvikultur dan Produktivitas. CIFOR, Bogor Indonesia. 36 hal.
Mathius, I. Sitompul, D. Manurung,B.P dan Azmi. 2003. Produk Sampingan Pakan Komplit Untuk Sapi; Suatu Tinjauan. Balai Penelitian Ternak. Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Bengkulu
Muryunika R. 2015. Strategi Pengelolaan dan Pengembangan Agroforestri Berbasis Kelapa Sawit di Jambi [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Nurida, NL, A. Mulyani. F. Widiastuti dan F. Agus. 2020 . Potensi dan Model Agroforestri untuk Rehabilitasi Lahan Terdegradasi di Kabupaten Berau, Paser, dan Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Jurnal Tanah dan Iklim, 42 (1) :13-26
Phimmavong S, Maraseni T, Keenan R, Cockfield G. 2019. Financial returns from collaborative investment models of Eucalyptus agroforestry plantations in Lao PDR. Land Use Policy, 87:1–11.
Rahmani, TA.  2020. Pengembangan Multiusaha Kehutanan untuk Kesejahteraan Masyarakat dan Resolusi Konflik. [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Teuscher M, Gérard A, Brose U, Buchori D, Clough Y, Ehbrecht M, Hölscher D, Irawan B, Sundawati L, Wollni M, Kreft H. 2016. Experimental Biodiversity Enrichment in Oil-Palm-Dominated Landscapes in Indonesia. Frontiers in Plant Science, 7:1538–1538. doi:10.3389/fpls.2016.01538
Wanderi, Qurniati R, Kaskoyo H. 2019. Kontribusi tanaman agroforestri terhadap pendapatan dan kesejahteraan petani. Jurnal Sylva Lestari. 7(1):118–127.
Yuniati D. 2018. Analisis Kelayakan Restorasi Hutan Lindung Gambut Berbasis Masyarakat [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar